Nabi Muhammad SAW (30), Menghentikan Permusuhan Lewat Perjanjian Damai

Nabi Muhammad SAW (30), Menghentikan Permusuhan Lewat Perjanjian Damai

Oleh : Yunahar Ilyas

Pada bulan Rajab tahun 2 hijriyah, Nabi Muhammad SAW mengutus Abdullah ibn Jahasy al-Asadi ke Nakhlah bersama 12 prajurit Muhajirin. Mereka membawa sepucuk surat dari Nabi yang tidak boleh dibaca kecuali setelah dua hari perjalanan. Setelah dibuka, ternyata isinya perintah untuk meneruskan perjalanan sampai ke Lembah Nakhlah yang terletak antara Makkah dan Thaif. Tugas Abdullah dan kawan-kawan mengintai dan mengumpulkan informasi tentang kafilah dagang Quraisy. Tugas ini berisiko besar, oleh sebab itu Abdullah membebaskan yang lain untuk ikut atau tidak. Ternyata semua ikut, siap mati syahid.

Sesampai di Nakhlah mereka bertemu dengan kafilah dagang Quraisy yang membawa anggur zabib, kulit dan barang dagang lainnya. Di kafilah itu ada Amr ibn Hadhrami, Utsman dan Naufal putera Walid ibn Mughirah, juga ada Hakam ibn Kaisan budak Bani Mughirah. Bagi pasukan Abdullah ibn Jahasy, situasinya dilematis. Jika kafilah itu diserang mereka melanggar kesucian bulan Rajab, jika dibiarkan semalam saja kafilah dagang Quraisy itu sampai di tanah Haram. Dengan cepat mereka berunding dan memutuskan menyerang. Seorang di antara mereka melepaskan anak panah dan menewaskan Amr ibn Hadhrami. Mereka menawan Utsman dan Hakam, sedangkan Naufal berhasil meloloskan diri. Mereka kembali ke Madinah membawa dua orang tawanan itu dan rampasan perang. Ternyata Nabi tidak berkenan dan menyatakan,  “Aku tidak menyuruh kalian berperang dalam bulan suci”.

Kaum musyrikin menuduh kaum Muslimin menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Berbagai komentar sinis berkembang hingga turun wahyu menanggapinya. Allah SWT berfirman:

يَسَالُونَكَ عَنِ ٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ قِتَالٖ فِيهِۖ قُلۡ قِتَالٞ فِيهِ كَبِيرٞۚ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفۡرُۢ بِهِۦ وَٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ وَإِخۡرَاجُ أَهۡلِهِۦ مِنۡهُ أَكۡبَرُ عِندَ ٱللَّهِۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَكۡبَرُ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمۡ عَن دِينِكُمۡ إِنِ ٱسۡتَطَٰعُواْۚ وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah 2:217)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Musyrikin meributkan pelanggaran yang dilakukan kaum Muslimin pada bulan suci, yaitu dengan melakukan peperangan pada bulan itu, padahal apa yang mereka lakukan lebih buruk yaitu mengusir kaum Muslimin dari tanah air mereka Makkah dan menghalangi orang untuk masuk Masjidil Haram. Pelanggaran kaum Muslimin tidak ada artinya dibanding dengan apa yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin selama ini.

Nabi Muhammad SAW kemudian melepaskan dua tawanan tersebut dan membayar diyat (uang tebusan darah) Amr ibn Hadhrami kepada walinya.

Setelah peristiwa Abdullah ibn Jahasy itu kaum musyrikin semakin khawatir dengan ancaman kaum Muslimin terhadap perdagangan mereka. Ternyata kaum Muslimin bisa masuk sejauh itu, sudah mendekati tanah Haram. Mereka merasa kafilah dagang mereka ke depan tidak akan pernah lagi aman melakukan perjalanan dagang ke Syam pulang pergi. Jika pergi aman, bahaya bisa datang waktu pulang. Walaupun demikian kaum musyrikin tidak memilih untuk berdamai tetapi semakin meningkatkan permusuhan dan kebencian mereka terhadap kaum Muslimin.

Setelah insiden Abdullah ibn Jahasy tersebut Allah SWT mewajibkan kaum Muslimin untuk berperang. Allah SWT berfirman:

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ(190)  وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡ وَأَخۡرِجُوهُم مِّنۡ حَيۡثُ أَخۡرَجُوكُمۡۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِن َ ٱلۡقَتۡلِۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِيهِۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمۡ فَٱقۡتُلُوهُمۡۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ (191) فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ (192)وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ (193)

‘Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah Q.S.  190-193)

Allah SWT mencela orang-orang yang tatkala mendengar perintah perang gentar hatinya. Allah SWT berfirman:

وَيَقُولُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡلَا نُزِّلَتۡ سُورَةٞۖ فَإِذَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ مُّحۡكَمَةٞ وَذُكِرَ فِيهَا ٱلۡقِتَالُ رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ يَنظُرُونَ إِلَيۡكَ نَظَرَ ٱلۡمَغۡشِيِّ عَلَيۡهِ مِنَ ٱلۡمَوۡتِۖ فَأَوۡلَىٰ لَهُمۡ

“Dan orang-orang yang beriman berkata: “Mengapa tiada diturunkan suatu surat?” Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka.” (Q.S. Muhammad 47:20)

Menurut Mubarakfuri, ayat 190-193 di atas mengisyaratkan pertumpahan darah semakin dekat dan  kemenangan pada akhirnya berpihak kepada kaum Muslimin. Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan Muslimin mengusir musyrikin dari tempat di mana mereka dulu mengusir Muslimin. Tengoklah pula bagaimana Allah mengajarkan hukum bagi pemenang perang dan tawanannyya dan ketegasan sikap sampai musuh bersedua meletakkan senjata. Ini semua merupakan isyarat akan kemenangan kaum Muslimin pada akhirnya. Akan tetapi  Allah membiarkannya tersamar agar semua berwsemangat untuk berjuang di jalan Allah. Demikian Mubarakfuri (Ar-Rahiq al-Makhtum, hal.243)

Sekalipun perang sudah diizinkan bahkan diperintahkan, tetapi ekspedisi Meliter yang dilakukan Nabi baik dalam bentuk sariyah maupun ghazwah bukanlah untuk berperang, tetapi sekadar mengirim pesan kepada Makkah agar menghentikan permusuhannya kepada kaum Muslimin kemudian membuat perjanjian damai. Kalau tidak tentu kafilah perdagangan mereka akan selalu mendapat gangguan dari kaum Muslimin. Melihat jumlah personil yang dibawa, hanya puluhan jumlahnya, tentu tidaklah mungkin pasukan sebanyak itu dimaksudkan untuk berperang. Walaupun kemudian salah satu ekspedisi yang dipimpin langsung oleh Nabi berakhir dengan peperangan diluar dugaan Nabi dan sahabat-sahabat yang menyertai beliau. Maksud semula hanya untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan, tetapi atas kehendak Allah berujung kepada peperangan yang terkenal yaitu Perang Badar. (bersambung)

Sumber : Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019

Exit mobile version