Tafsir Baru Penegakan Syariat Islam

Nasionalisme NKRI

Ilustrasi Amuba/SM

Tafsir Baru Penegakan Syariat Islam

Oleh: Hatib Rachmawan

Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.

 

Belakang ini wacana Muhammadiyah sebagai Islam moderat (washatiyah) menguat kembali. Bahkan beberapa tulisan dan prinsip Islam Washatiyah model Muhammadiyah menjadi sebuah rujukan yang tidak habis-habisnya dibaca. Ditambah lahirnya gagasan “Darul Ahdi wa As-Syahadah” pada Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015 menutup tafsir “Negara Islam” dan “Khilafah” di tubuh Muhammadiyah. Fakta tersebut semakin memperkuat bahwa Muhammadiyah benar-benar Islam moderat.

Wacana “Negara Islam” dan “Khilafah” sangat erat kaitannya dengan penegakkan syariat Islam. Menurut kelompok yang menganut paham ini, “negara” atau “khilafah” merupakan syarat untuk menegakkan syariat Islam. Tanpa “negara” atau “khilafah”, syariat Islam tidak dapat dijalankan secara sempurna (kaffah). Namun apakah benar Muhammadiyah sepenuh hati menerima gagasan ini?

Maksud pertanyaan di atas sebenarnya ingin mencari poisi moderat Muhammadiyah. Apakah dengan meneguhkan negara Pancasila sebagai “Darul Ahdi wa As-Syahadah” benar-benar menutup mimpi menegakkan syariat atau tidak? Atau sebaliknya, jika Muhammadiyah masih memimpikan “penegakan syariat Islam” apakah masih dapat disebut dengan kelompok Islam moderat? Sebab sampai hari ini, kelompok yang pro penegarakan syariat Islam masih konsisten dengan gagasan “Negara Islam” dan “Khilafah” sebagai penopangnya. Lantas bagaimana dengan Muhammadiyah?

Cita-cita Menegakkan Syariat Islam

Cita-cita menegakan syariat Islam sepertinya tidak pernah hilang dalam jati diri Muammadiyah. Sebab prinsip ini terpatri dalam dokumen resmi yang berhubungan dengan ideologi Muhammadiyah, yakni Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM). Bunyi dokumen tersebut sebagai berikut:

“Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya. Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah.”

Sampai detik ini, dokumen resmi ini tidak pernah dihapus. Bahkan terus diajarkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Begitu juga dalam perkaderan Muhammadiyah dan Ortom-ortomnya. Doktrin ini akan terus tumbuh dan tidak akan pernah hilang, sampai dokumen tersebut dirubah, dicabut, atau diberikan penafsiran yang kontekstual. Permasalahannya adalah siapakah yang berhak melakukan hal tersebut?

Ada tiga makna penting terkait isi dokumen tersebut. Pertama, warga Muhammadiyah harus mengakui bahwa ajaran Islam yang diberikan Allah swt dan yang dibawa Nabi saw merupakan satu-satunya aturan hukum untuk mewujudkan masyarakat utama. Kedua, warga Muhammadiyah harus menjunjung tinggi aturan hukum tersebut ketimbang hukum lainnya. Ketiga, sikap tersebut hukumnya wajib ‘ain (individu) bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah.

Terus terang sebagai warga Muhammadiyah biasa (grass root), membaca dokumen ini semakin memperkuat keyakinan bahwa umat Islam adalah khairah ummah (sebaik-baik umat). Sementara dalam pandangan Muhammadiyah khairah ummah ini ditafsirkan sebagai masyarakat utama. Maka, ajaran pertama untuk mewujudkan “masyarakat utama” tersebut adalah dengan jalan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, budaya, dan politik.

Konsekuensinya adalah ajaran-ajaran tersebut, yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus dijunjung setinggi-tingginya ketimbang aturan lainnya. Sebab sangat tidak mungkin Al-Qur’an dan As-Sunnah dikalahkan dengan aturan buatan manusia, apalagi undang-undang produk Belanda yang sampai saat ini diberlakukan. Fakta bahwa pemerintah belum dapat berlaku adil, menunjukkan keharusan bahwa aturan usang tersebut harus diganti dengan auran-aturanbaru, yakni Islam yang sampai saat ini dibelum diberlakukan sepenuhnya.

Pelajaran ketiga sungguh sangat mengikat, dan menyebabkan ketakutan jika menolaknya. Ada kata kunci yang mengungkung, yakni wajib bagi orang beriman kepada Allah menegakkan syariat Islam. Mafhum mukhalafah dari diktum tersebut adalah kalau tidak mengindahkan prinsip ini sama dengan tidak beriman. Tidak beriman dapat disebut, kafir, zalim, dan fasik. Sebuah klaim yang sangat menakutkan bagi seorang Muslim, siapapun itu.

