Oleh : Yunahar Ilyas
Penduduk asli Madinah terdiri dari dua suku Arab yaitu Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sudah lama terlibat dalam konflik dan permusuhan. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW mereka sebenarnya sudah mulai lelah menghadapi konflik dan permusuhan terus menerus tersebut. Mereka sedang merintis usaha-usaha untuk menghentikan permusuhan itu. Itu sebabnya tatkala enam orang pemuda Yastrib bertemu Nabi di Aqabah Mina mereka langsung tertarik. Dalam pikiran mereka muncul harapan Nabi Muhammad SAW dapat mempersatukan mereka. Akhirnya melalui proses baiat Aqabah pertama diikuti dua belas orang dan baiat Aqabah kedua diikuti tujuh puluh orang, terbentuklah di Madinah komunitas baru suku Aus dan Khazraj yaitu komunitas Muslim. Semakin lama komunitas ini semakin banyak, apalagi setelah kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Mereka tampil sebagai pendukung dan pembela Nabi serta sahabat-sahabat yang Hijrah ke Madinah–baik yang datang sebelum Nabi maupun setelah Nabi. Masyarakat Islam suku Aus dan Khazraj ini kemudian disebut dengan kaum Anshar, para penolong, karena peran mereka menolong kaum Muslimin Makkah yang hijrah ke Madinah.
Sahabat-sahabat Nabi yang hijrah dari Makkah ke Madinah disebut dengan kaum Muhajirin. Mereka tentu datang dengan segala keterbatasan, membawa perlengkapan seadanya menempuh perjalanan jauh empat ratus lima puluh kilo meter. Kebun, ternak, rumah, dan sebagain besar kekayaan mereka terpaksa ditinggal di Makkah. Abdurrrahman bin Auf yang dikenal kaya meninggalkan kekayaannya di Makkah. Bahkan bagi sebagian jangankan membawa harta kekayaan, bisa lolos hijrah ke Madinah saja sudah syukur karena tokoh dan pemuka Quraish dengan segala daya dan upaya menghalangi mereka hijrah.
Kaum Ansharlah yang kemudian mengulurkan tangan menampung mereka, sebagian yang tidak tertampung menginap di Masjid yang baru dibangun Nabi. Nabi Muhammad SAW melakukan sebuah upaya yang sangat cemerlang yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin manapun sebelumnya yaitu mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Langkah ini sangat berpengaruh besar di dalam sejarah, Ibnul Qayyim menceritakan (sebagaimana dikutip oleh Mubarak Furi dalam Ar-Rahiq Al-Mahhtum halaman 226) Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin di rumah Anas bin Malik, saat itu jumlah mereka sembilan puluh orang lelaki sebagian dari Muhajirin dan lainnya Anshar. Nabi mempersaudarakan mereka agar saling membantu dan mewarisi setelah meninggal, di luar bagian warisan karena kekerabatan. Kebijakan ini berlaku sampai perang Badar tatkala Allah SWT menurunkan ayat 75 Surat Al-Anfal:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ مَعَكُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ مِنكُمۡۚ وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Anfal 8:75)
Setelah dipersaudarakan oleh Nabi dengan kaum Muhajirin, kaum Anshar rela berbagi apa saja, bahkan mereka mengatakan kepada Nabi: “Bagilah kebun kurma kami ini dengan saudara kami kaum Muhajirin.” Nabi menolaknya, “Tidak perlu, cukuplah kalian memberi makanan pokok saja, lalu biarkan kami mengurus buahnya.” Bahkan tidak hanya kebun, ada yang mau berbagi istri seperti Sa’ad bin Rabi’ yang dibersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman: “Sesungguhnya aku adalah kaum Anshar yang paling berpunya,maka bagilah hartaku menjadi dua. Aku juga punya dua istri, pilihlah diantara mereka yang kau sukai, lalu beritahukan kepadaku, aku akan menceraikannya. Jika masa iddahnya habis, engkau bisa menikahinya.” Abdurrahman menolak, dia hanya meminta untuk dipinjami modal dan ditunjukkan dimana pasar. Dengan demikian Abdurrahman bisa berbisnis kembali di Madinah.
Inilah komunitas pertama masyarakat Madinah yaitu masyarakat Muslim yang terdiri dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin.
Disamping itu, sudah lama juga menetap di Madinah orang-orang Yahudi imigran dari Hebron Palestina. Mereka lari ke tanah Hijaz setelah Palestina Al-Quds dikuasai oleh Romawi. Mereka berakulturasi dengan adat istiadat bangsa Arab, mulai dari pakaian, bahasa, peradaban, nama dan kabilah merekapun berbau Arab, bahkan terjadi juga hubungan pernikahan dan semenda antara mereka dan bangsa Arab. Namun mereka tetap menjaga fanatisme golongan, sehingga tidak sepenuhnya melebur dengan bangsa Arab. Melainkan tetap membanggakan keIsraelan mereka.
