JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam waktu dekat pemerintah akan mengajukan revisi undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Salah satu pasal yang akan direvisi adalah terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Alasan pemerintah melakukan revisi dikarenakan rasio pajak negara yang sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Sehingga pemerintah ingin membuat semacam sekema tarif umum dan multitarif untuk meningkatkan rasio pendapatan negara lewat pajak.
Salah satu dari beberapa sasaran pajak yang dibidik oleh pemerintah (Kementrian Keuangan) yaitu sektor jasa, terutama jasa pendidikan, rumah sakit, serta kontroversi soal tembakau yang berhubungan erat dengan usaha ekonomi rakyat. Penarikan pajak yang sedang diwacanakan pemerintah sejatinya bersifat umum, yaitu berupa komoditi publik, sehingga banyak mengundang resistensi serta kontroversi di masyarakat.
Anwar Abbas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan bahwa dalam melihat masalah perpajakan di Indonesia, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa digunakan, yaitu pendekatan agama dan konstitusi. Dalam perspektif agama, seseorang dapat dicap sebagai pendusta apabila ia tidak memperhatikan atau mempedulikan nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
“Jika seandainya pemerintah tidak memperhatikan kebutuhan anak yatim dan orang-orang miskin, maka bisa dikatakan bahwa negara ini sudah mengabaikan firman-firman Allah,” tegas Anwar Abbas pada agenda diskusi Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah dengan tema “Tafsir Keadilan dalam Rancangan Tarif PPN” (24/6).
Sama halnya dengan pajak. “Jangan sampai pajak menindas orang-orang miskin. Dan jangan sampai penggunaan APBN tidak teralokasikan kepada anak-anak yatim.” Ucap Anwar di ruang virtual. Secara konstitusional kewajiban ini telah tertera dalam pasal 34 yang berbunyi “Fakir-miskin dan anak-anak yatim dipelihara oleh negara.” Dengan demikian konstitusi kita sebetulnya sudah sejalan dengan nilai-nilai agama.
Ia menambahkan, permasalahan pajak tidak bisa dilepaskan dari APBN yang mengatur tentang pemasukan keuangan negara. Agama telah mensyaratkan kepada manusia untuk tidak berlebihan dalam menggunakan anggaran keuangan serta berlaku bijak dalam pemakaiannya. Dan agama pun melarang kita mencuri (menggelapkan) anggaran, khususnya uang rakyat yang dipungut oleh negara.
Di bulan Novermer dan Desember tahun lalu, pemerintah sudah banyak melakukan pengeluaran anggaran guna penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional. Namun dalam pengaplikasiannya masih terjadi banyak kebocoran di sana-sini. Hal ini dapat dikategorikan sebagai perilaku berlebihan, menghambur-hamburkan uang negara tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Mereka yang berwenang menggunakan anggaran terobsesi untuk menghabiskan anggaran yang telah ditetapkan, karena jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada pemotongan anggaran di tahun berikutnya. Jika hal ini terus dibiarkan maka kerugian negara akan semakin besar dan sulit untuk ditambal.
Sehingga dampat yang jelas pada hari ini, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani sedang bekerja keras untuk meningkatkan pemasukan negara melalui perluasan pajak. “Dampak implikasi moneter dari pemungutan pajak ini adalah, jika pajak kian meningkat maka jumlah uang beredar akan menurun. Dan jika jumlah uang beredar menurun maka daya beli masyarakat juga akan menurun serta dunia usaha akan menjerit,” jelasnya. (diko)