“Sebagai urang sumando yang baru tinggal di kampung ini, mestinya tidak begitu perlu untuk mencolok. Merasa lebih pandai, lebih pintar atau lebih berpendidikan sekalipun.” Itu yang dikatakan mamak dari istriku. Tidak patut katanya suatu hari.
Tapi, apalah dayaku. Ada panggilan yang amat kuat menarik untuk berbuat, bertindak dan memprogesifkan diri. Seperti kata Buya tempat Aku mengaji setiap senin malam.
“Orang Muhammadiyah itu, banyak berbuat sedikit berbicara. Seperti Nabi kita, dakwahnya lebih banyak aksi, langkah nyata dan keteladanan. Memberikan contoh, bukan memerintah apalagi menyuruh ini dan itu”
***
Perihal mamak yang mengatakan bahwa jadi urang sumando baru jangan terlalu mencolok. Berawal dari masukan kepada Imam masjid agar kegiatan keagamaan untuk para muda-mudi dihidupkan.
“Imam, nampak-nampaknya kita perlu menghidupkan kegiatan-kegiatan di Majid kita ini” kataku suatu malam selepas shalat Mahgrib.
“Kenapa pula kiranya merasa perlu?” Jawab sang Imam.
“Saya perhatikan anak-anak dan muda-mudi di kampung ini tidak mau meramaikan masjid atau mushalla. Malah sibuk nongkrong tidak jelas di tepi jalan.”
“Itu sudah tabiat anak muda, biarkan saja. kamu macam tidak pernah muda saja” Jawab sang Imam sinis.
“Tapi, masalahnya [i]anak muda kita ini juga kadang minum yang dilarang agama kita” kataku lebih jauh.
“Ah tidak mungkin itu, mungkin kamu salah lihat” Kata Pak Imam. Dan pamit pulang, katanya sudah lapar.
Sebenarnya, masukan untuk menghidupkan lagi kegiatan keagamaan, diawali dari kenyataan kalau Imam masjid ini kurang enak di dengar bacaan al-Qur’annya. Sebenarnya kalau tidak enak pada nada, tidak jadi soal. Tapi, masalahnya makhraj dan tajwidnya kurang pas.
Sebelum memberi usul menghidupkan kegiataan keagamaan itu, diawali dengan pembahasan tentang qira’atil qur’an. Nampaknya sang Imam ini tersinggung. Meski masukanku ini bagus untuk anak-anak dan muda-mudi kampung, tapi karena sudah tersinggung, Imam kita ini tidak lagi menggubris masukan dan ideku. Yang terjadi kemudian, aku dilaporkan kepada mamak. Aku pun diceramahi habis-habisan. Sebagai orang baru katanya, aku berlaku tidak patut dan pantas.
***
Tapi, tekadku untuk bertindak dan berbuat setelah diceramahi mamak, malah makin menjadi-jadi. Hal ini mengingatkanku pada film Sang Pencerah, dakwah memang tidak mudah. Lagi-lagi ini belum seberapa dan belum ada juga yang menghina sebagai orang kafir. Seperti yang diutarakan kepada kiai Dahlan.
Alhasil, lewat salah satu Pimpinan Cabang Muhammadiyah aku mengusulkan pendirian ranting baru di kampung ini. Beberapa bulan kemudian dengan beberapa orang yang sepakat dengan ideku, digagaslah pendirian Ranting Baru. Salah satu dari yang sepemikiran dan seide denganku ini kebetulan memiliki mushalla wakaf yang bisa digunakan sebagai kegiatan ranting.
Gercep alias gerak cepat. Begitu kata anak muda zaman sekarang. Buya tempat aku biasa mengaji, setiap selasa malam, kita minta untuk mengisi kajian rutin Ranting. Selain malam itu, aku membuka kelas iqro’ untuk anak-anak hingga muda-mudi. Awalnya tidak banyak, hanya beberapa saja yang ikut. Dari anak-anak yang orang tuanya terlibat dengan ranting. Tapi, bagiku tidak masalah. Selama masih ada yang mau untuk belajar. Kegiatan jalan terus.
Tidak hanya belajar iqro’, kadang diselingi dengan materi keislaman dan nilai-nilai persyarikatan. Menariknya, bulan kedua minat anak-anak dan muda-mudi yang ingin belajar ke mushalla Ranting, makin bertambah. Tapi, ada kejutan lain yang datang.
***
Sepertinya, para tetua kampung mulai menampakkan tidak senang dengan kegiatan mushalla Ranting. Hal ini bukan karena kegiatannya melainkan karena membawa Persyarikatan di kampung. Lagi-lagi mamak datang dengan muka marah padam. Menggebrak meja dengan keras. Lalu dengan nada tinggi mamak bilang.
“Kamu memang tidak tahu diuntung!” Dengan nada menahan amarah.
“Apa kamu kira kamu lebih hebat mengaji dan lebih mengenal Islam? Kami sejak kecil sudah belajar agama. Lupa kamu, kalo adat kita kini basandi syara, syara’ basandi kitabullah. Bubarkan kegiatan keagaamaan di mushalla itu. Tidak ada kata tidak!”
Usut punya usut, ternyata ada yang mengadu hingga merebak issu bahwa anak-anak dan muda-mudi yang belajar di mushalla Ranting di ajak masuk ke persyarikatan. Bahkan tidak cukup sampai di situ, perkara ini dibawa ke musyawarah adat dan disidangkan.
Pasca sidang, kegiatan keagaaman anak-anak dan muda-mudi di mushalla Ranting diberhentikan hingga ke batas waktu yang tidak ditentukan. Tidak cukup sampai disitu, keluarga bersar istri, juga terkena imbasnya.
“Punya urang sumando hanya membuat malu keluarga, tidak tahu adat dan merasa paling pandai.” Kata orang-orang kampung.
Tapi, sebagai kader persyarikatan, apa yang aku alami ini rasanya tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang dialami sang pencerah. Alhasil, bukan patah arang, aku mendapat ide baru untuk melanjutkan jalan terjal ini. Salah satu dari pengurus Ranting mengusulkan agar pembinaan agama di kampung ini melibatkan pemerintah setempat. Maka, dibentuklah semacam madrasah yang mana peserta didiknya adalah kelas 4, 5 dan 6 SD. Madrasah ini dinamakan dengan Madrasah Diniyah Awaliyah dengan bermaterikan baca Qur’an, Tarikh, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab dan Kaligrafi. Sudah barang tentu Aku tidak ditunjuk sebagai salah satu tenaga pengajar. Karena ketakutan warga kampung soal issu itu masih saja ada. Lebih dari itu, rasanya lega sekaligus mengucap syukur akan keberadaan madrasah ini.
Meski tidak terlibat langsung sebagai tenaga pengajar. Tapi, anak-anak dan muda-mudi kampung telah mulai tertarik untuk belajar agama. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari Masjid dan Mushalla yang mulai berisi di setiap shalat berjama’ah. Satu hal yang aku pegang sebagai kader persyarikatan bahwa hidup itu harus menjadi sebaik-baiknya ummat dengan senantiasa berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Meski aku urang sumando tapi urang sumando berkemajuan!
*Penulis Merupakan Kader Muda Muhammadiyah dari Ranah Minang dan Dosen Praktikum AIK LPPI UNISA Yogyakarta