Semakin waktu beranjak sore, ketika itu pula sinar matahari mulai menyingsing. Berpindah menyinari tempat yang sebelumnya gelap gulita. Saat itulah waktu biasanya para pekerja kantoran pulang untuk merehatkan diri, menyiapkan tenaga demi mengais rejeki di hari yang akan datang. Asap motor berkepul tebal kian meninggi di udara kota Yogya ini, sehingga jalanan kian menemui macetnya.
Namun saat itu aku yang pulang dari perkuliahan melihat sosok bapak-bapak yang sedang mengendarai becak tradisional, dengan warna merah maron setengah pudar sambil menekuk satu kaki, mengibas dan mengelapkan handuk ke mukanya sembari mengayuh kayuhan becak dengan wajah penuh peluh keringat sisa panas matahari yang mulai tenggelam. “Nampak sekali rasa lelah di wajahmu, bapak tukang becak” gumamku.
Aku yang merupakan mahasiswa di salah satu kampus swasta di kota tersebut pun sangat iba melihat pemandangan ini, sambil berfikir dalam-dalam bahwa sudah semestinya aku yang bisa mengendarai motor Supra keluaran terbaru ini merasa bahagia penuh syukur kepada Allah sang pemberi nikmat. Dalam pemandangan syahdu itu, aku berfikir bagaimana jika suatu saat aku menjadi ayah, kepala keluarga, mencari nafkah, sedang alam tidak berpihak padaku?
Bagaimanakah kiranya jika aku telah susah-payah mencari pekerjaan yang halal sedangkan takdir Allah berkata “kamu tidak akan pernah menjadi orang kaya”? bagaimanakah jika saat anak mungilku menangis meminta susu, anak pertamaku merengek meminta uang sekolah, dan istri cantikku mengadu meminta uang bulanan yang telah habis?
Ya Allah betapa beratnya ujian dan ikhtiar bapak itu menjadi kepala keluarga. Tidak mau menghanguskan nama baiknya dengan meminta-minta, mengemis di setiap perempatan lampu merah sebagaimana dilakukan juga oleh hamba-hamba Allah yang pasrah akan nasibnya kepada Allah dengan meminta-minta.
Maka tanpa sadar mata hatiku mulai menangis sedih, sesak, bercampur rasa syukur yang teramat dalam kepada Allah bahwa hingga saat ini Allah senantiasa memberikan kecukupan rejeki kepada ayahku. Ayahku yang saat ini menjadi wiraswasta selalu Allah cukupi kebutuhannya. Tetapi yang namanya ayah, beliau tidak akan membeli kebutuhannya sebelum kebutuhan istri dan anak-anaknya terpenuhi. Sehingga seperti itulah ayah dengan tampilan dan pakaian yang tidak pernah terkesan mewah. Tetapi tiba-tiba terbesit kembali pikiran dalam batinku bukankah dulu saat aku masih kecil, masih balita hingga tamat pesantren ayah juga seorang tukang becak?
Astagfirullah, terkaget aku hingga hampir saja aku menabrak pengendara motor yang ada persis di depanku karena tidak peka dengan lampu merah bagian belakang yang menyala tanda dia menginjak pedal rem. Dalam perjalananku kembali aku terfikir ya Allah betapa susahnya ayah dulu bekerja. Betapa ayah dulu sangat suka terseyum di hadapan anak-anaknya, padahal beliau memikul beban berat sebesar gunung di pundak beliau. Ya Allah, ayahku dulu juga seperti bapak yang sempat membuat air mataku mengalir deras. Memendam peluh, menahan lelah, menguatkan sabar, untuk membiayai aku dan tiga kakakku itu ya Allah?.
Dan pemandangan yang membuatku menangis tersedu ini ternyata tidak membuatku menangis karena keegoisan kanak-kanakku yang tidak mengetahui kerja keras yang ayah alami, dan perih yang ayah rasakan. Meminta buahlah, meminta mainanlah, meminta makanan seperti yang diiklankan di televisi-televisi swasta, atau meminta baju seperti baju yang dikenakan kawan-kawan sejawatku.
Secara reflek imajinasiku mengarahkan pikirku menganggap bahwa pembecak itu adalah ayahku. Yang telah memberikan aku nafkah dengan keringatnya, yang sudah membesarkan aku dengan pengorbanannya, yang kian sepuh namun tidak pernah beralasan akan usianya, yang selalu tersenyum melayani penumpangnya, yang selalu berkata “wooo… mboten kesel kog bu, sampun biasa ngeten niki” (woo tidak capek kog bu, sudah biasa capek-capek seperti ini) tiap kali ada penumpang wanita yang menawari istirahat kepada beliau, yang merupakan warga sebuah kampung di solo.
Yang selalu menahan lapar di setiap memandang masakan-masakan enak yang dijual di samping jalan-jalan pinggiran kota, karena terbayang wajah anak dan istri di desa yang menunggu nafkah yang didapat dengan hasil menjual jasa dan tenaga tulang dan otot beliau yang semakin menua semakin melemah itu. Yang selalu nampak dengan baju seadanya dan tanpa malu bercampur gengsi untuk tidur di atas becak kayuhnya.
