Juli, Ibu Menutup Dunia, Cerpen Ulfatin Ch

Maaf Seorang Ibu

Ilustrasi kasih ibu

Apa yang kita harapkan dari hidup menapak hari-hari selain kebahagian dan ketentraman? Dan semua kebahagian yang kita dapatkan tidak semata-mata ada hanya dengan berpangku tangan. Begitu nasehat kehidupan yang kudapat dari seorang guru. Aku pun melangkah dengan semangat kerja keras tak kenal lelah. Setiap pulang sekolah aku membantu ibu menyelesaikan setrikaan yang menumpuk setiap harinya. Dari membantu ibu, aku mendapatkan uang saku dan ibu pun lega bisa menyelesaikan londry-nya tepat waktu dan siap diambil pemiliknya.

Adzan maghrib berkumandang mengantarku gegas mengambil air wudhu dari pancuran yang kesegarannya meresap hingga lapisan dermis wajah. Mata bagai menatap cahaya yang paling terang di dunia. Di depan seolahhanya nirwana tanpa batas. Dan selembar mukena putih yang menyelubungi tubuhku mengiringi langkah menuju masjid yang tak jauh dari rumah. Langkahku seperti langkah malaikat menembus langit ke tujuh.

Lafadz iqomah sudah terdengar ketika kakiku menginjak serambi masjid. Rasa gemetar menyelimuti sekujur tubuh hingga meresap ke relung hati terdalam. Kesejukan mengiringi setiap langkah kaki hingga ke urat-nadiku menggerakkan saraf-sarafku lebih cepat dan lebih cepat lagi mendekat di belakang shof laki-laki, hingga napak punggung imam dari sela-sela shof. Lega sudah ketika kutatap tangan imam bergerak melambai mengajak semua jamaah di belakangnya untuk merapatkan shofnya sampai tak terlihat sejari pun sela diantara mereka. Kami jamaah yang perempuan pun ikut menyesuaikan merapatkan shof sesama perempuan.

Takbir mulai terdengar. Hening jiwa, hatipun khusuk tawadu’ menghadap Allah. Bacaan sholat satu persatu mengalun hingga salam. Kami berdoa bersama memohon ampunan dan hidayah-Nya. Dan sungguh Tuhan Maha Mendengar permohonan hamba-Nya.

Aku masih berdiri di atas lantai marmer masjid yang dingin, mengulurkan tangan bersalaman dengan jamaah perempuan sampai tak bersisa. Kakiku seperti terpaku di serambi masjid. Bola mataku berputar kesana kemari serasa tak ingin meninggalkan rumah Allah ini. Betapa luas dan indah rumah Allah, lapang menentramkan. Berbeda dengan rumahku yang penuh sesak dengan perabotan. Sejenak aku berdiri menatap masjid meski akhirnya melangkah juga pulang.

Di rumah, ibu masih sibuk dengan persiapan dagangannya untuk besok pagi. mengiris tempe, bawang, cabe, dan membersihkan daun pisang sebagai pembungkus nasi kucing esok pagi. Dan siangnya ibu membuka londry di rumah.

“Kenapa Ibu buru-buru menyelesaikan jama’ah sholatnya?” kataku menghampiri ibu untuk siap membantu mempersiapkan nasi kucing.

“Iya, Ibu keburu merampungkan bumbu tempenya, Nak. Maaf, ya. Tadi Ibu tinggal.” Jawab ibu sambil terus tangannya bergerak menyiapkan bumbu-bumbu. Aku yang mendengar hanya menganggukkan kepala.

Jogja memang unik. Kota ini memiliki berbagai makanan khas, entah itu karena khas rasanya, macamnya, atau ukuran dan harganya yang terlampau murah. Saya yakin di kota lain tidak ada nasi dengan harga Rp 2000,- sudah lengkap dengan lauknya. Tapi, di Jogja? Kita masih bisa mendapatkannya. Warung-warung penjual nasi kucing bertebaran di trotoar-trotoar jalan menjelang senja hingga malam bahkan sampai dini hari masih bernyala api tungkunya.

