Oleh : Yunahar Ilyas
Pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, turun perintah perobahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Orang-orang Yahudi dan kaum Musyrikin mempersoalkan perpindahan tersebut. Kontroversi probahan arah kiblat itu mempengaruhi juga sebagian orang-orang Islam yang lemah imannya, sehingga ada di antara mereka yang murtad. Apalagi bagi orang-rang munafik, perpindahan arah kiblat ini menjadi alasan bagi mereka untuk tetap dengan keyakinan lamanya. Perpindahan arah kiblat ke Makkah itu secara tidak disadari sudah merupakan isyarat Makkah akan dikuasai kaum Muslimin. Allah SWT tidak akan membiarkan arah kiblat dikuasai oleh orang-orang kafir.
Perang Badar
Seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sebelumnya yaitu mencegat dan menghadang kafilah dagang Quraisy yang pulang pergi Makkah-Syam, maka pada bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah Nabi kembali mengajak para sahabat baik Anshar maupun Muhajirin untuk keluar mencegah kafilah dagang (al-‘air) Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Informasi tentang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan didapat dari laporanThalhah ibn Ubaidillah dan Sa’id ibn Zaid yang ditugaskan oleh Nabi untuk mengintai sampai di Haura’. Setelah menyaksikan Abu Sufyan lewat dengan kafilah dagangnya menuju Syam, Thalhah dan Sa’id segera kembali ke Madinah melaporkannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Kafilah dagang Abu Sufyan membawa harta kekayaan para pemuka Quraisy. Ada iring-iringan 1000 ekor onta yang mengangkut harta benda dengan nilai tidak kurang dari 50.000 dinas emas, sementara yang mengawalnya hanya 40 orang. Karena yang akan dihadang hanyalah kafilah dagang (disebut dengan istilah al-‘air) dengan pengawalan yang tidak banyak (hanya 40 orang) maka Nabi Muhammad SAW tidak mewajibkan semua sahabat untuk ikut, diserahkan kepada kerelaan mereka saja siapa yang akan ikut. Para sahabatpun banyak yang tidak ikut karena bukan menghadapi suatu peperangan besar, jadi tidak perlu mengerahkan pasukan yang besar. Akhirnya yang keluar bersama Nabi 313 orang terdiri dari 82 orang Muhajirin, 231 orang Anshar (dari suku Aus 61 orang dan suku Khazraj 170 orang). Mereka mengenderai 70 ekor unta secara bergantian. Satu ekor untuk untuk bertiga atau berempat. Yang naik kuda hanya dua orang yaitu Zubir ibn Awwam dan Miqdad ibn Aswad. Sepeninggal Nabi, Madinah dipimpin oleh Abdullah ibn Ummi Makhtum, dibantu oleh Abu Lubabah Ibn Abdul Mundzir.
Sementara itu Abu Sufyan dalam perjalanan kembali dari Syam sudah mendapatkan informasi tentang pasukan yang dipimpin oleh Nabi sendiri yang akan menghadang. Segera Abu Sufyan menyewa Dhamdham ibn Amr al-Ghifari untuk menuju Makkah menemui kaum Quraisy meminta bantuan pasukan untuk melindungi kafilah dagang mereka dari cegatan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dhamdham melakukan provokasi dengan menyayat hidung ontanya dan merobek-robek bajunya sendiri sehingga menjadi compang-camping lalu sambil berdiri di atas ontanya dia berteriak-teriak menyeru orang-orang agar segera menolong kafilah dagang Abu Sufyan yang dihadang oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. “Tolong…tolong…” Serunya berulang-ulang. Provokasi Dhamdham berhasil, kaum Quraisy langsung panas dan segera menyiapkan pasukan besar dengan persenjataan dan logistik lengkap. Mereka berangkat dengan jumlah personil 1300 orang, membawa 100 ekor kuda, 600 baju besi dan sekian banyak unta yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Pasukan itu dipimpin langsung oleh Abu Jahali ibn Hisyam. Semua tokoh Quraisy ikut dalam pasukan kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh seseorang yang berhutang kepadanya.
