BERAS-BERAS YANG TERCECER, Cerpen Azwar Anas

BERAS-BERAS YANG TERCECER, Cerpen Azwar Anas

Dok. Tempo.co

Aku seperti hidup kembali, apakah ini ilham?

Setelah kejadian dua minggu lalu, aku tidak pernah menjamah ruang bebas, mengurung diri di dalam kamar, tak seorang pun akan kutemui termasuk Emak. Kubuat gelap gulita ruang kamarku, tak kubiarkan berkas cahaya masuk menembus kedalam isi kamarku, pintu dan jendela kamar kupastikan selalu terkunci.

Aku merasa kegelapan telah membuatku sedikit tenang. Sayangnya, aku tidak dapat menghalangi suara-suara di sisi luar dinding kamarku, sayup-sayup sering kudengar orang yang lewat di jalan gang tepat disebelah kamar menggunjingku, kadang mereka menyebutku sedang mengalami trauma, lebih parah lagi aku dibilang sudah gila.

Dua minggu lalu aku menjual beras kepada seorang pembeli. Alangkah sial, si pembeli benar-benar jeli, timbangan beras yang kuakali ketahuan. Si pembeli memaki habis-habisan, aku berusaha meminta maaf sejadi-jadinya sampai-sampai kupeluk dan cium kakinya. Seolah tak ada maaf bagiku, si pembeli justeru menjadi-jadi, ditengah pasar ia teriak-teriak.

“Penipu! Ada penipu!”

Dug! Plak!

Seketika beberapa orang menghajarku, seingatku kepalaku terpukul tiga kali dengan ayunan yang cukup keras, belum lagi tendangan-tendangan ke arah perut dan kakiku. Saksi kesadisan itu adalah sobeknya bibir dan tanggalnya dua gigiku, belum lagi memar-memar hampir di sekujur tubuh.

Yang membuatku tak habis pikir, mereka yang menghajarku adalah para seniorku sendiri, pedagang beras yang sebulan sebelum kejadian mengajariku mengakali timbangan agar untungku besar seperti yang sudah mereka lakukan selama ini. Entah rasa tak menyangka itu atau efek jotosan di kepalaku ini yang mebuatku ketakutan dan tak percaya semua orang hingga aku berakhir pada pengasinganku di kamar selama dua minggu.

Halaman di depan rumahku nampak tetap seperti biasanya, walapun hanya ada bunga-bunga seruni dan pohon pucuk merah yang tumbuh namun berkat tangan Emak taman ini nampak bagus, bersih dan rapi. Dua minggu dalam gelap pengap, seperti mayat hidup, kini rasanya aku seperti bayi yang baru lahir atau seperti anak kecil yang ingin menyentuh semua yang nampak disekitarku.

Masih terasa kaku, langkah ini kupaksa berjalan menuju halaman depan rumah, kulihat Emak diteras rumah bersujud dengan tangis sedunya, senang bukan main Emak melihatku keluar dari kamar. Aku hampiri Emak, ibuku dan satu-satunya keluargaku.

“Amir sudah buat Emak khawatir. Maafkan Amir Mak!” Pintaku, sembari kupeluk erat tubuh renta Emak.

“Sudahlah le, yang penting kamu baik-baik saja sekarang. Emak siapkan makanan dulu buat sarapan kamu ya le, nanti kamu makanlah yang banyak.” Sambil mengusap air mata di pipi, tanda Emak begitu bahagia.

Pagi ini aku masih ingin menikmati suasana sekelilingku. Udara sejuk menyambut kehadiran sinar mentari seakan merayakan akhir dari pengasingan panjangku. Kuresapi dengan penuh penyesalan, betapa bodoh dan kelirunya aku yang berbuat licik, bukan itu yang seharusnya aku dan para pedagang beras lainnya lakukan. Beruntung aku belum mati, beruntung pula aku mendapat pencerahan yang menghangatkanku dari bekunya jiwa yang licik ini.

“Nak Amir!” Surara lantang mengalihkan pandangan dari seruni-seruni di depanku.

Pak Mulyono rupanya, biasa kupanggil Pak Mul, tetanggaku, lumayan sering kami ketemu. Rumahnya berjarak dua kebun dari rumahku, ia seorang pedagang juga di pasar, di rumah punya ternak ayam sendiri, di pasar punya lapak kecil ukuran satu meter persegi untuk menggelar daging ayam potongnya.

“Lama tidak kelihatan, ngomong-ngomong Nak Amir sehat kan?” Tanya Pak Mul padaku.

“Eh iya ini Pak Mul, seperti yang Pak Mul lihat, saya sehat-sehat saja, juga waras-waras saja Pak Mul, haha.”

