Saat Aku Meloncat

Saat Aku Meloncat

Oleh : Bagus Kastolani

Aku tinggal di apartemen 10 lantai. Karena aku mengalami persoalan hidup yang begitu berat… aku memutuskan… untuk bunuh diri dengan cara meloncat dari atap apartemen berlantai 10 itu!!! Di tepi atap… aku tutup mataku dan terbayang semua persoalan hidup yang begitu berat. Tetes air mataku membasahi pipi… inilah yang mendorongku untuk segera meloncat. Saat aku meloncat, di lantai 10 kulihat dari jendela, pasangan yang kutahu saling mencintai sedang bertengkar hebat dan saling memukul. Kulihat Ahmad yang biasanya kuat dan tabah sedang menangis tersedu-sedu di lantai 9. Oh Tuhan, di lantai 8, aku melihat Sari memergoki suaminya sedang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Ah… Dani yang periang sedang minum obat anti depresi di lantai 7.

Di lantai 6 Hendra yang pengangguran terus membeli 7 koran setiap hari untuk mencari lowongan pekerjaan. Di lantai 5, kulihat seorang pemuda sedang diringkus polisi karena mengedarkan narkoba. Sementara, kulihat Rosa sedang bertengkar hebat dengan temannya di lantai 4. Bahkan mereka saling memukul. Seorang kakek tua yang kesepian sedang mengharapkan seseorang datang menjenguknya di lantai 3. Dilantai 2, Lani dengan pilu memandangi foto suaminya yang meninggal 6 bulan lalu.

Sebelum aku melompat dari gedung, kupikir aku orang yang paling bernasib malang. Sekarang mata terbuka lebar… setiap orang punya masalah sendiri-sendiri. Masalah yang juga tidak ringan. Setelah kulihat semuanya itu, aku tersadar ternyata keadaanku sebenarnya tidak terlalu buruk. Tapi semua sudah terlambat. Semua orang yang kulihat tadi… sekarang sedang melihat aku tergolek lemas karena benturan keras tubuhku yang terpelanting menembur tanah. Aku rasa, setelah mereka melihat keadaanku sekarang, mereka akan sadar bahwa situasi mereka tidaklah terlalu buruk.

Terlambat untuk menyesali karena aku sekarang sudah berada di alam lain untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku yang tidak pernah mensyukuri kehidupan. Kawan, kita harus terus belajar bersyukur atas nikmat Allah SWT kepada kita. Karena jika kita bandingkan diri kita dengan orang lain, niscata kita terkejut mengetahui betapa besar sesungguhnya masalah hidup mereka. Bukankah adzab Allah SWT sangat pedih atas orang yang kufur nikmat?

Huwallahu a’lam bi showab.


Penulis : Staf pengajar Fakultas Psikologi UNAIR Surabaya Kader Muhammadiyah

Sumber : Majalah SM Edisi 05 Tahun 2021

Exit mobile version