Wasiat, Cerpen Satmoko Budi Santoso

Wasiat, Cerpen Satmoko Budi Santoso

AYAH jatuh sakit. Keluarga sudah maklum jika dalam waktu dekat ayah meninggal dunia. Rupanya, sakit ayah kali ini memang sakit yang tak bisa ditawar lagi. Bukan hanya sekadar firasat, namun secara medis memang sudah parah.

Ayah terkena stroke, diabetes dan penyakit jantung di hari tuanya. Itulah yang membuat sakit ayah kali ini serasa sudah di ujung tanduk. Saya sebagai anak kedua ayah, tentu saja gelisah. Salah satu yang saya gelisahkan adalah perkara wasiat.

Saya merasa tidak enak untuk mengatakan pada kakak saya, anak pertama ayah, soal wasiat. Saya khawatir nanti dibilang tidak tahu diri. Padahal menurut saya, hal itu sangat penting mengingat istri kakak saya mata duitan. Saya khawatir jika ayah telanjur meninggal dan harta warisan tak jelas pembagiannya, justru akan menjadi perkara hebat di kemudian hari.

Maka, di tengah sakit ayah yang juga parah, bahkan sudah susah berkata-kata, saya mencari-cari cara bagaimana supaya ayah membuat wasiat. Tentu ini bukan perkara yang juga gampang. Mengingat kakak saya menyerahkan sepenuhnya suasana tegang di ujung kematian ayah dengan mengirim istrinya menunggui ayah di rumah bersama saya.

Saya melihat roman muka istri kakak saya yang justru cemberut, bukan sedih, ketika menunggui ayah. Saya tidak tahu apa arti cemberut tersebut. Apakah ia juga menggelisahkan dan memikirkan hal yang sama dengan saya, soal wasiat? Tapi, bukankah karena watak istri kakak saya yang mata duitan maka memang ia pasti juga mendukung upaya saya membujuk ayah membuat wasiat? Tapi, apakah saya memang sampai hati, di tengah suasana yang tegang dan menyedihkan, menyuruh ayah membuat wasiat?

Saya memutuskan keluar rumah, membeli rokok untuk menghibur diri.

***

SORE hari tiba, kakak saya datang. Memang yang tinggal di rumah hanya saya dan ayah. Ibu sudah lama meninggal dan saya masih membujang.

Kakak saya menanyakan perkembangan kesehatan ayah dan saya jawab memburuk. Sepeninggal dokter datang belasan jam lalu, memeriksa dan memberi obat lalu menyarankan ditunggui saja, memang belum ada perkembangan berarti. Ayah masih tetap terbaring lemas tak berdaya, matanya hanya berkedip-kedip menatap langit rumah.

Napas ayah mulai tak karuan, saya, kakak saya, dan istrinya mengerumuni ayah. Tangan ayah meraih tangan saya dengan sangat pelan, ia elus-elus tangan saya.  Ayah sedikit tersenyum. Tidak ada bahasa yang bisa mewakili kemauan ayah kecuali hanya memandangi saya, kakak saya dan istrinya. Pelan-pelan.

Pada tengah malamlah setelah napas ayah tersengal-sengal, ayah meninggal dunia. Setelah tubuh ayah diangkat dan dimandikan lalu dikafani, barulah saya membersihkan tempat tidur ayah.

Tak disangka, saya menemukan secarik kertas di bawah kasur. Rupanya, ayah telah membuat wasiat, menuliskan sesuatu dengan sangat jelas. Tentu saja saya kemudian memanggil kakak saya. Kakak saya datang dan kami bersama-sama membaca secarik kertas tersebut. Isinya: rumah tak boleh dijual dan dibagi. Hanya boleh ditempati secara turun temurun dan dibicarakan baik-baik siapa yang menjaga dan merawat setiap harinya.

Legalah hati saya. Diam-diam saya senang karena ada kejelasan. Kakak saya pun lega lalu membawa secarik kertas tersebut.

Setelah semua urusan pemakaman ayah selesai barulah saya dan kakak saya juga istrinya mencermati kembali surat tersebut. Atas inisiatif saya maka surat wasiat tersebut akan segera kami pigura dan kami tempel di ruang tengah.

Melihat situasi yang ada, maka memang sayalah yang untuk pertama kalinya secara sendirian merawat dan menjaga rumah warisan ayah. Kakak saya sudah mampu membeli rumah sendiri. Maka, kegelisahan saya selanjutnya adalah mencari pasangan hidup yang mampu mengatasi bahtera rumah tangga dan mewujudkan kebahagiaan.

Saya senantiasa berdoa agar mendapatkan jodoh yang baik dan solehah, yang mampu mengisi kekosongan hari-hari saya dengan penuh kedamaian. Rumah terasa sangat sepi, setiap harinya sepulang bekerja saya menjadi pendoa yang selalu sendirian di tengah kesunyian. Sisa kenangan tentang ibu, ayah, dan siapa pun yang pernah tinggal di rumah kerap muncul mendadak. Menjadikan perasaan saya diharu-biru rajaman kesedihan.

Supaya tidak terlalu sepi atas kesepakatan dengan kakak saya, saya menjadikan rumah yang saya tempati sebagai markas komunitas literasi, taman bacaan. Pada hari tertentu, pendopo rumah menjadi arena ajang membaca buku. Koleksi buku dan majalah saya keluarkan supaya warga kampung bisa belajar bersama. Ditambah koleksi buku bantuan dari berbagai pihak.

Meskipun masih membujang saya merasakan tetap ada sepotong surga di rumah yang saya tempati karena pada hari tertentu saya bisa berbagi dengan keceriaan anak-anak kampung yang membaca buku. Juga mengaji bersama. Kadang-kadang jika petang tiba, di halaman rumah seperti ada bayangan ayah yang berkelebat menyapu halaman, tersenyum melihat ke arah pendopo.

Ah, bukankah itu hanya ilusi saya saja? Tapi, kenapa, sesosok bayangan yang muncul suatu petang itu tersenyum bahagia memandang pendopo rumah yang ia tinggalkan untuk selama-lamanya?

***

 

Yogyakarta, November 2019

Exit mobile version