Setting Historis MADM

Sebuah teks tidak dapat dilepaskan dari konteks kelahiran teks itu sendiri. Begitu juga MADM ini, tidak dapat dilepaskan dari konteks kelahirannya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, sebuah teks tersebut tidak dapat dilepaskan dari penyusun teks tersebut. Artinya sebuah teks tidak dapat lepas dari subjektifitas penulis. Pertanyaannya adalah apakah teks MADM ini merupakan teks mati, yang maknanya bebas ditafsirkan pembaca? Apakah teks tersebut menjadi norma tertutup yang tidak dapat ditafsirkan lagi?

Ada dua tokoh penting yang terlibat aktif dalam penyusunan MADM tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo dan Buya Hamka. Menurut penuturan Ayahanda Muchlas Abror, isi dari MADM berasal dari Ki Bagus Hadikusumo sementara redaksinya disempurnakan oleh Buya Hamka. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan sengit antara dua tokoh tersebut. Akhirnya dicapailah sebuah kesepakatan. Hasilnya hingga saat ini redaksi MADM seperti yang tertulis di atas. Sayangnya sampai saat tulisan ini dimuat, penulis belum menemukan isi perdebatan seputar lahirnya MADM. Apakah ada perdebatan mengenai syariat Islam atau tidak.

Siapakah Ki Bagus Hadikusumo? Beliau adalah tokoh penting yang berperan dalam lahirnya Pancasila. Sebelumnya beliau tidak mau menarik prinsip “Syariat Islam” dalam sila Pancasila dan kekeuh dengan Piagam Jakarta. Setelah berdialog panjang dengan Kasman Singadimedjo, barulah beliau akhirnya menerima asas sila kesatu tersebut.

Argumentasi yang menjadi alasan salah satunya adalah sila ke-1 Pancasila maknanya lebih tinggi ketimbang “Penerapan Syariat Islam”. Sila kesatu tidak lain adalah ketauhidan, bahwa negara ini berdasar pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Esa. Secara otomatis, jika dipahami secara literer sila ini membersihkan segala bentuk kemusyrikan yang berada dalam agama-agama, khususnya yang ada di Indonesia. Bagi umat Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu yang mengakui sila ini, mereka tidak akan menduakan Tuhan lagi, tidak ada trinitas dan dewa-dewa yang sejajar dan setara dengan Tuhan. Konsekwensi lainnya, tentu paham ateis, dalam hal ini konteksnya adalah PKI, tidak dapat eksis lagi di negara ini. Sebab menduakan Tuhan saja tidak boleh, apalagi menganggap Tuhan tidak ada.

Siapakah Buya Hamka? Sebelum melahirkan Tafsir Al-Azhar di umurnya yang mencapai 60an tahun, Hamka tidak lain adalah seorang ulama sekaligus politikus. Dia termasuk salah satu tokoh Masyumi yang punya pengaruh besar. Pengaruhnya dalam bidang sastra dan pemikiran agama menjadi salah satu yang dominan pada waktu itu. Namun sisi politisi Hamka tidak lebih dominan dari sosoknya sebagai ulama. Sejarah lebih banyak mencatat pemikiran dan gagasan pembaruan Islam dalam tulisan dan karyanya ketimbang kiprahnya dalam politik. Jika dibandingkan dengan Ki Bagus Hadikusumo, peran politiknya jauh lebih dikenang ketimbang pemikirannya.

Hamka banyak menyumbangkan gagasan mengenai negara, keadilan, dan nasionalisme dalam karya-karnya. Hal ini juga sangat nampak dalam karya tafsirnya. Mengenai gagasan penerapan syariat Islam, sebagaimana terdapat dalam dokumen MADM dapat ditemukan di dalam tafsirnya. Menurutnya seorang Muslim harus memiliki cita-cita menerapkan syariat Islam. Cita-cita tersebut tidak boleh ditutup-tutupi. Bahkan jika bisa upaya penegakan syariat Islam tetap harus disuarakan dalam kehidupan bernegara. Meskipun begitu Hamka sangat realistis, baginya Negara Pancasila tidak ubanya seperti “darul halli wal ahdi” sebagaimana “Negara Madinah”. Negara Pancasila adalah konsensus bersama semua golongan, suku, agama, dan ras yang ada di Indonesia. Allah tidak akan menuntut lebih, untuk menerapkan syariat Islam, sebab beban tersebut disesuaikan dengan kadar kemampuan dan kondisi umatnya.