Orang-orang Yahudi itu menguasai perdagangan. Mereka mengimpor pakaian. biji-bijian, dan khamar serta mengekspor kurma. Orang-orang Yahudi itu juga melipatgandakan harta mereka dengan riba. Mereka meminjamkan uang kepada pemimpin-pemimpin suku Arab dengan sistem riba. Pemimpin-pemimpin suku itu meminjam uang untuk membayar penyair menggubah syair-syair yang memuji-muji mereka. Syair-syair pujian itu diperlukan untuk menjaga popularitas mereka. Orang-orang Yahudi itu meminjamkan uang kepada pemimpin bangsa Arab dengan jaminan tanah, kebun dan ladang mereka. Lama-lama tanah, kebun dan ladang penduduk asli Madinah berpindah menjadi milik Yahudi. Untuk dapat tetap eksis orang-orang Yahudi memanfaatkan konflik antara suku Aus dan Khazraj. Mereka selalu punya cara untuk mengadu domba antara suku Aus dan Khazraj agar perang selalu berkobar antara sesama bangsa Arab. jika api perang itu hampir padam mereka akan nyalakan kembali.
Tiga suku besar Yahudi yang tinggal di Madinah adalah, 1. Bani Qainuqa’ tinggal di dalam kota. 2. Dua Bani Nadir tinggal di pinggiran kota. Kedua suku itu menjalin persekutuan dengan Khazraj. 3. Bani Quraidzah tinggal di pinggiran kota bersekutu dengan Aus. Tiga suku Yahudi ini lah yang selalu mengobarkan perang antara kaum Aus dan Khazraj.
Pada mulanya orang-orang Yahudi menunggu kedatangan Nabi yang terakhir, karena mereka yakin Nabi yang terakhir itu dari bani Israil. Tetapi setelah mereka tahu Nabi yang terakhir dari Makkah bangsa Arab,yang selama ini mereka lecehkan sebagai penyembah berhala maka rasa dengki mereka langsung meningkat, mereka sudah memusuhi Nabi sejak hari pertama Nabi sampai di Madinah.
Tatkala Nabi berada di Quba sebelum masuk kota, tokoh Yahudi Huyay bin Akhtab dan saudaranya Abu Yasir bi Akhtab berangkat ke Quba untuk memastikan kedatangan Nabi. Setelah kembali dari Quba, Abu Yasir bertanya kepada Huyay: “Betulkah dia orangnya?”, Huyay menjawab: “Benar”, Abu Yasir bertanya lagi, “apakah engkau mengenalinya dan yakin akan hal itu”, Huyyay menjawab.”ya”, Abu Yasir bertanya lagi,”bagaimana pendapatmu tentang dirinya (maksudnya Nabi Muhammad), Huyay menjawab, “Demi Allah aku akan memusuhinya sepanjang hayatku.” Inilah komunitas kedua penduduk Madinah yaiu orang-orang Yahudi yang selalu memusuhi Nabi.
Komunitas ketiga adalah kaum Musyrikin dari suku Aus dan Khazraj yang tidak mau beriman dengan Nabi tapi tidak berani pula menolaknya secara terang-terangan. Mereka menyembunyikan kekufuran dan pura-pura masuk Islam. Jumlah mereka lebih sedikit daripada yang beriman. Dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul yang sakit hati dengan Nabi, karena kedatangan Nabi menggagalkan dia menjadi raja. Sebelum kedatangan Nabi suku Aus dan Khazraj sudah sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay sebagai raja yang mempersatukan mereka. Bahkan mahkota sudah dipersiapkan, tinggal selangkah lagi menajdi raja. Tapi ketika Nabi datang, Abdullah bin Ubay ditinggalkan, dia kemudian sakit hati. Termasuk juga yang sakit hati orang-orang yang selama ini berharap mendapatkan bagian kekuasaan dari Abdullah bin Ubay. Mereka inilah yang disebut dengan kaum Munafikun. Mereka dengan segala cara mencoba intrik-intrik menggagalkan usaha Nabi memimpin Madinah.
Dari Makkah, Nabi juga mendapatkan ancaman dari kaum kafir Quraisy. Sebagi suku yang memimpin politik dan keagamaan di jazirah Arabia, maka tokoh-tokoh kafir Quraish menyerukan kepada kabilah-kabilah Arab di Jazirah Arabia untuk memboikot Madinah. Terutama dari segi perdagangan. pasokan makananan dan kebutuhan lainnya. Hal ini merupakan ancaman sendiri yang harus dihadapi oleh Nabi. Nabi Muhammad SAW dengan bimbingan wahyu dapat menghadapi semua tantangan yang ada. Baik dalam membangun masyarakat Muslim Madinah, menghadapi kaum Yahudi dan Munafikin maupun menghadapi ancaman dari luar Madinah. (Bersambung)
Sumber : Majalah SM Edisi 15 Tahun 2019