Empat Isu yang Dibahas PP Muhammadiyah dengan Watimpres dalam Silaturahim Virtual

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah –  Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI) mengadakan silaturahim virtual, pada Senin (31/5/2021).

Silaturahim dari rombongan Wantimpres yang dipimpin oleh Jend (Purn) Wiranto ini ditemui langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, dan Ketua Lazismu Pusat Hilman Latief.

Ada empat poin yang disampaikan PP Muhammadiyah dalam silaturahmi tersebut. Poin-poin tersebut adalah problem persatuan dan integrasi, Konstitusi dan Pancasila, persoalan kebangsaan terutama KPK, dan komitmen kebangsaan Muhammadiyah.

“Tukar pandangan, tukar gagasan, tukar informasi sekaligus juga bagaimana kita mencari jalan keluar dari problem-problem kebangsaan di negeri tercinta ini. Fokus yang banyak didiskusikan menyangkut integrasi dan kesatuan bangsa dalam situasi pandemi Covid-19,” tutur Haedar.

Pertama, mengenai integrasi dan persatuan, Muhammadiyah memandang bahwa dinamika kehidupan kebangsaan seperti terawatnya pembelahan politik, kesenjangan sosial dan potensi disintegrasi berkaitan erat dengan konsistensi pengamalan sistem ketatanegaraan oleh para elit dan cara pandang warga bangsa terkait dasar negara.

“Dalam konteks ini yang diperlukan adalah dialog antara komponen bangsa termasuk antar pemerintah dengan kekuatan-kekuatan bangsa, terutama di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dari soal pandemi, KPK, Palestina, juga kesenjangan sosial yang ini sangat krusial. Pentingnya dialog agar berbagai pertentangan itu harus menjadi titik di mana kita bertemu,” jelas Haedar.

Kedua, mengenai Konstitusi dan Pancasila, Haedar menjelaskan bahwa Muhammadiyah memandang elit politik dan warga bangsa mau berbenah agar memahami dasar negara ini dengan pandangan yang benar, proporsional dan objektif. Termasuk mengutamakan jiwa dan posisi agama beserta kebudayaan luhur di samping Konstitusi dan Pancasila sebagai pertimbangan menentukan kebijakan publik.

“Dalam konteks ini perlu rekonstruksi pemahaman, pemaknaan, dan juga implementasi mengenai agama, Pancasila, Konstitusi dan kebudayaan luhur bangsa agar semuanya menuju pada kehidupan kebangsaan kita yang bersatu, berdaulat, adil, makmur dan berkmajuan. Dan ini memerlukan usaha bersama agar kita tidak centang-perenang di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Haedar.

Ketiga, mengenai persoalan kebangsaan terutama masalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muhammadiyah mendorong agar penyelesaian polemik KPK dilakukan secara jujur, transparan dan mengedepankan solusi.

Muhammadiyah juga memberikan pandangan mengenai fenomena radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Tiga hal ini menurut Haedar bisa muncul atas dasar apapun baik agama atau ideologi sehingga mengaitkannya dengan satu agama tertentu seperti Islam adalah reaksi yang salah. “Nah dalam konteks ini maka perlu ada dialog konseptual,” jelasnya.

Keempat, mengenai komitmen kebangsaan Muhammadiyah, Haedar menyampaikan bahwa Muhammadiyah memandang nilai Keislaman dan Keindonesiaan adalah menyatu dan saling melengkapi. Pandangan ini tercermin dalam keseharian dan cara Muhammadiyah menyikapi persoalan. Seperti dalam isu Palestina.

“Ketika kita membela Palestina, sesungguhnya di situ terkandung misi kebangsaan di mana kita menentang segala bentuk agresi dan kolonialisme dalam bentuk apapun. Dan kita mendukung Palestina itu atas dasar prinsip-prinsip kemerdekaan itu, bersamaan dengan itu Indonesia harus ikut dalam menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi,” tukas Haedar Nashir. (ppm/rbs)

Exit mobile version