Tujuh kambing dan tujuh ekor sapi sedang bercakap dalam bahasa sunyi. Ketika itu, orang-orang yang merasa memiliki hewan tersebut sedang bertakbir dan kemudian melaksanakan shalat Idul Adha di lapangan terbuka. Kambing-kambing dan sapi itu memang tidak ikut shalat, karena hewan tidak memiliki kewajiban untuk shalat. Apalagi berbuat kebajikan, kecuali dengan kulit, tulang dan daging-dagingnya.
Sebab hewan bukanlah makhluk sempurna, namun mereka telah dijadikan oleh Alam sebagai amsal kehidupan yang memiliki instink lebih tajam dari manusia. Karena itu, tidak seperti manusia yang lengah dan serakah di dekat barang-barang mewah, hewan-hewan selalu faham dan mengerti bahwa dirinya akan segera mati. Maka, dengarkanlah bahasa isyarat tujuh kambing dan tujuh ekor sapi yang sedang bercakap dengan diri sendiri.
“Kenapakah orang yang hendak menjadikan diriku sebagai korban itu menjadi tuli?. Tak mendengarkah ia dengan tangisan doaku?”.
Namun, walau tangisan dan doa itu telah melengking ke seluruh penjuru. Para pemiliknya masih saja tertutup telinganya untuk mendengar permohonan hewan qurban. Memang, sebagaimana disebut dalam kitab suci, tidak semua yang bernama hewan memiliki takdir yang sama untuk menjadi qurban; kecuali kambing, sapi dan unta.
Dan tidak juga semua orang yang diberi limpahan harta benda, memiliki kesadaran yang sama untuk membersihkan kekayaanya pada setiap hari raya Idul Adha; kecuali mereka yang telah pergi ke tanah suci dan kembali ke rumah dengan memakai peci haji. Karena, betapapun kikir dan bakhilnya, setiap orang yang pergi haji akan menyembelih hewan qurban sebagai syaratnya.
“Engkau yang menyembelihku bukan karena cinta, akan meradang hatinya, seperti dagingku yang terpanggang di atas bara api, atau direbus dalam panci.”
“Ya. Mereka telah meminta dalam hatinya lebih dari yang dimiliki. Sudah kaya, sudah diberi nikmat, masih juga menyembelihku untuk mendapatkan pujian dari sesama.”
“Sudah kaya masih juga minta di puja. Minta dihormati oleh orang -orang miskin dengan cara memberi dua kilogram daging.”
“Ah! Masihkah kau dengar suara takbir yang sedang bergema?”
“Ya. Aku mendengarnya.”
“Dan itulah takbir kita yang sesungguhnya. Takbir para hewan yang hendak dijadikan qurban oleh pemiliknya. Takbir sejati untuk segera melahirkan ketentraman di dunia ini.”
Begitu mestinya, setiap detik, setiap waktu, hewan-hewan qurban senantiasa berjalan dalam diri manusia. Mengajak harta dan kekayaan untuk segera bertemu dalam kesadaran waktu. Agar manusia tidak terjerumus ke dalam jurang waktu yang lain. Jurang pemilikan yang sia-sia. Hewan-hewan qurban itu senantiasa ada dan mengada dalam diri siapa saja yang memiliki keinginan dan usaha untuk membersihkan belenggu nafsu dari dunia.
Oleh karenanya, mereka selalu datang dan memberi salam kepada setiap diri yang telah dicukupi karunia alam. Tapi diri hanya menerimanya sebagai harta, lalu disimpan dalam gudang, dan jadikan alat untuk mengarungi dunia kelam. Sampai kambing, sapi dan unta-unta itu berteriak sebagaimana benda-benda dan kekayaan yang sedang berteriak dalam sebuah gudang.
“Kaujadikan aku sebagai santapan dalam pesta pora, sampai dagingmu penuh lemak dan bahaya.”
“Kaujadikan aku sebagai minuman, hingga darahmu penuh gula dan ancaman.”
“Kaujadikan aku mesin pendingin, sampai kulit dan keringatmu tak lagi asin.”
”Kaujadikan aku kendaraan mengkilap, hingga parumu penuh asap.”
“Kaujadikan aku sebagai hiburan, hingga jantungmu berdetak melebihi angan-angan.”
“Kaujadikan aku kesenangan, sampai hatimu membiru karena cendawan.”
“Kaujadikan aku kebanggaan, sampai dadamu terasa sesak oleh kesombongan.”
“Kau jadikan aku harapan, sampai syaraf di kepalamu jadi membengkak. Sampai nafsu dari duniamu terus bergerak seperti hewan-hewan misteri yang sedang mengacak sebuah negeri.”
Lalu langit berwarna cerah, menurunkan kisah-kisah. Ibrahim merelakan Ismail, putra satu-satunya, karena Tuhan yang meminta. Hingga kebanggaan dunia yang ditunggu selama bertahun-tahun bersama istrinya Hajar itu, mustahil untuk dilepaskan tanpa keimanan dan kesediaan untuk mengabdi pada Sang Pencipta.
Andai saja setiap manusia menjadi tauladan seperti kisah itu. Bangsa-bangsa akan berubah. Nafsu jahat menjadi lenyap. Nafsu moral menjadi bergerak menuju ketentraman. Berjihad melalui daging ternak, melawan nafsu yang berbiak dalam daging sendiri. Hingga jantung tetap berdetak dalam keharuman bunga samawi. Lalu Ibrahim menjadi ada dalam setiap diri.
“Kubiarkan serangga, juga lalat dan nyamuk meminta bagian dari darahku sebagai kebahagian.” Seekor unta berbicara di padang sahara.
“Aku tahu bahwa aku akan disembelih, dan aku merasa bahagia.” Seekor kambing merenungkan diri dalam kandangnya.
“Hewan-hewan lain yang suka makan daging, atau meminum air kotor, tak mungkin jadi qurban seperti diriku.” Seekor sapi melenguh di tepi sungai yang sepi.
Entah di bagian mana, dari wilayah semesta ini, hewan-hewan qurban; kambing, sapi dan unta, bangkit dari kematian di tengah peristiwa Idul Adha. Lalu menyebut nama-nama orang yang menyembelihnya, sambil berdoa dengan cara yang tidak diketahui oleh manusia.
“Terpujilah Engkau yang menerima kehadiranku, dan ampunilah mereka yang menyembelihku bukan karena-Mu. Semoga Engkau pun meneguhkan iman, melembutkan hati dan pikiran bagi siapa saja yang telah bersyukur di jalan perintah-Mu.”
Seperti udara yang memberi keselamatan bagi manusia, hewan-hewan qurban itu selalu berdoa. Tapi manusia tak pernah berdoa bagi dirinya, kecuali sedang ditimpa oleh bencana. Oleh musibah yang tak mau pergi dari dalam rumah. Oleh malapetaka di penjuru negeri yang telah dihuni oleh nenek moyangnya sejak baheula.
***
Hamdy Salad, Sastrawan, Tinggal di Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 15 Tahun 2019