Kado Ulang Tahun Buya Syafi’i ke-86 Dari Kaum Perempuan
Pada 10 Februari 2021, saya diundang Uda Jumaldi Alfi untuk menulis tentang sosok Buya Syafii. Undangan itu disertai dengan kerangka acuan yang ditulis Hamzah Fansuri. Jumaldi Alfi, Hamzah Fansuri, dan beberapa tokoh muda lain dari berbagai latar keilmuan dan profesi dengan nada setengah guyon menyebut diri sebagai “Santri Nogotirto”.
Mereka ini memang yang kerap berkunjung ke rumah Buya Syafii di kawasan Nogotirto, Sleman, untuk menimba ilmu dan kearifan dari Buya maupun sekadar silaturahim. Kerangka acuan itu antara lain menyoal kenyataan sedikitnya Buya Syafii membahas masalah perempuan dan ketimpangan gender, suatu kenyataan yang jadi sasaran kritik berbagai pihak. Kritik misalnya datang dari Kiai Husein Muhammad yang sering dijuluki “Kiai Feminis”. Atau dari Prof Dr HM Amin Abdullah, cendekiawan Muhammadiyah dan mantan rektor UIN Sunan Kalijaga.
Berangkat dari latar belakang tadi, para “Santri Nogotirto” ingin menindaklanjuti kegelisahan itu dengan mengundang beberapa tokoh perempuan untuk menulis sosok Buya di mata mereka. Mereka yang diundang menulis berasal dari beragam latarbelakang. Mulai dari aktivis (NGO), seniman, akademisi, sastrawan, pegiat media, politisi serta ulama perempuan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Tidak ketinggalan pula tokoh agama perempuan dari non-muslim. Tulisan mereka dikumpulkan dalam sebuah bunga rampai.
Akhirnya bertemulah 32 penulis perempuan dan 2 editor perempuan dalam satu buku yang dijuduli Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Syafii Ma’arif. Buku ini berisi beragam pikiran dan pandangan dalam melihat sosok Buya .
Buku ini dari awal memang diagendakan terbit dan diluncurkan tepat di hari ulang tahun Buya Ahmad Syafii Ma’arif pada 31 Mei. Buku ini diniatkan sebagai kado spesial untuk Buya Syafii di usia 86 tahun. “Sebagai tanda rasa hormat kepada Buya Ahmad Syafii Ma’arif,” kata Uda Alfi dalam acara peluncuran buku ini secara online, sore 31 Mei 2021. “Rasa hormat dan kagum,” lanjutnya, “makin besar terhadap beliau karena di usia yang ke-86, beliau masih sanggup dan ikhlas memikirkan bangsa. Kita harus belajar dari beliau dan mau menyadari kekurangan kita yang lebih muda dari beliau.”
Kumpulan tulisan ini diharapkan juga dapat menjawab kritikan terhadap beliau seperti yang telah disinggung di muka. Ketika diajak menulis dalam buku ini, saya butuh beberapa hari untuk merenungkan akan menulis dan melihat Buya Ahmad Syafii Ma’rif ini sebagai apa? Karena begitu banyak gelar yang disematkan kepada beliau: guru bangsa, tokoh cendikiawan muslim, akademisi, sejarawan, atau sebagai pribadi masyarakat biasa.
Buya di Mata Seorang Perempuan Minangkabau
Saya memilih melihat sosok Buya Ahmad Syafii Maarif dengan cara lain. Saya akan melihat beliau dari kacamata saya sebagai perempuan Minangkabau. Beliau pun akan saya lihat sebagai seorang manusia biasa, yang kebetulan laki-laki, kebetulan lahir di Minangkabau, lalu merantau dan berkarir sebagai cendekiawan di rantau. Saya memilih cara ini karena saya sadar kalau budaya dan masyarakat Minang dengan sistem kekerabatan matrilinealnya pasti memiliki pengaruh khas pada saya dan Buya. Khas di sini dalam artian berbeda dari budaya dan masyarakat yang tidak matrilineal. Di sini saya pakai kata berbeda dalam konotasi deskriptif, bukan evaluatif di mana perbedaan berimplikasi pada soal mana yang lebih baik dan unggul.