Abu Sufyan dengan segala kewaspadaan menempuh jalur utama menuju Badar. Setelah mendekati Badar dia bertemu dengan Majdi ibn Amr dan menanyakan tentang pasukan Madinah. Majdi mengaku tidak melihat pasukan, hanya melihat dua orang berkuda menuju bukit kecil ini, mereka berhenti untuk minum lalu pergi. Abu Sufyan menyelidiki bukit itu, dan menemukan kotoran unta dengan biji-bijian dari Yatsrib. Segera saja Abu Sufyan membawa kafilahnya keluar dari jalur utama, dia mengambil jalur kiri menyusuri pesisir sehingga selamat sampai di Makkah, Segera Abu Sufyan mengirim surat kepada pasukan Makkah mengabarkan bahwa dia dan kafilah dagang seluruhnya sudah selamat sampai di Makkah. Dia menyarakankan kepada pasukan untuk kembali ke Makkah. Semula pasukan Makkah sudah berniat pulang tapi dicegah oleh Abu Jahal. Dengan sombongnya dia berpidato: “Demi Allah, kita tidak akan pulang sampai tiba di Badar. Kita tinggal di sana selama tiga hari, menyembelih ternak-ternak lalu makan besar dan minum khamar, sementara para biduan menari untuk kita. Biar semua bangsa Arab mendengar tentang apa yang kita lakukan ini.
Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk tidak meniru kesombongan Abu Jahal tersebut. Allah berfirman:
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَٰرِهِم بَطَرٗا وَرِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Anfal 8:47)
Ternyata tidak semua mengikuti kemauan Abu Jahal. Akhnas ibn Syariq dan Bani Zuhrah memutuskan untuk pulang. Jumlah mereka sampai 300 orang. Akhirnya pasukan Makkah dengan kekuatan tinggal 1000 orang meneruskan perjalanan ke Badar.
Nabi Muhammad SAW juga sudah dapat informasi bahwa kafilah dagang Abu Sufyan sudah selamat sampai Makkah, sekarang yang harus mereka hadapi bukan lagi kafilah dagang yang hanya dikawal 40 orang, lebih mudah ditundukkan, tetapi sebuah pasukan besar siap perang. Dari perempuan-perempuan yang menawarkan jasa mereka memasak, Nabi tahu berapa ekor onta yang disembelih oleh pasukan Makkah setiap hari. Dari situ Nabi dapat memperkirakan bahwa pasukan Makkah lebih kurang 1000 orang. Padahal kekuatan Nabi hanya 313 orang. Nabi segera menyampaikan hal tersebut kepada para sahabat, baik Muhajirin maupun Anshar, apakah mereka siap menghadapi pasukan yang berbeda dengan yang diharapkan semula. Al-Quran menggambarkan pilihan sulit itu.
وَإِذۡ يَعِدُكُمُ ٱللَّهُ إِحۡدَى ٱلطَّآئِفَتَيۡنِ أَنَّهَا لَكُمۡ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيۡرَ ذَاتِ ٱلشَّوۡكَةِ تَكُونُ لَكُمۡ وَيُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُحِقَّ ٱلۡحَقَّ بِكَلِمَٰتِهِۦ وَيَقۡطَعَ دَابِرَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Anfal 8: 7)
Rencana semula keluar dari Madinah hanya untuk mencegat kafilah dagang Abu Sufyan yang lebih mudah ditundukkan karena hanya dikawal oleh 40 orang saja. Tapi nyatanya sekarang yang akan dihadapai adalah satu pasukan besar dengan persenjataan dan logistik lengkap. Jumlahnya lebih tiga kali lipat jumlah kaum Muslimin. 313 orang menghadapi 1000 orang. Oleh sebab itu menghadapi situasi sulit begini Rasulullah SAW mengadakan pertemuan dharurat musyawarah dengan kaum Muhajirin dan terutama Anshar. Kenapa terutama Anshar, karena perjanjian dengan mereka di Aqabah dulu akan membela Nabi kalau musuh menyerang Madinah, tapi keadaan sekarang berbeda, bukan perang mempertahankan Madinah tapi perang jauh di luar Madinah. Jarak Badar dengan Madinah lebih kurang 100 km. (Bersambung)
Sumber : Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019