Peluang dan Tantangan Perdamaian dalam Konflik Arab-Israel

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ada banyak narasi yang saling berlawanan dalam menyikapi konflik Israel-Palestina. Belakangan juga muncul tuduhan kepada lembaga pengumpul donasi untuk Palestina, bahwa mereka tidak peduli pada nasib di negeri sendiri. Prof Dr Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencoba meluruskan pandangan tersebut dan berharap Indonesia satu pandangan dalam merespons isu Palestina.

Muhammadiyah mengajak kembali kepada konstitusi dan sejarah Indonesia. Secara konstitusi, Indonesia menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi. “Kita juga ingin ikut serta dalam ketertiban dunia dan menjaga perdamaian abadi,” kata Haedar dalam Diskusi Publik Konflik Arab-Israel, Peluang & Tantangan Perdamaian yang diadakan oleh Program Pascasarjana UMY dan Lazismu UMY, (24/5/2021).

Muhammadiyah mengapresiasi langkah tegas pemerintah. “Kami apresiasi sikap Pemerintah Indonesia yang sudah tepat dan konsisten dalam mendukung kemerdekaan Palestina,” ujarnya. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menyampaikan sikap resmi Indonesia dalam Sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa di New York Amerika Serikat (21/5/2021). Indonesia mendesak PBB mengambil langkah nyata menghentikan agresi, memastikan akses kemanusiaan dan perlindungan warga sipil, serta mendorong negosiasi yang kredibel.

Menurut Haedar, Bangsa Indonesia harusnya satu pandangan karena punya pengalaman dijajah. Ketika PBB sudah mengakui kemerdekaan Indonesia, ada kawasan Timur yang masih terus dijajah dan tidak mau dilepas. Belanda bahkan masih melakukan agresi militer I dan II. “Ketika sebuah bangsa telah merdeka, mestinya mereka berhenti, tetapi ini tidak,” tuturnya. Nafsu kekuasaan penjajah itu tidak pernah berhenti dan puas.

Nilai kemanusiaan semestinya dikedepankan dan dunia harus mengambil langkah tegas. “Jika perang atau agresi militer ini dibiarkan dan korban terus berjatuhan, ini tragedi kemanusiaan terus diabadikan atau kita tidak respect terhadap diri kita sebagai manusia yang berkeadaban,” tutur Haedar. Situasi ini juga dilihat Haedar sebagai bukti kegagalan politik global, termasuk PBB, dalam mencari jawaban atas berbagai masalah di abad ini.

Terkait dengan pandangan yang mengaitkan masalah ini sebagai masalah agama, Haedar mengatakan, “Masalah Palestina ada kaitannya dengan Islam dalam konteks sejarah.” Ketika Umar bin Khattab menjabat khalifah, Palestina menjadi bagian dari wilayah Islam. “Tidak keliru jika penyikapan masalah Palestina, dilihat dari aspek sejarah, ada kaitannya dengan agama.”

Secara khusus, di Palestina terdapat masjid Al-Aqsa yang disebut dalam Al-Qur’an, sebagai tempat Nabi melaksanakan Isra’ mi’raj. Bagi umat Islam, Masjid Al-Aqsa bersama dengan Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi merupakan tiga tempat istimewa. “Kalau umat Islam punya reaksi yang begitu meluas, pihak manapun jangan salah paham atau gagal paham.”

Sebab itu, “Ketika Muhammadiyah dan organisasi-organisasi mereaksi masalah ini, mencari solusi damai dan berkeadaban, maka tidak ada persoalan,” kata Haedar. Di samping ada kaitannya dengan aspek keagamaan, Muhammadiyah memandang persoalan agresi di Palestina ini sebagai masalah perampasan hak kemerdekaan suatu negara.

Hajriyanto Y. Tohari MA, Duta Besar Indonesia di Lebanon menyebut bahwa persoalan di Timur Tengah, khususnya Palestina, tidak dapat dilepaskan dari peranan Amerika Serikat sebagai adikuasa tunggal. “Peran dan posisi AS di Timur Tengah adalah penulis skenario Timur Tengah, pembuat peta baru.” Presiden Joe Biden menekankan bahwa tidak ada perdamaian di Timur Tengah sampai semua negara di kawasan itu mengakui eksistensi Israel.