Dalam kaca mata sejarah, menurut Kuntowijoyo, dua tokoh ini hidup dalam setting sejarah fase ideologis dan belum memasuki fase ilmu. Kondisi sosial, budaya, dan politik pada waktu itu sangat erat dengan pertarungan idelogi, yakni antara Islam, Nasionalisme, dan Komunisme. Lahirnya dokumen ideologis MADM, tidak lepas dari faktor-faktor tersebut. Pembaca dapat menilainya sendiri, apakah latar belakang dua tokoh di atas memengaruhi isi MADM. Dalam pemahaman penulis, sangat wajar jika isi MADM tersebut bernuansa ideologis. Sebab alam dan cita-cita luhur yang tertulis di dalamnya mencermikan hal tersebut.

Tafsir Baru Penegakkan Syariat Islam

Meskipun tidak ada tafsir tunggal dalam memahami MADM, terkait isu penegakkan syariat Islam, penafsiran tokoh-tokoh Muhammadiyah mulai mengalami pergeseran ke arah yang lebih progresif. Sebut saja Kuntowijoyo, di tahun 1998 telah menulis dengan tegas mengenai penolakannya terhadap pembentukan partai Islam. Sepertinya gagasan inilah yang dianut oleh Amin Rais, yang pada tahun yang sama mendirikan Partai Amanat Nasional. Tokoh di luar Muhammadiyah yang keras menolak partai Islam adalah Nur Kholis Madjid, dengan jargonya “Islam Yes, Partai Islam No!

Penolakan pembentukan partai Islam menjadi tonggak pergeseran dari zaman ideologi ke arah zaman ilmu. Sejak saat itulah partai sekuler atau lebih tepatnya terbuka, lebih diterima di internal umat Islam ketimbang partai berhaluan Islam. Tentu saja pergeseran zaman ini menandakan adanya perubahan terhadap tafsir “Penegakkan Syariat Islam”. Tanpa ada partai Islam tentu saja, cita-cita “Negara Islam”, “Khilafaah”, dan “Penegakkan Syariat Islam” tidak ada yang menyuarakannya kembali. Bahkan partai-partai yang mengatasnamakan Islam dalam visi dan misinya tidak ada yang mencantumkan tiga hal tersebut. Semuanya lebih terbuka dan membela Pancasila.

Belakangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang identik dengan partai dakwah mulai merubah haluan politiknya. Mereka terkesan akan meninggalkan identitas sebagai partai dakwah dan murni hanya sebagai partai yang memperjuangankan kesejahteraan dan keadilan. Mungkin ini disebabkan pemberontakan yang dilakukan Fachri Hamzah. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Amin Rais, dengan kegagalan PAN, kembali ke sejarah masa lalu dengan mendirikan Partai Ummat. Entah ini akan menyalahi fase sejarah umat Islam atau tidak, wallahu’alam.

Meskipun belum ada dokumen resmi yang merevisi MADM, Muhammadiyah sepertinya berdiri menjauh dari cita-cita awal mengenai penegakkan syariat Islam ini. Hal ini terbukti sejak pascareformasi isu syariat Islam tidak pernah dibahas dalam setiap Muktamar. Isu yang dominan adalah masalah kebangsaan, merawat bangsa, pendidikan, dan membangun kekuatan ekonomi umat. Bahkan puncaknya di Makassar kemarin (2015), peneguhan terhadap “Negara Pancasila” menjadi penutup perdebatan panjang mengenai “Negara Islam” yang tentu saja berbuntut pada formalisasi ajaran Islam.

Jadi meskipun tidak ada dokumen resmi yang merevisi isi dari MADM tersebut, Muhammadiyah sudah jelas menegaskan bahwa penegakkan syariat Islam yang dimaksud Muhammadiyah bukanlah dengan negara (baca: formalisme syariat), melainkan dengan jalur hukum seperti jihad konstitusi meskipun bersifat reaktif dan melalui jalur kultural, yakni organisasi. Salah satu keberhasilan jalur kultural adalah menjamurnya lembaga-lembaga filantropi dari berbagai organisasi, bahkan negara akhirnya ikut mendirikan hal serupa.

Sepertinya gejala-gejala ini akan terus berlanjut dan menjadi arus zaman. Kembali pada masa lalu juga akan memperburuk keadaan. Gerakan Muhammadiyah saat ini akan menjadi contoh kongkrit anti-tesis dari “Negara Islam” dan “Negara Sekuler” gagasan Abdullah Ahmad An-Na’im. Sebab “Negara Pancasila” bukanlah negara tanpa Tuhan yang sekuler. Melainkan negara religius, yang memihak pada kemanusiaan dan keadilan, serta menaungi semua umat, manusia, dan entitas yang ada di dalamnya. Wallahu’alam bishawab.

Exit mobile version