Setiap Hari Muslim Reformis

Judul: Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta

Penulis: Hyung-Jun Kim

Penerbit: Suara Muhammadiyah

Dimensi: 15 x 23 cm

Tebal: xxxii + 396 hlm

 

Gerak pembaruan yang digalang Muhammadiyah, walaupun ia dilahirkan di kawasan perkotaan Yogyakarta pada, secara berangsur-angsur merambah ke merata tempat, tak terkecuali kawasan pedesaan. Sama halnya dengan di kota, di desa pun nilai-nilai Islam reformis ala Muhammadiyah ini disebarkan oleh—meminjam istilah Prof. Sjafri Sairin—para creative minorities.

Dengan tanda tanya besar, yang bertengger di pikirannya, soal bagaimana cara Islam “dipahami, ditafsirkan, dan dipraktikkan” (hlm. 21) di pedesaan Yogyakarta dan catatan lapangan, Prof. Hyung-Jun Kim—penulis buku ini, yang diterjemahkan dari disertasinya yang bertajuk “Reformist muslims in a Yogyakarta village: The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life,” yang diajukan kepada the Australian National University pada 1996—“bergerilya” di Kerto, suatu dusun di Sleman Barat, sambil mengamati kehidupan keseharian para Muslim reformis di sana, berikut pemikiran dan sepak terjangnya yang memantik revolusi perilaku keagamaan di Kerto.

Meski kehidupan sejari-hari mereka, berikut pemikiran dan sepak terjang mereka, memang tidak selalu terlihat “wah”, tetapi memiliki makna dan menorehkan dampak tersendiri. Keadaan semacam itu dengan jujur diakui oleh Pak Kim sendiri, yang menyatakan bahwa “Dilihat dari luar, usaha-usaha warga Muslim reformis dan hasil yang telah diraih tidak kelihatan dramatis dan drastis. Akan tetapi, usaha-usaha kecil seperti itu membawa transformasi Islam yang luar biasa, yang tidak dapat dibayangkan selama beberapa abad setelah masuknya Islam di Tanah Jawa” (hlm. 346).

Oleh karena itu, dapatlah dipahami manakala sesungguhnya kehidupan sehari-hari para Muslim reformis di perdesaan adalah cerminan tulen lagi sahih dari kehidupan beragama umat. Mereka tak lelah beramar makruf nahi mungkar, mengusahakan dakwah, menggelontorkan infak-sedekah-wakaf, bahkan sampai mengupayakan keharmonisan kehidupan beragama, kendati jauh dari gemerlap ketenaran, panggung megah, serta jauh pula dari retorika yang mewah dan agung meski terkadang muluk-muluk itu.

Menariknya, dalam menggambarkan revolusi perilaku keagamaan yang digalang Muslim reformis, Pak Kim berhasil menggambarkan fakta dan fenomena yang dijumpainya di Kerto secara relatif utuh, bahkan meliput pembacaan atas tiga budaya yang saling berhubungan (ide, perilaku, dan benda).

Tiga hal itu dapat ditemukan dalam bahasannya tentang konsep dan pemikiran yang mendasari berbagai adat-kebiasaan dan perilaku yang diamalkan oleh warga Kerto, berbagai macam ceramah dalam pengajian, dan fenomena-fenomena lain yang terjadi dalam kehidupan keseharian mereka, berbagai tradisi dan cara kuno yang berlaku di Kerto, berikut daya-upaya mereka dalam menafsirkan ulang dan meluruskannya sehingga segaris dengan pemahaman Islam reformis.

Diamati pula perkembangan sosial-ekonomi berdasarkan profil beberapa individu di Kerto melalui kepemilikan tanah, pertumbuhan jamaah masjid, pertumbuhan zakat, bahkan hingga konsumsi pangan harian. Sedangkan budaya bendawi dilakili oleh kehadiran masjid (yang dulunya hanya langgar), serta berbagai perlengkapan dan makanan (termasuk sajen) dalam acara-upacara keagamaan di dusun.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasan yang ditampilkan dalam buku ini sesungguhnya tidak hanya menyangkut aspek yang intangible saja, melainkan juga menyinggung aspek tangible dari budaya warga Kerto, dan itu dijelaskan dengan, sekali lagi, relatif utuh. Ditambah kritik penulis terhadap warga Muslim reformis, dan tentu saja Muhammadiyah, tulisan ini pun menjadi kian objektif lagi reflektif. Di sinilah kiranya letak kelebihan dari karya ini.

Akhirnya, Pak Kim pun sampai pada kesimpulan bahwa revolusi perilaku keagamaan yang digalang oleh para creative minorities di akar rumput ini “masih terus berlangsung, atau dalam kasus tertentu bahkan tidak pernah berhenti, demi mewujudkan Islam yang ideal,” (hlm. 346) dan Muhammadiyah menjadi bagian dari proses Islamisasi tanpa henti ini; fakta yang diamini pula oleh Mitsuo Nakamura ketika dia membaca Muhammadiyah (2010:xxxix). [Aditya Pratama]

Exit mobile version