KUNINGAN, Suara Muhammadiyah-Misi utama Muhammadiyah adalah meneladani Nabi Muhammad dalam membumikan Islam sebagai agama amal (din al-amal) dan agama peradaban (din al-hadlarah). Muhammadiyah memberi solusi yang konstruktif dan menjadi uswah hasanah bagi masyarakat. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam kuliah umum di STKIP Muhammadiyah Kuningan Jawa Barat (16/7/2021)
“Amal Usaha Muhammadiyah termasuk STKIP ini merupakan lahan dakwah dan lahan tajdid kita yang lahir dari pemahaman keislaman untuk menjadikan Islam itu sebagai agama yang Nabi ajarkan. Risalah Islam yang dibawa Nabi adalah untuk menjadi rahmat, menjadi kebaikan yang melintasi dan multi aspek bagi seluruh umat manusia dan lingkungannya,” tutur Haedar.
Menurutnya, Muhammadiyah tidak ingin risalah Islam itu berhenti pada ajaran doktrin semata, tetapi ajaran ini harus mewujud dalam kehidupan. “Ajaran Islam itu harus mewujud dalam kehidupan karena rahmatan lil alamin itu kan area dimana Islam hadir menjadi sumber kebajikan di alam semesta, bukan di langit,” ulasnya.
Haedar menyebut bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi itu bertugas untuk memakmurkan bumi. “Membawa kebaikan hidup manusia dan makhluk-makhluk Allah yang lain.” Ketika manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi, manusia juga dilarang untuk merusak dan membuat kerusakan di muka bumi.
“Islam itu harus mewujud, harus membumi, harus dalam realitas kehidupan nyata. Nabi Muhammad juga mewujudkan Islam itu. Ketika Nabi Isra’ Mi’raj, dan bertemu dengan Allah di sidratul muntaha, Nabi kembali lagi ke bumi, kembali untuk menghadapi tantangan, cercaan dari kaum kafir Quraisy.” Nabi memberi contoh tentang pentingnya tanggung jawab sosial.
Kalau Nabi mau berasyik masyuk dengan Allah, Nabi tidak mau kembali. “Tetapi Nabi kembali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Nabi berjuang di Makkah lalu hijrah ke Yasrib, dan dalam waktu 23 tahun telah mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang madinah al-munawwarah.” Nabi membangun peradaban Madinah yang memancarkan rahmatan lil alamin.
“Ketika Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan menisbahkan pada nama Nabi Muhammad, maka itu mencerminkan cita-cita besar Kiai Dahlan untuk mengikuti jejak Nabi dalam membangun peradaban.” Kiai Dahlan ingin membangun madinah al-munawwarah itu melalui bidang pendidikan, kesehatan, literasi, pengorganisasi haji, zakat, layanan sosial, dan seterusnya.
Amal Usaha Muhammadiyah lahir untuk mengubah masyarakat yang terjajah, terbelakang, bodoh supaya menjadi maju dan unggul. “Contohnya Al-Ma’un. Al-Ma’un itu kan sudah ratusan tahun di Indonesia menjadi hafalan, dibaca dalam salat, tapi tidak melahirkan pergerakan. Kiai Dahlan mengajarkan Al-Ma’un itu selama 3 bulan. Betapa anehnya seorang Dahlan mengajarkan surat yang hanya tujuh ayat itu sampai 3 bulan,” tutur Haedar.
Kiai Dahlan juga mengulang pelajaran surat Al-Ashr selama 8 bulan. Imam Syafii mengatakan, jika seandainya setiap muslim mempelajari dan memahami tiga ayat Al-Ashr ini, maka sebenarnya sudah cukup. Surat ini mengajarkan tentang prinsip untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan senantiasa beramal baik.
Kiai Dahlan memberi contoh bagaimana Al-Qur’an semestinya dipahami secara mendalam. “Banyak orang menghafal Al-Quran menjadi kebanggaan, dan itu baik, itu ibadah. Al-Quran dibaca dalam salat, itu ibadah. Tetapi itu tidak cukup. Ayat itu harus ditanya apa tujuannya. Ayat ini berbicara tentang pembelaan terhadap kaum miskin, kaum lemah bukan dengan retorika,” kata Haedar.
Dalam Al-Qur’an, banyak penekanan pada iman dan amal saleh. “Muhammadiyah adalah dengan perbuatan, maka itulah amal usaha. Muhammadiyah membuka pendidikan karena masih banyak yang bodoh. Kiai Dahlan mengubah cara berpikir dan sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan Islam modern. Agama diajarkan, ilmu pengetahuan diajarkan,” ujarnya.
Pendidikan modern yang memadukan ilmu agama dan sains ini melahirkan generasi yang mampu mengisi kemerdekaan. “Kemudian lahir generasi muslim terpelajar yang baik tapi ilmu pikirannya maju. Bisa berbuat untuk mengangkat dirinya, keluarganya, bahkan masyarakat. Itulah Islam yang disebut dengan Islam berkemajuan, Islam yang unggulan, berdaya saing,” ujar Haedar.
Setelah perjalanan satu abad lebih, Muhammadiyah telah memiliki 163 perguruan tinggi, Aisyiyah punya 23 ribu PAUD dan TK ABA, ribuan sekolah dasar dan menengah, 348 pondok pesantren, 117 rumah sakit. “Maka orang bilang Muhammadiyah ini organisasi Islam modern terbesar di dunia, bukan hanya di Indonesia,” katanya.
“Dengan AUM itu, kita menjadi kaum muslim yang memberi contoh teladan bahwa Islam itu din al-amal. Puncaknya, Islam sebagai din al-hadlarah, agama peradaban. Hanya dengan itu, bangsa Indonesia bisa setara dengan bangsa lain.” Jika dipertandingkan dan diperbandingkan, Muhammadiyah berada selangkah lebih maju, “maka itu disebut berdaya saing,” tuturnya.
“Islam dan kaum muslim itu secara kolektif memang harus punya sesuatu. Penampilan kita boleh sederhana, tetapi kesederhanaan itu bukan kekurangan. Di balik kesederhanaan itu kita punya sesuatu,” ujar Haedar Nashir. Menurutnya, daya saing juga ditentukan oleh kecerdasan dan ilmu yang dimiliki. Dengan ilmunya itu, Muhammadiyah dapat memberi konstribusi bagi masyarakat. (ribas)