Kami akhirnya ngobrol cukup lama, dari obrolan kami itu aku ketahui Pak Mul ini dalam perjalanan berangkat berdagang ke pasar dengan sekeranjang penuh daging ayam siap jual. Aku cukup kagum dengan Pak Mul dan berpikir pasti Pak Mul bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum subuh, tentu saja untuk menyembelih dan memotong ayam-ayamnya dari kandang. Tak kuasa aku akhirnya menanyakan aktifitas Pak Mul sebelum berangkat ke pasar.

“Iya begitulah, tetapi tidak semuanya.” Jawaban Pak Mul dengan senyum malu.

“Maksudnya Pak Mul?” Tanyaku penasaran.

Pak Mul bercerita kalau sebagian ayamnya adalah ayam-ayam yang sudah mati, biasanya dari ratusan ayam di kandang ada satu sampai tiga ekor ayam yang mati, ia bukannya membuang ayam-ayam mati itu metapi malah memotongnya dan dijadikan satu dengan daging ayam segar lainnya untuk dibawa ke pasar pagi harinya.

“Hanya saja begini Nak, hal seperti itu kan sudah biasa saya dan teman-teman lakukan, kami hanya berusaha meyakinkan ke pembeli kalau daging ayam yang kami jual semuanya masih segar, toh hanya beberapa potong daging saja kan dari sekeranjang penuh ini” Ujar Pak Mul sambil menunjukkan keranjang dagingnya padaku.

“Maaf ini Pak Mul, bukan saya mau melarang. Saya Yakin Pak Mul tahu itu keliru. Sama seperti saya waktu lalu, saya juga melakukan hal yang sama seperti Pak Mul, sekalipun saya tahu itu keliru tetapi saya coba berikan ribuan alasan untuk membenarkan kelakuan saya.” Aku berusaha meyakinkan Pak Mul.

“Bagaimana nanti kalau Pak Mul bernasib sama seperti saya, Pak Mul bisa saja masuk rumah sakit bahkan mati dihajar pembeli atau bahkan teman-teman Pak Mul sendiri, belum lagi.. nanti urusan sama Tuhan.” Tambahku.

Pak Mul sejenak termangu. Tanpa kata-kata ia berjalan menjauhiku, dipanggulnya keranjang daging ayam dipundaknya. Aku merasa tak enak hati, Pak Mul sepertinya tidak nyaman dengan kata-kataku tadi.

“Tunggu Pak Mul!” Aku berlari mendekatinya.

“Maaf Pak Mul atas ucapan saya tadi, Pak Mul boleh untuk tidak mendengarkan ucapan saya tadi, tapi biarkan saya beli daging-daging ayam yang tak disembelih yang Pak Mul bawa.” Aku mencoba lakukan hal terakhir yang aku bisa, Pak Mul hanya diam. Aku merasa sia-sia, ucapanku tak ada gunanya, aku menyerah dan berbalik arah melangkah menuju rumah.

“Tidak usah!” Pak Mul menjawab dengan begitu tegas, aku berfikir mungkin Pak Mul marah sekali denganku.

“Biar saya sendiri yang akan buang daging ayam ini ke sungai, memang benar sudah selayaknya daging-daging ini untuk dimakan ikan-ikan atau biawak di sungai, bukan untuk pembeli. Kamu benar Nak Amir, ini bukan hanya masalah berapa keuntunganku, ada hal yang lain yang mestinya aku harapkan.” Tutup Pak Mul sambil menyalami tanganku. Senyumnya benar-benar melegakanku.

Lalu aku pulang, tak sabar makan masakan Emak. Sebelum kami berpisah tadi, Pak Mul mengundangku ke rumahnya, katanya istri Pak Mul mau buat camilan cotot dan geblek. Sekedar ngobrol-ngobrol sambil ngopi dan makan camilan katanya. Tentu saja aku menyanggupi tawaran Pak Mul itu.

Selepas aku pulang dan sarapan aku buru-buru ke pasar, aku mau menemui para seniorku pedagang beras, bukan untuk balas dendam, aku hanya ingin mereka sadar dan meninggalkan laku culasnya dalam berdagang. Aku merasa memiliki tanggung jawab setelah aku tersadarkan, lebih-lebih setelah aku bisa menasehati Pak Mul tadi, au yakin bisa merubah para pedagang beras di pasar.

Sesampainya di pasar, segera aku temui seorang pedagang beras paling senior yang sedang asyik menata beras-berasnya, Pak Haji kami sering memanggilnya. Tanpa basa basi aku segera sampaikan maksud dan tujuanku, aku bicara panjang lebar yang intinya meminta Pak Haji untuk tidak lagi mengakali timbangannya. Bukan respon yang sebagaimana aku inginkan, justeru aku diusir kasar olehnya.

