Fatamorgana Pasca Ramadhan

Fatamorgana Pasca Ramadhan

Oleh : Cristoffer Veron Purnomo

Ramadhan telah usai. Itu berarti, kita telah berhasil melewati ujian nafsu dan perilaku selama satu bulan lamanya. Namun tak ada yang bisa memberikan jaminan untuk berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan ditahun depan. Kepergian Ramadan ini selayaknya dijadikan sebagai momentum kontemplasi dan kohesi sosial untuk mentransformasikan diri menuju manusia yang berkarakter takwa (QS 02: 03-04).

Terkadang masih saja ada segelintir di antara kita yang tidak meningkatkan kualitas ibadah dan amalannya setelah Ramadan berganti dengan Syawal. Padahal, disepanjang Ramadhan kemarin dengan semangat nan membara, mayoritas Muslim berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas ibadahnya dengan maksud menggapai ganjaran dari-Nya khususnya Lailatul Qadar. Banyak yang menafikan Syawal—bulan peningkatan—dengan tidak melanjutkan kebiasaan salat lima waktu secara berjamaah, qiyamul lail, sedekah, tadarus al-Qur’an, dan puasa sunnah enam hari. Sungguh hal yang demikian itu menjadi sebuah pilar dalam membangun peradaban yang mencerahkan.

Teruslah Melangkah

Lulusan Ramadhan seyogianya memiliki relasi hablu-minallah dan hablu-minannas. Semua ini menjadi sentral utama untuk menggapai cinta dan kasih sayang-Nya. Sepanjang raga masih bernyawa, jangan sampai memutus dua benang kedekatan tersebut, karena dua benang tersebut akan berhilir menuju puncak ketakwaan.

Takwa itu proses perubahan diri dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Wujud Ramadan-idulfitri itu dimanifestasikan dengan jiwa takwa yang terpatri dalam sanubari manusia semesta. Bagi Azyumardi Azra, ketakwaan mesti holistik dan komprehensif (kaffah). Hanya dengan begitu orang beriman dan berislam dapat mengaktualisasikan islamisitasnya. Takwa juga tidak cukup terwujud hanya ketika orang beriman sedang beribadah pokok (mahdah); juga mesti terejawantah dalam amal perbuatan baik yang menurut Islam adalah ibadah—pengabdian kepada Tuhan (Kompas, 2021).

Disisi lain, Haedar Nashir menjangkarkan takwa sebagai puncak kerohanian tertinggi insan beriman yang jiwa fitrahnya lurus bertauhid kepada Allah seraya membuahkan kesalehan hidup bagi diri dan lingkungannya yang memancarkan rahmat bagi alam semesta. Jiwa takwa adalah jiwa hanif nan suci, lurus, bersih, dan otentik yang selalu membawa pada kebaikan, kedamaian, ketertiban, kebersamaan, kasih sayang, kemajuan, dan segala keutamaan dalam kehidupan (Kompas, 2021).

Hatta, pemerdekaan Ramadhan menggiring diri kita untuk terus melangkah kedepan menggelorakan spirit ketakwaan agar menjadi lulusan Ramadhan yang tercerahkan. Tidak elok seorang lulusan Ramadhan masih memiliki kredibilitas yang fasik, sehingga diharapkan segenap lulusan itu menjadikan kehidupan pasca Ramadhan ini dapat memperbaiki kredibilitasnya hingga terealisasikan lulusan yang bertakwa, halus budi, jembar hati, dan kelembuthatian (al-hilm).

Pasca Ramadhan

Telah nampak secara gamblang pasca Ramadhan banyak di antara kita kembali melakukan tindakan penyimpangan dari jalan kebenaran (the path of truth). Tindakan penyimpangan akhir-akhir ini justru berkembangbiak secara revolusioner dengan mencuatnya tindakan saling menghujat, membunuh, meninggalkan ibadah, angkara murka, korupsi, narkoba, miras, menebar hoax, intoleran, radikalisme, terorisme, eksploitasi alam, dan sederet tindakan mengoyakkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan lainnya sebagai manifes atas demoralisasi perilaku kehidupan. Tindakan tersebut terjadi akibat pikiran yang jumud, ortodoks, serta minimnya vitamin pengetahuan mengakibatkan ketidakmampuan dalam menyaring hal-hal bajik, tapi justru karam pada hal-hal munkar yang bermuara pada ngarai kebinasaan.

Selayaknya kita tidak boleh berbuat demikian, apalagi pasca Ramadhan. Kita mesti melakukan lompatan-lompatan perilaku yang lebih luhur. Lompatan tersebut sesungguhnya akan mencapai titik puncaknya yang bersumbu pada pencerahan perilaku nan jujur, terpercaya, arif, kasih sayang, dan serba menebar kebajikan bagi persada buana. Jika semua ini terejawantahkan, maka akan bermuara pada pencerahan hidup dengan lahirnya generasi yang berpredikat takwa dan mampu membidani lahirnya negeri “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.


Cristoffer Veron Purnomo, Anggota Jaringan Anak Panah

Exit mobile version