Pengalaman Perjumpaan Muhammadiyah dan Keragaman

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kumpulan artikel Herman L Beck yang dihimpun dan diterjemahkan menjadi buku Fenomenologi Islam Modernis, Kisah Perjumpaan Muhammadiyah dengan Kebhinekaan Perilaku Beragama (2019) dibedah oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD), 10 Juni 2021. Bedah buku yang dilangsungkan dalam jaringan Zoom itu menghadirkan pembahas: dosen STF Driyakara Dr A Setyo Wibowo dan dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga pengurus Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP Aisyiyah, Siti Syamsiatun PhD. Buku ini menyoroti fenomena perjumpaan Muhammadiyah dengan budaya Jawa, Katolik, hingga Ahmadiyah.

Romo Setyo Wibowo banyak mengkritisi temuan Herman L Beck dalam artikel yang mengupas tentang situs ziarah Gua Maria Sendangsono. “Tesis yang dibuat Herman L Beck kurang meyakinkan, bahwa fenomena ziarah Goa Maria dianggap sebagai strategi misi.” Ringkasnya, tesis Beck menyatakan bahwa Van Lith ingin membaptis orang Jawa, orang Jawa suka dengan Dewi Sri, lalu Van Lith meletakkan patung Bunda Maria di Sendangsono supaya orang Jawa berbondong-bondong masuk Katolik.

Setyo Wibowo menyebut bahwa setelah Konsili Vatikan 1965, “doktrinnya orang Katolik tidak harus membaptis, tapi membawa spiritualitas Yesus, yaitu keadilan, perdamaian, dan kasih. Van Lith sudah punya pedoman seperti itu.” Menurutnya, setelah membaptis 173 orang dan mendapat kucuran dana, ia kembali mengurus sekolah, tidak lagi ke Kalibawang. Sponsor dana ini dianggap penting, karena misi Katolik tidak sebagaimana zending Protestan yang disponsori pemerintah Belanda. Tanpa subsidi dana, sekolah Van Lith tidak berjalan.

Pastor Van Lith yang berasal dari sekte Jesuit merupakan misionaris Belanda yang berkarya di Muntilan. “Van Lith ketika datang ke Jawa, dia menggunakan strategi yang menyasar kaum elite, dalam arti calon-calon guru,” ulas Wibowo. Saat itu, setelah perang Jawa lalu tanam paksa, kemudian politik etis, lalu banyak jalur-jalur kereta api, perkebunan, maka dibutuhkan middle class (ambtenaar), yang bisa mengakses bahasa belanda dan diproyeksikan menjadi elite lokal.

Van Lith memfokuskan dirinya mendidik katekis di sekolah, mendidik kaum elite. Strategi misi saat itu, kata Wibowo, terdiri dari dua: pertama, mendidik di desa-desa; kedua, di sekolah-sekolah. “Van Lith justru tidak berhasil, yang berhasil adalah yang di desa-desa. Karya misi Van Lith melalui sekolahnya dianggap gagal,” ujarnya. Suatu ketika, ada orang minta disembuhkan dan sembuh, lalu ia percaya pada Van Lith, lalu mendadak 173 orang dibaptis. Dari situ, Van Lith meletakkan patung bunda maria di Sendangsono.

Meskipun misinya di sekolah dianggap gagal, hasil dari pendidikan yang dipelopori Van Lith di Muntilan ini misalnya berhasil melahirkan tokoh pejuang nasional Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono dan Albertus Soegijapranata. “Meskipun orang Belanda, Van Lith sangat pro-Jawa, skeptis dengan teman-teman Belanda. Menurutnya, tidak selamanya orang Belanda menguasai orang Asia. Van Lith tidak disukai misionaris lain.” Van Lith sebagai orang Katolik juga merasa tertindas di Belanda.

Setyo Wibodo juga mengkritik tesis yang diajukan Herman L Beck bahwa: Muhammadiyah sebagai gerakan pengaktualisasian Islam, “Itu terlalu kaya sekaligus terlalu miskin. Ini kan dilakukan semua gerakan.” Meskipun banyak kekurangan, menurutnya, fenomenologi yang ditulis Herman L Beck ini menjadi pemantik untuk mengkritisi gejala-gejala yang ada. “Fenomenologi tidak mudah karena menuntut keterbukaan, membuka pandangan-pandangan pribadi, objektif dengan data yang ada, dan sabar untuk menggambarkan.”