Kondisi masyarakat Minangkabau, suka tak suka, sadar atau tidak, mau tidak mau tentu memengaruhi dan membentuk cara pandang Buya Ahmad Syafii Ma’arif tentang perempuan. Dengan kata lain cara yang saya pakai adalah kualitatif.
Artinya tidak peduli seberapa banyak tulisan atau artikel yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Ma’arif bicara soal perempuan, akan tetapi saya melihatnya ke “laku harian” Buya Ahmad Syafii Ma’arif, bukan ke karya tulis beliau.
Bahan baku yang saya pakai adalah sumber informasi dari perjalanan hidup Buya dan kisah beliau dengan perempuan. Buku yang saya pakai adalah buku autobiografinya, Memoar Seorang Anak Kampung (2013). Memoar ini memuat detail-detail sejarah hidup beliau mulai dari kecil sampai tua beliau di Yogyakarta.
Tulisan saya mulai dengan sebuah catatan penting tentang bagaimana Buya memandang perempuan. Suatu Ketika saya bertamu ke kantor Suara Muhammadiyah, tepatnya di tahun 2019, saya melihat Buya Syafii menerima beberapa orang tamu yang mengobrol dan mewawancarainya.
Satu dari sekian tamunya itu adalah seorang perempuan, Indonesianis Nancy K. Florida. Nancy penulis perempuan tentang wacana sastra Islam dan Jawa. Saya tidak membahas Nancy melainkan mendeskripsikan bagaimana cara Buya berhadapan dan memperlakukan perempuan.
Ketika itu saya melihat Nancy K. Florida duduk di lobi kantor Suara Muhamamdiyah, sambil memegang nasi kotak dan sebotol air mineral. Saat itu memang waktunya makan siang. Buya lalu minta tolong kepada seorang pegawai di meja resepsionis untuk menaruh meja kecil di depan Nancy. Saya paham tujuan Buya, supaya tamunya dapat makan dengan nyaman tanpa perlu repot memegang nasi kotak dan air mineral. Setelah meja diletakkan di dekat Nancy, Buya pun mempersilakannya makan siang.
Peristiwa kecil ini penting bagi saya. Di mata saya, kejadian ini menunjukkan bagaimana Buya Syafii memandang perempuan. Beliau memiliki perasaan yang peka. Bagi saya, apa yang disebut feminisme, baik sebagai gagasan maupun gerakan, bukan soal perjuangan kesetaraan saja, akan tetapi pertama dan utama sekali adalah soal “kepekaan rasa.” Kira-kira inilah ringkasan catatan-catatan saya untuk Buya Ahmad Syafii Ma’arif sebagai sosok yang menghargai kaum perempuan.
Buya di Mata Para Perempuan Penulis Lain
Perempuan-perempuan yang menyumbangkan tulisan mereka di buku ini adalah orang hebat. Hebat dan mumpuni di bidang dan lapangan karya masing-masing. Di sini dapat saya sebut beberapa di antaranya. Namun ini bukan berarti yang saya sebut adalah yang lebih baik dari yang lain. Saya terpaksa memilih karena semata-mata keterbatasan ruang.
Judul tulisan pembuka buku ini adalah “Perempuan dan Diplomasi.” Penulisnya, Ibu Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia, yang menjabat dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Tulisan ini menarik karena menjelaskan bahwa hari ini diplomat bukanlah dunia laki-laki saja namun perempuan bisa juga menjadi diplomat. Ada peningkatan bagaimana kiprah perempuan di dunia diplomat. Kalau dulu posisi diplomat hanya diisi oleh 10 persen saja. Namun hari ini naik menjadi 38 persen. Perubahan yang signifikan ini terjadi hampir 2 dasawarsa. Dan yang lebih membanggakan juga ternyata diplomat perempuan memiliki nilai juang dan ketangguhan tinggi dibandingkan laki-laki.