“Pergi bodoh! Jangan buat aku miskin!” Maki Pak Haji. Tidak cukup itu, aku dilempar segenggam beras tepat dimukaku. Aku segera pergi agar tidak terjadi keributan. Biarlah saja, hanya satu pedagang yang tak mau dengarkan aku. Segera aku berlanjut menemui pedagang beras lain.

Aku jengkel sekali, setelah di pasar dari pagi tadi aku hanya dapat puluhan makian, tidak ada satu pun yang mau mendengarku, padahal ini untuk kebaikan mereka sendiri. Bahkan Pak Singgih mengancamku pakai golok tadi, aku pucat pasi, seketika aku lari dari kios berasnya. Sekarang aku tahu, kalau sebenarnya tidak ada gunanya aku kembali ke pasar, dan lebih baik aku kembali kedalam kamarku, tak usah aku jumpai semua orang sampai aku mati dimakan waktu. Jika aku memang sudah gila, biarlah saja, toh sama saja tidak ada gunanya kewarasanku.

Langit mulai menuju senja, tanda betapa singkatnya kewarasanku yang hanya sejak fajar tadi hingga segaris senja. Didepan rumah aku yakinkan kembali bahwa aku memang sepantasnya terasing, kembali meringkus di kamar yang tanpa cahaya sedikitpun. Sebelum aku membuka pintu rumah, aku teringat akan janjiku ke Pak Mul untuk ke rumahnya sore ini, tak mengapalah aku hanya akan menunda barang setengah jam untuk kembali mengurung diri di kamar.

Setibanya di rumah Pak Mul aku disambut dengan hangat, sehangat kopi dan camilan yang tersaji di atas amben bambunya. Aromanya wangi, lama memang aku tak ngopi. 

“Pak Mul, boleh saya coba kopi dan camilannya?” Aku menawarkan diri. Pak Mul mempersilahkannya.

“Nak Amir, wajah nak amir nampak ada sesuatu sepertinya, ada apa?”

“Tadi saya ke pasar Pak Mul.” Kataku singkat.

“Oh iya, saya tahu, tadi banyak yang cerita di pasar soal Nak Amir sama pedagang-pedagang beras. Sudahlah, jangan diambil hati seperti itu.”

Rupanya yang kulakukan tadi di pasar sudah diketahui banyak orang, sampai Pak Mul pun tahu. Pada akhirnya aku utarakan rencanaku soal tak mau menemui semua orang setelah ini. Aku katakan ke Pak Mul betapa diri ini tiada berguna, pencerahan yang kualami tadi pagi tidak membawa perubahan apa pun.

“Nak Amir salah!” Pak Mul memotong kata-kataku.

“Bukannya tadi pagi Nak Amir sudah menyadarkan orang lain? Yaitu saya. Bukankah hidup Nak Amir ini berarti telah berguna? Tanpa nasehat Nak Amir tadi tentu saya tidak akan pernah menyadari betapa kelirunya saya selama ini.” Pak Mul menatapku tajam.

“Nak Amir, sekalipun Nak Amir tak berhasil menyadarkan saya tadi, bukan juga tidak ada yang telah Nak Amir sadarkan. Nak Amir sudah berguna menyadarkan diri sendiri, dan itu adalah hal yang paling utama betapa bergunanya hidup Nak Amir!” Tegas Pak Mul.

Kali ini Pak Mul benar-benar telah menggugahku, seratu delapan puluh derajat aku merubah keputusanku mengurungkan diri kembali. Aku putuskan untuk bersiap-siap kembali berdagang besok tanpa mengakali timbangan seperti sebelumnya dan aku tak peduli sikap para seniorku nantinya.

“Pak Mul, saya pamit, saya siap-siap buka kios lagi besok di pasar, malam ini saya akan mencatat kebutuhan barang dagang dan modal yang harus saya siapkan. Dan, terima kasih kali ini Pak Mul kali yang menyadarkan saya.”

“Selamat kembali ke pasar, jangan risaukan masa lalu Nak Amir disana. Jika para pedagang di pasar tidak mau mendengarkan kata-kata Nak Amir mungkin Tuhan menaruh pintu kesadaran mereka di pandangan mereka yang kelak melihat cara berdagang Nak Amir.” Tutup Pak Mul yang kusambut dengan peluk hormat.

“Oya, saya lupa, ada yang tertinggal Pak Mul!”

Kuambil gelas, tersisa sesruput kopi yang harus aku tuntaskan.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 13 Tahun 2019

Exit mobile version