Siti Syamsiatun tidak sependapat dengan Setyo Wibowo tentang pernyataan Herman L Beck. Menurut Syamsiatun, kesimpulan Herman L Beck bahwa Muhammadiyah mengaktualisasi Islam itu sudah tepat. “Karena tidak semua gerakan Islam mampu melakukan aktualisasi, tetapi banyak –yang dalam bahasa Amin Abdullah– melakukan qiraah mutaqarrirah, hanya mengulang dan kembali ke masa lalu. Ini usaha Muhammadiyah melakukan qiraah muntijah untuk menghasilkan sesuatu yang aktual.”

Syamsiatun menyebut bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-13, Mataram Islam sudah berdiri abad ke-17, tetapi ruh Islam tidak tampak. Muhammadiyah banyak melakukan kepeloporan untuk mengatualisasikan Islam. “Muhammadiyah di satu sisi memang melakukan ortodoksi, dulu banyak yang tidak salat atau puasa, hanya menitip pada Bapak Kaum saja, tetapi kehadiran Muhammadiyah membuat praktek yang baru.”

Selain melakukan ortodoksi, di sisi lain, Muhammadiyah melakukan pembaruan. KH Ahmad Dahlan banyak mengambil vitalitas dari sekolah-sekolah Kristen, misalnya tentang pendidikan sains, berhitung, dll. Sebelumnya hanya ada pendidikan dengan sistem pesantren. Sekolah yang diinisiasi Muhammadiyah mampu memadukan pembelajaran agama dan pendidikan umum.

Meskipun artikel-artikel ini sudah lama, “Saya mendapati banyak relevansi, antara lain menjelaskan rentetan kebijakan dan tingkah laku Muhammadiyah saat ini, terutama dalam konteks membangun relasi dengan pihak yang berbeda.” Karakter Muhammadiyah saat ini dipengaruhi oleh situasi di masa lalu. “Buku ini tetap relevan karena tingkah laku dan identitas Muhammadiyah tidak dibentuk secara instan,” tuturnya.

Saat ini, kata Syamsiatun, Muhammadiyah ada yang konservatif dan ada yang terbuka. “Ini sudah ada di masa lalu, meskipun pendirinya sangat terbuka, seperti relasinya dengan Van Lith, Ahmadiyah, dan sikapnya yang tidak konfrontatif dengan Belanda.” Menurutnya, sekarang tipologi Muhammadiyah semakin beragam: Muhammadiyah-Ikhlas, Muhammadiyah-Marhenis, Muhammadiyah-NU, Muhammadiyah-Salafi, Kristen-Muhammadiyah, hingga Kosmopolitan-Muhammadiyah. Antara NU dan Muhammadiyah juga sudah semakin mendekat. Misalnya, NU sekarang banyak mendirikan sekolah, universitas, dan rumah sakit. Orang Muhammadiyah yang karena kerinduannya pada tradisi, mulai terbiasa juga ikut acara-acara ziarah atau slametan untuk kebersamaan.

Kat Syamsiatun, “Ketika orang melabeli Muhammadiyah sebagai puritan, fundamentalis, radikal, itu hanya dilihat dari satu sisi saja. Muhammadiyah punya banyak sisi, dan pelabelan itu ada yang missing.” Ketika Muhammadiyah dikatakan organisasi modern, di sisi lain, ia masih engage dengan agama, tradisi, hal gaib. Ini berbeda dengan modernitas di Barat yang justru disengagement pada hal-hal yang gaib dan menjadi sangat rasional.

Demikian halnya ketika misalnya Muhammadiyah disebut puritan. Syamsiatun menyertakan kisah ketika Herman Beck bertanya kepada Pak AR Fachruddin, apakah Muhammadiyah itu gerakan fundamentalis. Jawab Pak AR yang ditirukan Syamsiatun dari tulisan Beck, “Jika fundamentalis diartikan sebagai gerakan yang kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, maka Muhammadiyah itu organisasi fundamentalis.” Dalam diskursus akademik di Barat, parameter fundamentalis sangat beragam. (ribas)

Exit mobile version