Beda lagi dengan apa yang diungkapkan oleh Rosalia Sciortino Sumaryono (Antropolog dan sosiolog pembangunan) dalam tulisannya. Dia menjelaskan bahwa keberanian sikap Buya Ahmad Syafii Ma’arif terhadap perjuangan kaum lemah adalah harapan mewujudkan keadilan gender. Sebenarnya Buya Syafii adalah orang yang memiliki kepedulian tinggi pada keadilan sosial, memperjuangkan masyarakat miskin dan masyarakat yang terdiskriminasi. Beliau mampu memperlakukan mereka dengan cara yang adil. Sementara Keadilan gender merupakan bagian integral dari keadilan sosial.
Saya juga begitu terkesan dengan tulisan Mba Nana (Najwa Shihab). Siapa yang tak kenal sosok ini lewat acara tv “Mata Najwa”. Dia menyatakan bahwa apa yang membuat Buya Ahmad Syafii Ma’arif menjadi sosok yang bisa menikmati hidup dengan santai tanpa beban dan berumur panjang adalah independensi. Independensi Buya Ahmad Syafii Ma’arif ini menjadi kunci yang membuat dia bebas bersuara lantang, bebas mengeluarkan pikiran serta bertindak tanpa rasa takut dengan kehilangan jabatan atau nama baik, bahkan ketika dia dicaci maki sekalipun.
Berbeda dengan para elite lain yang gampang berubah haluan karena angin berganti, Buya Syafi’i dengan santai bisa tetap seperti sedia kala. Dia tetap bisa bersuara kritis dan lantang terhadap hal yang menurutnya salah dan tidak patut. Independensi juga yang membuat Buya bisa membedakan mana persoalan politik dan mana persoalan persahabatan dan kemanusiaan. Keduanya terpisah. Dalam hal politik orang boleh baku saing, namun dalam persahabatan tetap baku sayang. Prinsip ini penting diperhatikan karena polarisasi politik yang membelah masyarakat pada Pilpres 2014 dan 2019 jangan sampai memutus silaturahim. Polarisasi politik yang dibawa ke pergaulan sesama manusia ini yang selalu ditentang Buya Syafi’i.
Sama halnya dengan apa yang dituliskan oleh Anggia Ermarini, politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa yang saat ini menjabat sebagai Wasekjen DPP PKB. Anggia melihat Buya sebagai tokoh nasional yang selalu mengedepankan humanisme dan nasionalisme. Pemikiran Buya soal perempuan dan politik tentu tidak samar-samar dilihat. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam masalah politik asalkan memiliki kemampuan prima dan bermoral serta adanya dukungan dari suami.
Begitu juga dalam sikap menjalin silaturrahim. Buya merawat rasa persaudaraan dengan hati, sebagai tokoh Muhamamadiyah Buya sangat dekat juga dengan NU. Kedekatan Buya dengan Gus Dur, misalnya, dapat dilihat dari foto-foto mereka saling kunjung dan kerjasama. Buya menyatakan bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi keagamaan dan kemasyarakat terbesar di Indonesia yang harus menjadi prototipe kerukunan umat, kebersamaan, saling hormat dan saling dukung terutama terhadap masalah isu sosial kemasyarakatan yang terkait dengan politisasi agama. Pernyataan ini kelihatan sekali ketika kerjasama Ma’arif Institute dengan Fatayat NU melakukan kegiatan bersama untuk saling berbagi informasi, terutama masalah kesehatan reproduksi bagi perempuan dan anak, menekan kasus perceraian dan penguatan soal ketahanan keluarga. Keduanya sama-sama melihat program ini adalah bagian dari solusi masalah keummatan yang harus terus didorong bersama.
