MALANG, Suara Muhammadiyah – Gonjang-ganjing isu menggoyang KPK beberapa waktu terakhir. Memantik keprihatinan civitas akademika FISIP UMM. Pada Kamis (10/6) FISIP UMM menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum. FISIP menghadirkan sejumlah pembicara di bidang hukum dan politik. Tokoh hukum Indonesia yang juga mantan wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas, menjadi salah satu dari empat pembicara dalam webinar kali ini. Selain Busyiro, FISIP juga menghadirkan Azyumardi Azra, cendekiawan muslim Indonesia dan Feri Amsari, aktivis hukum Indonesia yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas.
Busyro Muqoddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Hukum dan HAM menyampaikan bahwa ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era presiden Jokowi, ada faktor determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik. Terjadi penurunan indeks persepsi demokrasi pararel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi. Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi sekaligus makin naiknya tingkat korupsi.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia juga merupakan transaksi nasional yang memerlukan prasyarat. Yang pertama adalah floating mass, yakni masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya. Pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024 adalah prasyarat berikutnya bagi demokrasi transaksional ini. Selain itu intensitas represivitas keamanan seperti teror, hoaks radikalisme, isu intoleran dan gerilya buzzer adalah indikasi berikutnya.
Sementara itu, Feri Amsari menjelaskan setiap tahun KPK diserang oleh koruptor. Hal ini merupakan indikasi sederhana yang positif karena berarti KPK masih berada di jalurnya. Ia juga membahas ketidakjelasan posisi KPK, mengingat Indonesia hanya ada tiga jenis lembaga. Di antaranya eksekutif, yudikatif dan legislatif. Menurut Feri Amsari, upaya pengubahan Undang-Undang (UU) KPK baru terjadi di era Jokowi. “Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jika ada perubahan UU KPK berlangsung dengan cepat, maka bisa dipastikan adanya keterlibatan presiden dalam perubahan tersebut secara serius,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Azumardi Azra menuturkan gonjang-ganing KPK menjadi salah satu pertanda buruk atau negative legacy dalam pemerintahan Jokowi. Seharusnya pada periode kedua, Jokowi bisa menguatkan positive legacy.
Menurutnya, kebebasan berekspresi semakin hilang belakangan ini. Selain itu terjadi sejumlah penangkapan beberapa tokoh yang vocal. Ia mengatakan jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi, salah satu jalannya yakni membebaskan orang-orang yang mengkiritik. Dijelaskan guru besar peraih gelar commander of The Order of British Empire ini, Indonesia harus dibangun oleh kebebasan berekspresi, bebas menyampaikan kritik, bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah.
“Yang bisa kita lakukan adalah menyalakan harapan, walaupun saya melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK ini. Presiden Jokowi juga tidak merespon suara dari 75 guru besar yang mengkritisi kasus KPK. Saya juga tidak melihat KPK akan dipulihkan kekuatannya. Walaupun kondisinya pahit, ya biarkan saja. Sembari menunggu harapan baru pada tahun 2024,” tuturnya.
Rinikso Kartono, Dekan FISIP UMM dalam sambutannya mengatakan, tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK adalah perilaku yang tidak adil. Terjadi labelling terhadap pemberantas korupsi sebagai orang-orang tidak Pancasilais, namun para koruptor tidak diberi labelling negatif. “Serangan balik dari koruptor yang terjadi juga mempengaruhi semua elemen di masyarakat. Instrumen kebaikan menjadi pudar dan instrument yang kuat belakangan ini adalah uang. Kita tidak usah heran jika lebih 300 orang termasuk kepala daerah masuk dalam bursa kepemimpinan,” ujar Rinikso. (diko)