Kosmopolitanisme Islam: Menyatukan Peradaban, Mencegah Perpecahan

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Peran Muhammadiyah dalam proses kosmopolitanisme di kawasan Asia Tenggara sangat kuat, termasuk juga dalam relasinya dengan dunia Arab. Sejak awal millennium kedua, Islam kerap kali menjadi dinamo yang menentukan maju-mundurnya bangsa ini. Melalui ekspansi perdagangan berbagai kerajaan di Nusantara, Islam berhasil memperluas pengaruhnya ke seantero dunia, mulai dari Cina hingga Jazirah Arab.

Menurut maknanya, kosmopolitanisme merupakan ideologi yang menyatakan bahwa semua suku bangsa merupakan satu komonitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Seseorang yang memiliki pemikiran kosmopolitanisme dalam bentuk apapun disebut kosmopolitan atau kosmopolit. Sehingga cara pandang yang digunakan harus lebih inklusif. Membuka horizon dan kemudian mengadopsi pemikiran pembaharu. Oleh karena itu pada tahun 2010 Muhammadiyah mengeluarkan pandangannya tentang wawasan kebangsaan dan kemanusiaan. Pada akhirnya kata ‘kemanusiaan’ ini diadopsi dan kemudian dipopulerkan Muhammadiyah melalui salah satu lirik lagu Muktamar ke-48 yang diciptakan langsung Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, “Bersama cerahkan semesta”.

Dalam agenda Rabu Buku edisi kelima yang mengulas ‘Kosmopolitanisme Islam: Islam Asia Tenggara dalam Perspektif Komparatif’ (2/6), Haedar Nashir mengungkapkan bahwa ada satu pokok pikiran yang perlu menjadi rujukan bagi segenap keluarga besar Muhammadiyah. Dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan universal, Muhammadiyah dituntut mengembangkan wawasan keislaman yang bersifat kosmopolitan. Secara moral, kosmopolitanisme melampaui sekat-sekat etnik, golongan, suku, ras, agama dan budaya umat manusia di seluruh dunia. Menurutnya, kosmopolitanisme merupakan tol penghubung antar peradaban.

“Jangan sampai kita masuk di dalam otak tempurung yang terbatas, sehingga menjadi anti terhadap segala sesuatu dan pada akhirnya membuat wawasan kita tidak berkembang,” tuturnya.

Khairudin Aljunied, Assoc, Prof. pada Department of Malay Studies mengatakan, Islam selalu membawa pemikiran dan ide segar untuk membawa manusia ke ranah baru. Mengajak manusia untuk kembali menghidupkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi moral dan kemanusiaan. Melalui buku ini, ia berusaha menampilkan wajah Islam yang sejatinya sangat dekat dengan kebudayaan lokal, terkhusus di wilayah Asia Tenggara. Menurutnya, terdapat banyak kebudayaan lokal di Nusantara yang selaras dengan nilai-nilai Keislaman dan keruhanian.

“Jika kosmopolitanisme disatukan dengan nilai-nilai Keislaman, sesungguhnya keduanya sejalan dengan apa yang difirmankan Allah SWT di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW,” tegasnya dalam acara yang diselenggarakan oleh Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM Jawa Barat. (diko)

Exit mobile version