Ayah, aku teringat dulu saat engkau menengokku ke pesantren dengan sepeda motor jadul, membawa satu wadah kecil, kecil sekali, berisi gula. Tidak banyak memang, namun cukup untukku mencicipi teh satu bulan penuh dengan hanya menyeduhnya di hari Senin dan Kamis. Teringat saat dahulu ayah membawaku ke rumah sakit dengan wajah penuh cemas karena sakitku yang tak kunjung sembuh selama satu minggu. Ayah tidak bisa berkata-kata, hanya pasrah dengan ucapan-ucapan sihir dokter yang pandai ilmu tidak kenal tipu.
Dilihatnya tagihan sebesar dua ratus sembilan puluh ribu rupiah, lalu dirogohnya kantong ayah di depan kasir yang hanya tersisa tiga ratus ribu rupiah namun engkau tetap membayarkannya tanpa meminta dispensasi kepada pihak rumah sakit karena engkau sudah sangat tawakkal kepada Rabbmu, meskipun engkau tidak tahu akan menggunakan uang dari mana untuk biaya makan hari itu. Ayah, teringatku saat aku masih SD, sedangkan setiap selesai shalat Maghrib berjamaah di langgar kecil samping rumah pak Iman engkau selalu menemani aku belajar di rumah sederhanamu. Engkau tidak pernah makan sebelum aku selesai belajar dan makan bersamaku.
Tidak terlalu bergizi makanan yang dahulu engkau berikan kepadaku, hanya mie instan yang dibeli dari warung tetangga sebelah dengan harga Rp. 500,00, banyak mengandung MSG yang dikabarkan tidak sehat dan cenderung membawa dampak kurang baik bagi perkembangan otakku. Namun ayah, nampaknya bukan kesakitan itu yang hendak engkau berikan padaku. Namun, ajaran filosofi hidup bahwa kehidupan akan selalu diiringi dengan kesabaran dalam menerima setiap takdir yang Allah gariskan, ketidaksukaan, namun kita selalu dituntut untuk bertahan sambil berkembang menumbuhkan potensi insaniyyah yang telah Allah ciptakan.
Kini ayah, saat aku telah beranjak dewasa, aku belum bisa dan tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasamu dulu. Menyamainya pun tidak akan pernah bisa, apalagi memberikan yang lebih dari pada yang engkau berikan padaku. Namun ayah, aku memiliki azam, cita-cita yang tinggi bahwa aku bisa membahagiakanmu suatu saat nanti. Aku ingin kau merasa bangga telah menafkahi aku selama puluhan tahun, bahkan setengah awal umurku.
Aku teringat ulama karismatik asal Minangkabau “Hamka” yang selalu menulis nama dan jasa ayahnya di setiap buku yang dia tulis, maka aku ingin sekali bisa berterimakasih kepadamu, menulis nama dan jasa-jasamu di setiap buku yang aku tulis. Karena engkau bukanlah guru, namun telah mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya kepadaku, engkau juga bukan profesor, namun engkau telah menuliskan catatan-catatan indah dalam kamus hidupku.
Aku tidak mungkin bisa mengganti jasamu hanya dengan materi, namun aku ingin menggantinya dengan menjadi anak yang berguna, sehingga ketika ajal telah datang secara lembut menghampirimu, tanah liat sudah menjadi rumahmu, diriku bisa menghadirkan teman terbaik di dalam kehidupan kelakmu. Aku ingin menjadi anak yang berbakti, berbudi luhur, berperangai baik, berakal cerdas, bermental baja, agar engkau mendapat pahala yang selalu mengalir. Dan sekali lagi aku tidak ingin membuatmu kecewa pernah mendidik, mengasuh dan membesarkanku.
Kini saat usiamu telah menuju usia senja, aku tidak akan meminta apa-apa darimu lagi ayah. aku tidak minta hartamu, aku tidak butuh rumah yang engkau tinggali, aku tidak butuh sawah ladang dan pekarangan yang engkau miliki, dan aku tidak butuh uang dan pakaian yang engkau simpan. Namun aku hanya butuh ridhomu agar Allah ridho pada jalan hidupku, aku hanya butuh doamu agar Allah selalu menuntunku, dan aku juga butuh maafmu atas segala kesalahan-kesalahanku selama memberatkan hidupmu, bahkan jika pernah aku menyakiti hatimu.
Tak sadar ternyata kaca mataku telah basah kuyup, bukan karena hujan, namun karena air mataku yang mengalir tak terbendung. Lalu kucari masjid terdekat untuk sekedar membersihkan kacamata ku, lalu ku teruskan sholat untuk mendoakanmu ayah. Kuingin jika aku pulang nanti bisa bersimpuh merendah di hadapmu, dan berterimakasih sambil meminta maaf padamu meskipun aku faham bahwa jawaban yang akan engkau keluarkan selalu sama “koe bar ndelok filem opo to nang?” (kamu habis nonton filem apa sih nak?) tanda ayah tidak mau anaknya bersedih saat beliau telah bahagia melihat anaknya yang kian dewasa dalam bakti dan budinya, seperti biasa yang selalu engkau ucapkan kata itu kepadaku.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 14 Tahun 2019