Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pada masa awal penyebaran Islam di Jazirah Arab, muncul berbagai pemikiran dari para teolog dan ulama. Mereka mendefinisikan Islam sebagai agama yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Memberikan pengabdian dan menyembah-Nya dengan sepenuh hati. Karena itu dalam berislam, semuanya hal harus diorientasikan kepada kepentingan mendapatkan ridho-Nya. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah teosentris di dalam pemikiran keislaman kita.
Tidak lama setelah berkembangnya pemikiran teosentris di kalangan masyarakat Muslim, muncul tajdid (reform) yang ditandai dengan pendekatan yang lebih bersifat antroposentris. Islam dimaknai sebagai agama yang diturunkan untuk menuntun manusia mencapai kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Hal ini kemudian berkembang kepada aspek-aspek kemanusiaan, dan menjadi pondasi penting di dalam formasi pemikiran Islam. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi reform (pembaruan) di dalam pemikiran keislaman kita di masa mendatang.
Sekalipun selama ini pendekatan antroposentris sudah digunakan, tetapi masih ada ruang ketidakadilan disana. Hal ini disebabkan karena pendekatannya yang digunakan lebih bersifat patriarkal (kelaki-lakian). Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun hadist lebih menonjolkan jenis laki-laki di dalam pemilihan katanya. Fenomena seperti ini dapat kita jumpai jika kita membaca tafsir-tafsir yang hampir seluruhnya berorientasi kepada kepentingan kaum pria.
Di sisi lain terdapat kecenderungan misogonis yang kemudian mampu melahirkan respon positif untuk menegakkan dan menegaskan kembali ajaran Islam yang adil secara gender. Tentu hal ini menjadi momentum perubahan yang sangat mendasar di ranah ibadah secara umum, untuk merumuskan kembali prinsip-prinsip keadilan yang sesungguhnya. Bahwa semua manusia itu sama. Laki ataupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi baik dan lebih baik. Sehingga banyak aspek pemikiran yang perlu diubah.
Reform (pembaruan) sangat diperlukan di dalam merespon perkembangan situasi pemikiran dan kondisi sosial umat manusia. Ada sebuah pemikiran yang cukup bagus bahwa kita tidak lagi bisa memahami Islam hanya dengan pendekatan yang bersifat antroposentris, pendekatan yang bersifat holistik menjadi sangat diperlukan. Bagaimana kita harus mulai mengeksplorasi ajaran Islam yang berkaitan dengan hubungan kita dengan alam raya. Perspektif seperti ini dapat menuntun kita untuk berbicara banyak tentang pentingnya sebuah keseimbangan alam, lingkungan, serta makhluk hidup selain manusia.
Saya melihat hal ini belum banyak dibicarakan, dikembangkan, serta dieksplorasi oleh para ulama dan cendikiawan kita, khususnya yang terkait dengan bagaimana pendekatan Islam tentang persoalan ini. Seringkali saya sampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw memiliki perhatian yang sangat besar kepada kesejahteraan makhluk non manusia (hewan dan tumbuhan).
Permasalahan ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk banyak berbicara tentang pendekatan yang lebih bersifat holistik. Semboyan rahmatan lil alamiin harus dijadikan sebagai pondasi, spirit, dan pandangan kita bahwa teosentris atau antroposentris tidak cukup untuk memahami Islam secara utuh. (diko)