Aditya Pratama, Peminat kajian humaniora dan Muhammadiyah.
Waktu masih muda dulu, yah, kira-kira sepuluh tahun lepas, pernah saya mengendarai mobil sambil ngebut, berkendara kecepatan di atas batas normal. Saat sedang asyik ngebut, tiba-tiba saja “crottt,” nyawa seekor anak kucing melayang digilas ban mobil saya.
Kecepatan mobil yang melebihi batas kewajaran tak memberikan pilihan lain bagi saya, karena jika banting setir dalam kecepatan sesangar itu, bukannya mustahil jika justru saya dan penumpang mobil lah yang meregang nyawa. Terpaksalah saya mengantar anak kucing yang malang itu ke alam baka. Pilihan yang masih sangat saya sesali sampai sekarang.
Barangkali, ada orang yang melabeli penyesalan saya sebagai lebai bombai. Barangkali mereka berpikir, apalah arti nyawa seekor anak kucing, makhluk “kecil”, nomor kesekian, dan gak penting. Padahal anak kucing itu boleh jadi lebih mulia daripada koruptor, maling, begal, penjahat perang, penjahat kelamin, dan durjana-durjana lainnya.
Tapi, yang ingin saya tegaskan di sini adalah, jangan ngebut! Kenapa begitu? Setidaknya ada beberapa alasan yang hendak saya ajukan. Pertama, mengendarai kendaraan sambil ngebut—berdasarkan Permen Perhubungan tentang Tata Cara Penetapan Batas Kendaraan: 100 km/jam di jalan bebas hambatan, 80 km/jam di jalan antarkota, 60 km/jam di jalan dalam kota, 30 km/jam di jalan kawasan permukiman—dapat mengurangi kemampuan kita dan kendaraan kita untuk mengantisipasi peristiwa yang menjelang, misalnya orang, hewan, atau kendaraan menyeberang.
Jika setiap hari kita menjumpai berita tentang kecelakaan lalu lintas, banyak di antaranya menyebutkan kecepatan di atas batas kewajaran sebagai penyebabnya. Akhirnya, kedua, banyak nyawa bertumbangan sia-sia, bukan hanya manusia, melainkan juga hewan. Belum lagi jika kita memikirkan keluarga yang ditinggalkan si korban, yang rasa perihnya belum tentu dapat diwakili oleh lagu melankolis picisan yang entah mengapa laku juga di pasaran.
Perlu kita sadari bahwa yang menggunakan jalan umum bukan hanya kita saja, melainkan ada hak orang lain di situ. Dengan demikian, kita bukan hanya memegang keselamatan diri sendiri, tetapi juga berdampak terhadap keselamatan orang lain.
Perlu diketahui pula, beberapa sumber mencatat bahwa Indonesia merupakan jawara di Asia Tenggara dalam hal jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas, yakni diperkirakan mencapai 29.472 kasus pada 2018. Itu artinya, akhlak kita dalam berlalu lintas harus menjadi perhatian dan diperbaiki bersama.
Sebagai perbandingan, berdasarkan berbagai sumber, pada 2018 angka kasus kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia itu masih lebih tinggi daripada di negara-negara maju lain di Asia Tenggara, di antaranya Thailand (22.491), Malaysia (6.284), dan jauh lebih tinggi daripada Singapura (124).
Nah, semua poin di atas ini berhubungan langsung dengan yang namanya keselamatan berlalu lintas (atau istilah kerennya, road traffic safety). Demikian pentingnya soalan keselamatan berlalu lintas ini, sampai-sampai Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkannya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), target 3.6, yang isinya adalah perlunya mengurangi jumlah kematian dan cidera akibat kecelakaan lalu lintas hingga setengahnya pada 2020.
Tak hanya itu, dalam target 11.2. SDGs disebutkan pula tentang perlunya “penyediaan sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua orang, guna memperbaiki road safety….” Target yang masuk akal tentunya, khususnya ketika kita mengingat bahwa kendaraan pribadi, terkhusus sepeda motor—yang akhbarnya di Indonesia jumlahnya kini mencapai 112.771.136 juta dan akan terus bertambah, atau 84% dari keseluruhan kendaraan bermotor di Indonesia—memang salah satu moda transportasi yang paling berisiko.
Tentu saja, perlu diingat bahwa keselamatan berlalu lintas itu tidak bisa dicapai semata-mata dengan mengenakan helm, kacamata, sarung tangan atau sepatu untuk pengendara sepeda motor, seat belt atau airbag pada mobil, menggunakan mobil dengan rating New Car Assessment Program (NCAP) bintang lima, atau perangkat keselamatan lainnya. Semuanya itu bisa saja ambyar pada waktunya jika cara berkendaranya masih barbar bin terbelakang. Na’udzubillah min dzalik.
Hal yang lebih penting dan dibutuhkan adalah kebijaksanaan dan kedewasaan dalam berkendara, apalagi mengingat kenyataan bahwa meski kebanyakan orang mampu membeli kendaraan bermotor, tidak semua orang layak mengendarai kendaraan bermotor. Untuk mencapai kebijaksanaan dan kedewasaan dalam berkendara, diperlukanlah sinkronisasi antara otak dan hati, bukan hanya bagi pengendara saja, melainkan juga penegak hukum.
Pengendara harus mampu mengikuti hukum dan mempertimbangkan cara berkendara yang paling baik dan bijak demi keselamatan bersama, jangan ugal-ugalan. Penegak hukum harus senantiasa mengawasi keaadaan lalu lintas (termasuk pengendara) dengan saksama, dan memberi himbauan terus-menerus kepada para pengendara, jika perlu mengevaluasi perilaku berkendara dan surat izin mengemudi secara berkala, menjalankan SOP sebaik-baiknya, dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.
Pemerintah dan dinas perhubungan juga jangan sampai lupa untuk selalu meningkatkan—atau setidaknya menjaga—kualitas pelayanan publik di bidang perhubungan, termasuk di antaranya memantau dan memelihara kualitas jalan, rambu-rambu lalu-lintas, penerangan jalan, dan juga menyediakan transportasi publik yang lebih baik. Segera bertindak begitu mendapati adanya jalan rusak dan berlubang.
Sejurus dengan itu, akan lebih baik jika sekolah menyediakan bus sekolah, pula orang tua harus berani melarang anak-anaknya agar tidak mengendarai sepeda motor jika memang belum layak mengendarai, sehingga jangan sampai siswa-siswa yang belum dewasa mental dan hatinya, serta belum layak mengendarai kendaraan bermotor, malah bersepeda motor ke sekolah dan ke tempat lain. Dan jangan sampai muncul lagi cerita nahas tentang anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan bermotor lalu mendatangkan maut pada pengendara motor, seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Surabaya pada 2021 ini.
Tambahan pula, pengusaha yang mengandalkan dan jalan umum untuk mengeruk keuntungan harus selalu memperhatikan kondisi kendaraan niaga (pikap, truk, dan bus) berikut pengemudinya, agar laik jalan, sehingga tak ada lagi cerita truk atau bus yang lantaran kelebihan muatan, rem blong, mesin rusak, atau supirnya ngawur, lantas mencabut nyawa pengendara lain yang tak bersalah.
Akhirnya, tentulah kita jangan sampai lupa untuk meminta keselamatan kepada Sang Pemilik Segala Nyawa, Allah SWT. sebelum dan saat berkendara, sehingga kita semua aman, selamat, dan sejahtera dalam berlalu lintas. Berhati-hati lah, karena keluarga dan orang terkasih menunggu di rumah. Pastinya, jangan ngebut!