****

Pagi sebelum subuh, ibu sudah mempersiapkan nasi bungkus dan gorengan yang kubawa dan kutitipkan di kantin sekolah. Pada istrahat pertama, nasi bungkus yang kubawa sudah ludes terjual. Anak-anak jarang sarapan di rumah, mereka kadang hanya makan kue atau minum susu saja dari rumah. Sedang urusan makan nasi mereka lebih sering di sekolah hingga sore menjelang.

Anak-anak sekolah memang lebih aman pulang sore daripada pulang siang kemudian mereka bukannya pulang ke rumah tapi keluyuran di mall, nongkrong di pinggir jalan yang akan lebih mudah memberi peluang masuknya pengaruh negatif pada diri anak-anak. Itu pula sebabnya orang tua sekarang lebih senang memilih sekolah-sekolah yang berpeluang pulang sore. Karena, begitu ibu atau ayahnya mengantar anak-anak ke sekolah, mereka akan ditinggal kerja sampai sore.

Sepulang kerja, ayah dan ibunya sudah disibukkan untuk menyiapkan kebutuhan esok harinya masing-masing. Sedang anak-anak mereka pun sibuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah dan akhirnya terlelap dalam mimpi. Coba perhatikan, berapa menit mereka dalam satu keluarga saling bertemu dan bertatap muka untuk satu hari saja?

Aku beruntung punya orang tua meskipun tinggal ibu seorang. Karena ayahku sudah lebih dulu meninggalkan kami empat tahun yang lalu. Ibu tidak bekerja diluar rumah, meskipun sebetulnya ibu bisa melakukannya. Misalnya, bekerja di kantoran atau menjadi guru honorer, ibu bisa melakukannya. Tapi, demi menjaga aku, ibu memilih bekerja mengembangkan ketrapilannya. Dengan begitu aku bisa leluasa berkomunikasi dengan ibu tanpa mengenal waktu.

Hal inilah yang menjadikan aku sangat bersyukur. Karena tidak semua kebahagiaan bisa kita dapatkan dari uang. Yaitu dengan usaha kerja keras dan kasih sayang, kita bisa mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

Kini ibu sudah memiliki pekerja londry juga tukang masak sendiri yang menyelesaikan pesanan-pesanan. Karena omset yang dikerjakan ibu semakin banyak dan tidak hanya nasi kucing saja. Bahkan  kadang untuk londry sampai menolak atau dilemparkan ke sesama pelondry.Begitulah ibu tak pernah lelah bekerja dan selalu membimbingku hingga dewasa dan kini aku menjadi seorang manager.

Kini ibu sudah tua. Ketika adzan maghrib berkumandang, ibu masih selalu mengajakku ke masjid shalat berjamaah, berdoa dan menatap langit-langit atap masjid yang seperti terpatri bersama langit dan langit di atasnyalagi yang lebih tinggi. Dingin lantai marmer masjid semakin tajam kurasakan ditulang-tulang rusukku, tapi tak menjadikan aku menggigil karenanya. Justru aku betah di sana.

Ibu sudah tua, tapi semangatnya luar biasa, menembus batas ruang dan angan. Ketika Azdan berkumandang, di bulan juli, ibu tak mengajakku ke masjid. Tiba-tiba tubuhnya lemah terbaring di atas dipan. Aku menggemakan takbir dan talqin di telinganya, agar ibu selalu teringat lafald itu. Ibu mengedipkan mata dan disaat itulah menetes air surga dari ujung matanya yang kurasakan semakin lama mata itu perlahan mengatup. Nadinya pun kuraba melemah sampai akhirnya terhenti. Aku pun lega. Ibu bahagia menutup dunia.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 20 Tahun 2019

Exit mobile version