Oleh : Yunahar Ilyas
Sementara itu Nabi juga khawatir dengan ancaman kafir Quraisy , sehingga tidur malam Nabi tidak tenang, khawatir ketika saat tidur mendapatkan serangan dari kafir Quraisy. Pada suatu malam, Nabi menyatakan jika ada sahabat yang bersedia menjagaku pada malam hari. Tiba-tiba terdengar gemerincing senjata, maka Rasul bertanya, siapa itu? Terdengar jawaban dari luar, “Saya Sa’ad bin Abi Waqqash”, Nabi bertanya, “Apa yang membuat dirimu kemari?”, Saad menjawab “Aku mengkhawatirkan engkau, sehingga aku datang untuk menjaga”. Nabi kemudian langsung mendoakan Sa’ad dan melanjutkan tidur. Penjagaan terhadap Nabi dilakukan terus menerus, hingga turun ayat dari Allah:
وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Q.S. Al-Maidah 5 : 67)
Setelah turun ayat itu, Nabi mengatakan kepada para sahabat yang menjaganya, “Saudara boleh pulang, karena Allah telah menjagaku” (Ar-Rahik Al-Makhtum, 233-235)
Izin Perang
Berbeda dengan priode Makkah selama 13 tahun, di mana kaum Muslimin tidak diizinkan angkat senjata menghadapi tekanan dan kekejaman kaum kafir Qurasy–mereka hanya berada dalam posisi sabar, tabah mempertahankan keimanan– maka pada priode Madinah ini Allah SWT mengizinkan mereka untuk angkat senjata melawan orang-orang yang memerangi dan menzalimi mereka. Allah SWT berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (Q.S. Al-Hajj 22: 39)
Izin perang berlaku untuk menghadapi ancaman kaum kafir Quraisy Makkah dan kaum musyrikin Arab yang bersekutu dengan Makkah. Termasuk juga nanti berlaku untuk memerangi kaum Yahudi yang mengkhianati perjanjian yang telah dibuat dengan Rasulullah. Nanti perang juga diiizinkan untuk menjamin kebebasan beragama.
Ketika perang sudah diizinkan Allah, maka Nabi Muhammad SAW menempuh dua langkah penting menghadapi ancaman kaum kafir Qurasy Makkah. Pertama, Nabi mengadakan perjanjian untuk tidak bermusuhan dengan kabilah-kabilah yang tinggal di jalur perdagangan Makkah ke Syam atau dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sekitar jalur tersebut di luar wilayah Madinah. Secara tradisional kafilah dagang Makkah ke Syam di utara akan melalui Madinah. Dengan kondisi Madinah sudah berada di bawah kontrol Nabi Muhammad SAW sepenuhnya maka mereka tentu akan mencari jalur lain di sekitar Madinah. Oleh sebab itu Nabi memperluas pengaruhnya keluar wilayah Madinah dengan perjanjian-perjanjian tersebut.
Kedua, di samping membuat perjanjian-perjian Nabi juga secara rutin dan bergiliran mengirim satuan-satuan bersenjata berpatroli ke jalur-jalur perdagangan Makkah tersebut.
Untuk melaksanakan dua langkah tersebut, Nabi melakukan ekspedisi-ekspedisi militer. Ekspedisi militer itu disebut Sariyah, pasukan kecil yang dipimpin oleh salah seorang sahabat. Nabi sendiri tidak ikut dalam ekspedisi tersebut. Kalau Nabi ikut baru disebut dengan istilah Ghazwah (perang). Tugas Sariyah ada empat: 1. Mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi jalur di sekitar Madinah dan jalur-jalur ke Makkah; 2. Mengikat perjanjian dengan bebeapa kabilah yang tinggal di sepanjang jalur tersebut; 3. Unjuk kekuatan kepada musyrikin dan Yahudi di Madinah dan badui pedalaman yang berniat melakukan kejahatan di sekitar jalur itu, agar mereka menyadari bahwa kaum Muslimin sudah kuat, tidak seperti dahulu lagi; 4. Mengancam jalur perdagangan Qurasy yang menjadi penopang kehidupan mereka. sehingga mereka sadar dan mau membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, mengurungkan niat mereka untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah, tidak menghalangi siapapun untuk memeluk agama Allah dan tidak menyiksa kaum Muslimin yang lemah dan tertindas di Makkah. Dengan demikian tercipta kebebasan beragama di Jazirah Arab. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal. 236-237)
Pada bulan Ramadhan tahun 1 Hijriyah /623 M Nabi memerintahkan Hamzah ibn Abdul Muthalib memimpin sebuah ekpedisi militer dengan membawa pasukan 30 orang prajurit, semuanya dari Muhajirin. Misinya menghadang kafilah dagang Qurasy yang dikawal oleh 300 orang termasuk di dalamnya Abu Jahal bin Hisyam. Mereka sempat berhadapan di daerah Siful Bahri (sebelah barat Madinah arah Yanbu’ dekat laut Merah) tetapi peperangan tidak meletus karena dicegah oleh Majdi ibnAmir al-Juhani sekutu kedua kubu. Ekspedisi pertama ini dikenal dengan ekspedisi Siful Bahri.
