Halal Bi Halal Keluarga Besar Muhammadiyah: Jati Diri Islam Sebagai Agama Perdamaian dan Peradaban

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Hari raya Idul Fitri merupakan kemenangan simbolik bagi umat Islam. Setelah selama satu bulan penuh umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa. Kemenangan ini ditandai dengan gema takbir yang membahana pasca tenggelamnya matahari di akhir Ramadhan, dan bulan pun berganti Syawal. Sebagaimana tradisi di Indonesia saat datang bulan Syawal, kegiatan silaturahmi pun membudaya di mana-mana. Sebagai momentum untuk kembali memperkuat hubungan persaudaraan dan memperbaiki ikatan yang rusak.

Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan bahwa budaya silaturahmi di Indonesia merepresentasikan sebuah hadist Nabi, “Silaturahmi bukan saja hanya untuk menjalin kembali hubungan yang sudah baik, tapi juga merekatkan kembali hubungan yang terputus”. Selain itu, silaturahmi juga dapat dimaknai sebagai jantung ukhuwah, yaitu hubungan persaudaraan yang berlandaskan pada keimanan.

Muhammadiyah sebagai persyarikatan mengandung arti gerakan jamaah, dilakukan bersama-sama untuk menggerakkan roda kebermanfaatan. Memelihara nilai keikhlasan. Menyatukan perbedaan serta mengupayakan mufakat demi terwujudnya cita-cita bersama. Saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. “Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita dengan terus menjaga hubungan ukhuwah kita. Silaturahmi seperti ini sejatinya untuk mengkoneksikan jiwa dan pikiran kita dengan sistem organisasi,” ujar Haedar dalam acara Halal Bi Halal keluarga Besar Muhammadiyah yang dilaksanakan secara daring (23/5).

Haedar Nashir menegaskan bahwa permasalahan ke depan akan semakin kompleks dan rumit. Ia mengingatkan seluruh keluarga besar Muhammadiyah untuk segera mempersiapkan diri menghadapi perubahan yang sangat cepat. Menurutnya, masalah fundamental umat manusia saat ini dapat direkontruksi ulang. Dengan bantuan sains dan teknologi, manusia ke depan adalah manusia yang mampu bertahan hidup dengan cara melawan kematiaan.

“Tentu hal ini menjadi tantangan kita dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi dengan jalan memperkuat nilai-nilai keislaman,” tuturnya.

Permasalahan yang tak kalah penting lainnya adalah menyebarnya alam berpikir multikulturalisme seperti sekulerisme, liberalisme, ateisme di masyarakat. Arus pemikiran seperti ini merupakan bentuk pandangan yang dilatarbelakangi oleh kekecewaan, hadirnya rasa ketidakadilan, atau tidak adanya korelasi antara kehidupan dengan nilai-nilai agama yang diyakini masing-masing individu.

Solusi dari permasalahan tersebut tidak lain adalah dengan cara lil muwajahah (rekonstruktif). Dengan kata lain, perlu ada trnsformasi dakwah yang mengedepankan tiga aspek, yaitu memajukan, membebaskan, dan memberdayakan. Bertransformasi dari model dakwah lil mu’aradhah ke model dakwah lil muwajahah.

Haedar menambahkan, Islam merupakan agama yang mengemban misi kebahagiaan, kejayaan, dan keselamatan umat manusia. Islam menjelaskan segala hal. Beberapa hal mengandung makna yang sangat mendalam dan beberapa hal yang lain bersifat universal. Berislam artinya menyebarkan nilai-nilai keislaman ke jantung otentik untuk menumbuhkan jiwa bayani, burhani, dan irfani. Dan kemudian meneguhkan nilai-nilai Islam sebagai agama perdamaian dan peradaban.

“Kita akan selalu dihadapkan dengan problem-problem kehidupan. Namun Muhammadiyah memiliki karakter mencari solusi. Alasan Muhammadiyah membela kemerdekaan Palestina bukan semata-mata karena persoalan agama, tapi ada alasan lain yang lebih penting yaitu landasan konstitusional negara untuk ikut menjaga perdamaian dan ketertiban dunia,” tegasnya.

Menurutnya umat Islam harus jujur dan adil dalam melihat konflik dan penindasan. Meski berbeda agama, keyakinan, ras, dan budaya, seorang Muslim harus berdiri membela saudaranya yang terdzolimi atas nama kemanusiaan. Hal ini sebagai wujud dari konsistensi Muhammadiyah dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan semesta. (diko)

Exit mobile version