Assalamu’alaikum wr wb.
Bu Emmy yth., saya (37 tahun) ibu dari 2 orang putri. Ingin berbagi dengan pembaca rubrik sakinah. Pada awal-awal saya menikah sekitar 12 tahun yang lalu, saya sangat cemburu dengan hampir semua teman perempuan suami di kantornya. Saya sangat posessif, padahal suami sangat sayang pada saya.
Ada staf perempuan suami saya yang saya merasa dia gelagatnya lain. Sering menghubungi suami lewat “wa” atau telpon, entah kalau suami yang menghubungi dulu. Saya mengenal perempuan itu dan keluarganya. Suatu hari suami perempuan itu menemui saya dan bilang kalau suami saya sering mengganggu istrinya, bahkan suka nelpon malam-malam saat mereka hendak bersebadan, dan istrinya langsung menerimanya sambil ketawa-ketiwi sedang ia dicueki. Kini, istrinya hamil. Itu pasti perbuatan suami saya, kata laki-laki itu.
Astaghfirullah, seperti petir di siang bolong, saya pulang dengan ngebut dan menangis sejadi-jadinya. Suami yang baru ke luar kota tidak bisa langsung dihubungi. Saya temui perempuan itu dan saya maki-maki dia. Untung tidak ada senjata tajam. Kalau ada mungkin sudah saya lukai karena saya sangat emosional. Perempuan itu bilang tidak ada hubungan apa-apa dengan suami saya, suaminyalah yang cemburuan. Saya tidak percaya. Saya berusaha menghubungi suami lewat telpon, saya minta cerai dan pergi dari rumah dengan membawa putri kami yang baru 1 tahun.
Suami pulang lebih cepat. Di telepon, suami sumpah tidak pernah menyentuh jarinya sekalipun. Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perempuan itu. Kata-katanya tidak ada artinya bagi saya. Saya tidak bisa makan, bahkan minum pun tidak pingin. Saya tidak cerita pada keluarga. Suami minta maaf dan berjanji tidak akan menyakiti hati saya. Tapi, sejak itu saya sangat menderita, Bu. Bukan karena suami, tapi karena diri saya sendiri. Tiap hari hanya soal itu yang saya pikirkan, bahwa suami tidak mencintai saya, bahwa perempuan itu yang ada di hati suami, bahwa saya tidak berharga, bahwa di belakang saya suami bersenang-senang bersama perempuan itu. Menderita sekali, tiap hari bertengkar karena saya ungkit terus. Lama-lama saya merasa sakit jiwa, Bu. Seperti ada yang bicara di telinga saya bahwa suami punya simpanan perempuan lain. Saya ke psikolog dan psikiater. Terakhir saya menemui ustadz dan menyarankan untuk minta maaf pada perempuan itu. Saya ikuti nasehatnya. Saya menemuinya dan minta maaf karena selama ini telah membencinya. Ia menerima dan juga minta maaf karena telah menyusahkan saya.
Sejak itu saya sembuh. Saya bisa tersenyum, suara-suara menghasut itu juga hilang. Saya merasa ringan. Saya pulang dan cerita pada suami, saya peluk dia, suami terharu kami saling berpelukan. Saya rasakan betapa suami sangat mencintai saya. Sekarang kami pindah kerja di kota lain, anak kami sudah 2 dan sudah usia remaja. Alhamdulillah sakit jiwa saya sudah pergi dan jangan sampai datang lagi. Intinya memaafkan. Bila sudah memaafkan bisa “move on” dan bisa melakukan hal-hal yang positif yang berguna bagi diri dan lingkungan terdekat. Itu saja bu. Semoga pengalaman saya bermanfaat bagi orang lain terutama yang punya masalah yang sama. Amin. Mohon juga masukan dari ibu untuk saya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Fifi, di kota J
Wa’alaikumsalam wr wb.
Bu Fifi, sebenarnya Andalah yang memberi saya dan pembaca rubrik sakinah tentang indah dan dahsyatnya memaafkan. Terima kasih Bu Fifi. Benar sekali yang Anda katakan, bahwa dengan memaafkan, justru akan memberi peluang pada diri sendiri untuk sembuh dari luka hati, sehingga yang akan mendapatkan manfaat secara maksimal adalah diri sendiri.
Minta maaf, meski punya resiko karena menyangkut orang lain, terasa lebih mudah karena masyarakat sudah terbiasa dan membiasakan anak sejak kecil untuk melakukannya. Kalau minta maaf dikatakan berjiwa besar, tidak sepenuhnya benar bila kesalahan diulang lagi. Sedang memaafkan murni urusan untuk diri kita sendiri. Ketika kita memutuskan memaafkan atau tidak, tidak ada resiko ditolak. Nyatanya, pergumulan batinnya lebih seru, apalagi kita masih menempatkan diri sebagai korban. Karena dia yang melakukan ya dia yang harus maaf dulu. Kondisi inilah yang membuat kita menjadi suka memelihara dendam, sakit hati dan perilaku negatif lain.
Ketika kita benar-benar melakukan memaafkan, maka akan kita rasakan dahsyatnya perubahan dalam diri. Beban negatif akan sirna dan kita akan mampu menata hidup lagi, memakai kesempatan kedua yang diberikan Allah untuk labih bahagia dengan kemampuan melupakan muatan emosi yang pernah menyertai kejadian tersebut. Saat kita memaafkan maka ingatan penuh sakit hati akan terlupakan. Hebatnya lagi penghargaan Allah terhadap orang yang mau memaafkan luar biasa yaitu sebagai salah satu ciri orang yang taqwa. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
Sumber : Majalah SM Edisi 13 tahun 2019
Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya