Judul : Muhammadiyah dan Orang-orang yang Bersahaja: Sketsa-sketsa Etnografis dari Beirut
Penulis : Hajriyanto Y. Thohari
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan I : April 2021
Tebal, ukuran : xxxiv + 340 hlm, 15 x 23 cm
ISBN : 978-602-6268-83-9
Hajriyanto Y. Thohari (HYT) memilih artikel “Muhammadiyah dan Orang-orang yang Bersahaja” sebagai judul dari mozaik buku ini. Impresi yang kuat tentang kebersahajaan Muhammadiyah di mata seorang HYT terbangun dari pengalamannya yang panjang di internal organisasi. “Sebenarnya, bukan hanya orang-orangnya, Muhammadiyah sendiri adalah organisasi yang sangat bersahaja. Malah juga paham keagamaannya juga bersahaja,” tulisnya (hlm xi).
KBBI V mendefinisikan frasa bersahaja dalam dua arti: sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Bersahaja tidak harus dimaknai sederhana, apalagi serba kekurangan dan kehilangan muruah. Dalam pengantar buku ini, Haedar Nashir menekankan pada makna kedua, yaitu sikap proporsional, tengahan, dan tidak berlebih-lebihan. “Kami di PP Muhammadiyah memiliki prinsip hidup, apa yang menjadi milik organisasi sepenuhnya bagi kepentingan dan kemajuan Persyarikatan yang harus dirawat dengan amanah” (hlm xx). Zuhud adalah masalah pengendalian diri, bukan tentang banyak atau sedikitnya harta. Ada banyak orang di Cabang atau Ranting yang hartanya dipergunakan untuk membesarkan Persyarikatan.
HYT mengutip pandangan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar bahwa, “orang Muhammadiyah itu sederhana, bersahaja, kerja keras, hemat, suka menabung, filantropis, dermawan, dan zuhud.” Pandangan ini mengingatkan pada Max Weber yang menulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber menemukan keterkaitan antara keyakinan keagamaan dan perilaku ekonomi di kalangan Protestan asketis, terutama sekte Calvinis. Clifford Geertz dalam Peddlers and Princes (1963) menguji pandangan tentang hubungan perilaku keagamaan dengan spirit kapitalisme rasional di Kediri dan Bali. Ditemukan bahwa reformisme Islam dan pembangunan ekonomi berjalan beriringan, terlihat dari para saudagar Muslim reformis-puritan yang menguasai pertokoan besar di Kediri.
Menurut Sukidi, Muhammadiyah generasi awal yang direpresentasikan oleh KH Ahmad Dahlan dapat dikategorikan sebagai prototipe Muslim Calvinis yang rasional, berperilaku asketis, dan punya spirit entrepreneurship. Mereka merupakan pengusaha, tetapi bersahaja dan gemar berbagi. Etos ini antara lain menekankan pengembangan uang sebagai modal untuk terus dilipatgandakan, bekerja dimaknai sebagai suatu bakti atau panggilan menuju keselamatan, hasil yang didapat akan ditabung untuk masa depan dan keuntungannya tidak dinikmati dengan berfoya-foya. Spirit inilah yang dilihat oleh Weber sebagai landasan kemajuan Eropa Barat.
Dengan kacamata antropologi, HYT cukup jeli dalam mengamati perilaku sosial individu dan perilaku organisasi. Ada banyak hal yang disorot dalam buku yang terbagi menjadi lima bagian ini: (1) kiprah orang Muhammadiyah, yang antara lain tentang keterlibatan dalam sejarah pergumulan kemerdekaan, seperti diperankan Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Moh Hasan, Soekarno, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir; (2) yang bersahaja yang sederhana, yang menekankan tentang perilaku orang Muhammadiyah seperti sikap bersahaja, tidak sok semuci-muci, tidak kearab-araban dan kebarat-baratan. Disertakan juga obituari tentang Baroroh Baried, Moeslim Abdurrahman, Agus Edy Santoso, Ahmad Watik Pratiknya, Said Tuhuleley, Bahtiar Effendy, dan Yunahar Ilyas; (3) pikiran bersahaja tentang Muhammadiyah; (4) bersahaja dalam politik; (5) Muhammadiyah di antara dua golongan besar yang hebat, yaitu golongan nasionalis dan golongan Islam. (Muhammad Ridha Basri)
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2021
Beli Bukunya di Suara Muhammadiyah Store