Oleh : Miftahulhaq
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرْهُ وَنَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِي اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهدُ أَنْ لاَ إَلَهَ إِلاّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلَا رَسُوْلَ بَعْدَهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَلآَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
Hadirin, Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Kita selaku manusia yang hidup di dunia ini pasti mempunyai maksud dan tujuan. Allah swt telah menuntunkan dalam Al Quran bahwa kita manusia dan juga makhluq lain yang bernama jin diciptakan memiliki maksud dan tujuan untuk beribadah kepada-Nya. Firman
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariat (51):56).
Ibadah dalam pandangan ulama Tauhid adalah meng-Esakan Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya. Sedangkan ulama lain, mendefinisikan ibadah sebagai ketaatan kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan-lisan para Rasul. Sifat ketundukan dan pengakuan bahwa yang Maha Esa hanyalah Allah, selanjutnya adalah bekal kita sebagai seorang hamba dalam manjalankan tugas ibadah.
Dalam ajaran Islam, prinsip dasar dan hal pertama yang dilakukan adalah bagaimana kita memiliki ketauhidan yang murni. Tauhid adalah upaya pengakuan kita bahwa Allah SwT adalah Tuhan satu-satunya yang kita sembah. Tauhid, yang diwujudkan dalam kalimat talbiyah laa ilaaha illallah, merupakan bentuk deklarasi kemerdekaan diri kita dari segala mahluq dan hanya bersandar dan bergantung pada Dzat yang Maha Pencipta, yaitu Allah SwT.
Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah SwT
Dalam konteks sejarah perkembangan Islam, upaya pembentukan pribadi muslim dan kehidupan masyarakat secara umum, diawali dengan pentingnya membangun karakter tauhid sebagai pondasi dan tolok ukur pelaksanaan fungsi dan tujuan penciptaannya, yaitu beribadah. Semangat tauhid ini pula yang dijadikan ajaran pertama yang disampaikan dalam upaya penyebaran misi keagamaan dan reformasi sosial masyarakat saat itu. Sebagai mana kita ketahui, bahwa reaksi masyarakat Mekkah pada umumnya, khususnya suku Quraisy, menolak dan menentang secara ekstrim. Tetapi Nabi berteguh dan terus berjuang untuk meraih sejumlah pengikut dalam masa lebih dari 13 tahun selama misinya di Mekkah.
Tauhid, dengan serangkaian nilai yang dikandungnya, tidaklah cukup hanya dipahami sebagai doktrin, tetapi bagaimana tauhid dapat kita jadikan kunci untuk menjawab berbagai persoalan zaman yang kita hadapi saat ini. Sebagai muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk perbuatan. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah khusus (mahdhah) yang kita laksanakan, seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya harus memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah kita sesungguhnya sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi perilaku sosial kita.
Dengan kata lain, tauhid sebagai perwujudan keimanan kita kepada Allah, haruslah kita ikuti dengan pelaksanaan amal sholeh. Iman dan amal sholeh ini ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait satu sama lain, dan tidak bisa kita pisahkan satu per-satu. Melaui iman dan amal sholeh, kita akan mampu memposisikan diri kita sebagai mahluq yang sempurna, baik secara pribadi maupun sosial. Terhindar dari kehidupan yang hina dan rendah. Sebagaimana firman Allah:
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (yaitu neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (Q.S. At-Tin/95: 4 – 6)
Hadirin, Jama’ah Jum’at yang berbahagia
Tauhid akan membentuk kita selaku manusia untuk dapat menempatkan manusia lain pada posisi kemanusiaannya. Bagi kita yang bertauhid, manusia tidaklah dihargai lebih rendah dari kemanusiaannya sehingga diposisikan bagai binatang, atau sebaliknya lebih tinggi bagai Tuhan. Kedudukan kita sesama manusia sesungguhnya adalah sama, sehingga tidaklah pantas bagi kita untuk bertindak semena-mena atau berbuat dzolim terhadap sesama. Tetapi justeru sebaliknya, melalui bimbingan tauhid kita akan selalu berbuat yang terbaik bagi saudara kita sesama manusia, bahkan pula kepada seluruh mahluq ciptaan yaitu Allah SWT.
Dalam sejarah kita ketahui bersama, bahwa bagaimana Islam datang di tanah Mekkah sangat menghormati kedudukan manusia, dan sangat menentang adanya praktek perbudakan. Bilal bin Rabah misalnya, bagi kaum kafir Quraisy tidaklah lebih dianggap sebagai manusia, dia hanyalah seorang budak yang hitam dan kedudukannya pun sangat hina dari binatang unta, atau kalau tidak dianggap sama. Namun, tatkala dia telah memeluk Islam, dia menjadi manusia yang merdeka, dan kedudukannya sama dengan Abu Bakar, Usman bin Affan, ataupun Umar bin Khattab yang merupakan golongan orang-orang terhormat di kalangan kaum Quraisy.
Dengan demikian jelas bagi kita, bahwa keimanan kita tidaklah terhenti pada diri kita semata, tetapi harus kita ejawantah-kan dalam kehidupan sosial kita. Ibadah mahdah apapun yang kita lakukan tidak akan memiliki makna apa-apa, apabila tidak kita teruskan dengan berbuat baik kepada sesama manusia. Dalam al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa celakalah bagi kita yang sholat, yaitu apabila kita masih lalai dalam sholat kita, suka berbuat ria, dan juga enggan menolong orang lain dengan barang yang berguna. Sebagai firman Allah:
”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna)”. (Q.S. al-Maun/107: 4 – 7)
Jama’ah Jum’at yang berbahagia
Demikianlah Islam, agama yang mengajarkan kita pada kesimbangan hidup. Yaitu bagaimana kita tetap memiliki komitmen untuk selalu mendekatkan diri kita kepada Allah (ibadah) atau hablum minallah, tetapi juga tetap menjaga komitmen kemanusiaan kita kepada sesama manusia dengan pelaksanaan amal sholeh sebagai peruwujudan keluhuran budi pekerti atau akhlaqul karimah. Dan ingatlah bahwa kesempurnaan iman kita, sangat tergantung dari kemuliaaan akhlaq.
بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَجَعَلَنَا اللهُ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِـرُ الله لِيْ وَلَكُمْ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أَرْشَدَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، أَمَّا بَعْدُ؛
قَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ, رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ, رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَاْرحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفُ رَّحِيْمٌ، رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ, سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ, وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Penulis : Ustad Madrasah Muallimin Muhmmadiyah Yogyakarta
Sumber : Majalah SM Edisi 07 Tahun 2012