Di saat yang sama, negara-negara Arab tidak dapat diharapkan perannya terlalu banyak. Menurut Hajriyanto, Dunia Arab tidak kompak dan tidak lagi menganggap Palestina sebagai prioritas politik luar negeri. Jika sebelumnya ancaman negara Arab adalah Israel, sekarang tampaknya beralih ke Iran.

Hal lainnya, terdapat hegemoni wacana tertentu dalam memandang isu ini. “Palestina juga menghadapi perang opini yang di dunia Islam mulai berubah,” kata Hajriyanto. Para ilmuwan sosial mulai ada yang menyalahkan Palestina dengan menggunakan perspektif Israel.

***

Prof Dr Makarim Wibisono, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina menyebut bahwa upaya untuk menyelesaikan masalah ini sering terhalang oleh banyak faktor. “PBB gagal menangani masalah Palestina karena tidak ada kekompakan antar Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB di mana AS selalu membela Israel.”

Beberapa kali Dewan Keamanan PBB keluarkan resolusi agar Israel menarik pasukannya dari Palestina. Majelis Umum PBB juga membuat manuver agar terjadi perdamaian di Palestina dan Timur Tengah. Karena berbagai usaha sering digagalkan oleh AS, PBB mendukung saja usaha perdamaian seperti Perdamaian Oslo (1993), Konferensi Annapolis (2007), Camp David (1978), Land for peace, dan lain-lain.

Menurut Makarim, proses perdamaian menjadi lebih rumit karena putusnya hubungan antara pihak terkait. Desember 2017, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memutuskan hubungan Palestina dengan AS setelah Presiden Trump menyatakan pengakuan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Mahmoud Abbas dalam Majelis Umum PBB September 2018 menyatakan bahwa sikap AS adalah melanggar hukum internasional dan bias mendukung Israel.

Masalah yang ada: proses perdamaian tidak berjalan, hubungan Palestina dengan AS dan Israel masih terputus, Fatah dan Hamas belum bersatu. Sebagai bangsa yang besar, toleran, dan rukun, Indonesia bisa urun rembuk. “Muhammadiyah bisa mengundang wakil dari Hamas dan Fatah, bicara dari hati ke hati,” kata Makarim. Yang bisa didekati: Gabriel Rajoub (Sekjen Komite Sentral Fatah) dan Ismael Haniyeh (Hamas). Masalah lainnya adalah negara-negara Arab mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel seperti UEA dan Bahrain, Israel merasa yang menjadi musuhnya hanya Palestina.

***

Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional sepakat bahwa negara-negara Arab mulai meninggalkan Palestina. Mengatasi masalah ini memerlukan kerja-kerja diplomatik yang serius. Indonesia perlu terlibat dalam diplomasi kemanusiaan dan perdamaian, termasuk menggerakkan gerakan filantropi. “Ini bisa melibatkan kekuatan civil society secara luas, ormas-ormas keagamaan di Indonesia.”

Soal pandangan bahwa ini konflik agama, Sudarnoto tidak dapat membantah bahwa Al-Qur’an telah banyak mengisahkan tentang Yahudi yang dikenal licik dan sering berkhianat. Islam, Yahudi, dan Kristen telah mempengaruhi sejarah dunia yang panjang. Wajar jika muncul sentimen keagamaan dan narasi bahwa yang berperang itu antara Islam dan Yahudi.

Menyikapi kesalahpahaman dalam isu Israel-Palestina, Sudarnoto menyebut perlu dibangun narasi yang didasari data dan fakta historis. “Israel melakukan okupasi, penguasaan dan perluasan wilayah kekuasaannya. Ini bukan perang, tetapi penjajahan, genosida. Ini adalah terorisme yang kasat mata dilakukan Israel.” Rakyat Palestina melawan dalam upaya mempertahankan diri dari agresi Israel.

***

Dr Surwandono MSi, Pengajar Hubungan Internasional Program Magister UMY menyatakan bahwa saat ini, “Yahudi yang kecil telah menjadi transetter bagi dunia.” Bukti keberhasilan Israel membangun pengaruh, misalnya, mayoritas negara di dunia telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Ia juga melihat bahwa fenomena muslim zionis semakin banyak. Semakin lama, semakin Palestina termarjinalkan, semakin susah mengendalikan keadaan. (ribas)

 

Exit mobile version