Pada bulan Syawal tahun yang sama Nabi menugaskan Ubaidah ibn Harits ibn Abdul Muthalib memimpin 60 orang prajurit Muhajirin berpatroli mengawasi kafilah dagang Qurasy. Sariyah ini bertemu dengan kafilah dagang Qurasy pimpinan Abu Sufyan ibn Harb bersama 200 pasukannya di pedalaman Rabigh (sebelah selatan Yanbu’masih di tepi laut merah). Mereka saling melepas anak panah tapi tidak sampai terjadi peperangan. Ekspedisi Militer kedua ini disebut Ekspedisi Militer Rabigh.
Pada bulan Zulqai’dah tahun pertama hijriyah juga Nabi mengirim Sa’ad ibn Abi Waqash bersama 20 orang pasukan ke arah Kharrar, sebelah selatan Rabigh dekat Juhfah. Sesampai di Kharrar tanggal 5 Zulqaidah ternyata kafilah dagang yang diincar sudah lewat kemaren. Ekspedisi ini disebut Ekspedisi Militer Kharrar.
Tiga ekspedisi tersebut dipimpin oleh salah seorang sahabat yang ditunjuk oleh Nabi, Nabi sendiri tidak ikut. Baru lah pada bulan Safar tahun ke 2 hijriyah Nabi sendiri memimpin 70 orang prajurit Muhajirin menghadang kafilah dagang Qurasy. Sudah sampai di daerah Waddan tidak terjadi apa pun, artinya tidak bertemu dengan sasaran yang dituju. Tetapi dalam perjalanan perang 15 hari tersebut Nabi sempat membuat perjanjian dengan Amr ibn Makhsyi adh-Dhamri pemimpin Bani Dhamrah. Nabi Muhammad SAW berjanji akan melindungi dan menolong Bani Dhamrah jika ada yang menyerang mereka, dengan syarat mereka tidak memerangi agama Allah. Begitu juga sebaliknya mereka juga harus bersedia menolong Nabi jika Nabi memintanya. Selama Nabi meninggalkan Madinah, kepemimpinan Madinah diserahkan kepada Sa’ad ibn Ubadah, salah seorang tokoh Anshar. Inilah perang (ghazwah) pertama yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Perang ini disebut Perang Waddan.
Bulan berikutnya, Rabi’ul Awwal masih tahun ke2 hijriyah Nabi Muhammad SAW keluar lagi membawa pasukan dengan kekuatan 200 orang prajurit, kembali dengan tujuan menghadang kafilah dagang Quraisy dengan kekuatan 100 orang membawa 2500 ekor onta. Dalam kafilah itu terdapat tokoh kafir Qurasy Umayyah ibn Khalaf. Perjalanan pasukan Muslimin sampai di daerah Buwath tapi sasaran yang dituju tidak bertemu. Perang ini disebut Perang Buwath.
Pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ke2 hiriyah itu terjadi peristiwa perampokan hewan ternak milik kaum Muslimin Madinah. Perampokan dilakukan oleh kaum musyrikin dipimpin oleh Kurz ibn Jabir al-Fihri. Lalu Rasulullah membawa 70 orang sahabat mengusir para perampok itu sampai di lembah Shafwan arah Badar, tetapi tidak sampai terjadi kontak senjata. Peristiwa ini disebut Perang Shafwan atau disebut juga Perang Badar Shughra. Selama Rasulullah pergi, kepemimpinan Madinah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah.
Setelah Perang Shafwan ini masih ada satu perang lagi sebelum terjadi Perang Badar Kubra, yaitu Perang Dzul Usyairah pada bulan Jumadil Ula tahun ke 2 hijriyah. Nabi membawa 150 prajurit dengan misi yang sama dengan perang-perang sebelumnya yaitu mencegat kafilah dagang Quraisy. Sesampai di Usyairah didapat informasi bahwa kafilah dagang Quraisy itu sudah lewat beberapa hari yang lalu menuju Syam. Pada kesempatan kali ini Rasulullah membuat perjanjian damai dengan Bani Mujlij yang juga sekutu dari Bani Dhamrah. Selama Nabi pergi kepemimpinan Madinah diserahkan kepada Abu Salamah ibn Abdil Asad al-Makhzumi. (Ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 237-239) (bersambung)
Sumber : Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019