Begitu juga dengan tulisan Grace Natalie yang menjelaskan bahwa keberpihakan Buya pada masyarakat minoritas di Indonesia adalah wujud dari sikap kepedulian pada prinsip humanisme. Prinsip yang disebut Grace sebagai membela kemanusiaan. Apa yang oleh Buya adalah salah satu cara pandang untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpecahbelahan bangsa, terutama dalam masalah politik yang kemudian berimbas pada masalah agama dan kebangsaan. Dari apa yang dilakukan oleh Buya, Grace menjelaskan bahwa Buya Syafii teguh dalam memperjuangkan kemanusiaan dan menyadarkan pihak-pihak yang belum siuman, terutama kaum elite dan politisi, dalam melihat kondisi seharusnya yang dilakukan.
Ibu Siti Noordjannah Djohantini menulis bagian penutup. Dia adalah ulama perempuan yang saat ini jadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiah. Selain itu beliau juga aktivis hak-hak pekerja perempuan dan pendiri yayasan Yasanti. Dalam tulisannya, dia menulis bahwa Buya Ahmad Syafii Maarif adalah guru bangsa yang pikiran-pikirannya tentang persatuan bangsa dan keadilan sosial sangatlah tinggi. Meski Buya dianggap suka mengkritik tapi Buya sangatlah apresiatif terhadap anak muda yang memandang jauh ke depan untuk maju. Beliau tegas dan keras seperti sosok seorang bapak. Namun di sisi lain, beliau juga penuh perhatian, apresiatif dan lembut, terutama kepada orang muda yang berpikiran kritis dan tak mau hanyut oleh arus utama. Beliau adalah sosok yang seimbang pemikiran feminin dan maskulinnya.
Pesan Buya untuk Semua
Dalam acara peluncuran buku kemarin, Buya Syafi’i sempat hadir secara virtual. Buya menyampaikan terimakasih kepada kontributor dan pihak yang bekerja keras di balik layar mengusahakan penerbitan buku ini.. “Sungguh kerja keras yang tak terhingga sebagai kado istimewa. Sebuah buku ditulis oleh kaum ibu,” begitu ungkap Buya diawal pembuka kata.
Dalam kesempatan itu, Buya bercerita bahwa ada sebuah tulisan beliau yang mengkaji riwayat yang menyatakan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam. “Saya tidak sepakat dengan riwayat. Karena saya menganggap perempuan itu bukan konco wingking. Saya lebih sepakat tulang rusuk dipahami sebagai sejawat atau partner.” Atas dasar pemikiran ini pula, beliau mendorong mendorong Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah untuk mendirikan universitas. Saat ini universitas itu bernama UNISA (Univeristas Aisyiyah). Tujuannya “Supaya kita berlomba-lomba demi kebaikan. Memang sebagian orang Muhammadiyah masih inward looking (berpandangan melulu ke dalam), namun mau tak mau kita harus tetap harus meluaskan pergaulan. Saya bahkan sudah sampai pada tahap ekstrem, karena bagi saya bergaul itu dengan siapa saja dan orang mana saja, termasuk orang yang tidak percaya dengan tuhan. Rahman dan Rahim Tuhan itu seperti matahari. Matahari menyinari bumi tak memandang agama, etnis, dan bangsa manusia.”
Saya begitu tersentuh dengan pernyataan di akhir sambutan beliau. “Perbedaan-perbedaan adalah untuk memperkaya perumahan kemanusiaan. Yang terpenting, perumahan kemanusiaan itu jangan dirusak.” Bagi orang Minangkabau, istilah perumahan adalah tempat fondasi sebuah rumah (home) dibangun. Tanah perumahan ini harus layak, kokoh, aman, nyaman sebelum fondasi dan bangunan didirikan di atasnya. Maka untuk soal kemanusiaan, perumahan itu harus diperkaya dengan pengakuan akan perbedaan sebagai fakta keras sejarah, bukannya dirusak dengan sikap benar dan bagus sendiri.
Devi Adriyanti, Salah Satu penulis dalam buku Ibu Kemanusiaan: Catatan-Catatan Perempuan Untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif