Mimpi Berkarir di Ibu Kota

Mimpi Berkarir di Ibu Kota

Assalamu’alaikum wr wb.

Bu Emmy yth., saya pemuda dari seberang pulau. Sekarang ini saya hancur dan merasa diri ini seorang pecundang. Semua berawal dari keinginan saya untuk mengubah nasib. Setelah lulus sarjana saya bekerja sebagai tenaga honorer di Pemda. Selama mengabdi di sana, jam kerja saya sama dengan PNS, tapi gaji sangat tidak memadahi.

Banyak masalah datang mendera, sehingga saya memutuskan untuk mengubah nasib dengan merantau ke Jakarta. Saya keluar dari pekerjaan sebagai tenaga honorer yang sudah saya jalani 8 tahun. Dan terwujud januari tahun ini. Sejak kecil saya bercita-cita jadi penulis dan bekerja di dunia entertainment. Alhamdulillah, Bu dengan bantuan teman saya bisa ketemu dengan pemilik PH. Saya diterima dan diminta menulis skenario. Sudah saya selesaikan dan tinggal menunggu kabar.

Masalahnya sekarang saya pulang ke kampung untuk menulis skenario sambil mengurus surat-surat. Semua sudah selesai dan sudah saya kirim, tapi sampai hari ini belum ada kabar dari rumah produksi itu. Meski begitu saya merasa puas, cita-cita menjadi penulis mulai terwujud. Keadaan saya kini terlunta-lunta tidak punya pekerjaan. Saya dianggap bodoh meninggalkan pekerjaan. Kok mereka tidak mengerti saya ya? Kan yang tahu susahnya hidup itu saya dan Tuhan, kenapa saya dikucilkan? Saya ingin balik ke Jakarta, tapi tak punya biaya. Harapan saya skenario saya diangkat. Saya selalu berdo’a agar keinginan saya dikabulkan Tuhan. Mohon bantuannya. Jazakumullah atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Adi, di seberang pulau.

Wa’alaikumsalam wr wb.

Adi yang baik, semoga kondisi Anda yang penuh dengan kegalauan adalah sebuah periode yang memang harus Anda lalui untuk mencapai tahapan kehidupan yang lebih bermakna bagi Anda. Utamanya, makin mendekati apa yang jadi tujuan hidup Anda. Manusia dikaruniai akal budi oleh Allah untuk menggapai cita-cita. Cita-cita adalah sesuatu yang berani kita impikan yang sekarang tidak mungkin kita capai. Karena berani memimpikannya, maka kita berani mewujudkannya.

Mengapa butuh keberanian, karena cita-cita yang positif memang seharusnya memompa enerji dan dorongan maju yang ada dalam diri seseorang untuk bekerja mewujudkan impian jadi kenyataan. Banyak keringat dan bahkan air mata karena jalan yang ditempuh tak sesalu mulus.

Sebagai orang yang merasa diri punya jiwa seni, biasanya sensitivitas Adi tinggi, peka, emosionalitas juga kaya. Untuk menjadikan seni sebagai tumpuan hidup dibutuhkan orang lain untuk mengakui kualitas hasil seni kita. Pengakuan yang bukan hanya mengatakan bagus, tapi juga lalu mendayagunakannya untuk dikemas menjadi sebuah karya seni yang layak jual. Laku atau tidak? Diminati atau tidak? Kalau produser mengatakan : “Bagus, saya coba lagi dulu ya” menurut saya masih jauh untuk membuat hasil karya menjadi tonggak pencapaian karir sebagai pekerja seni.

Tentang opini orang lain, ada yang menyanjung dan ada yang mencela, saya kira wajar. Namanya juga merasa kenal. Tapi, meneropong orang lain untuk mencari kejelekannya, mencela apalagi menghujat, menurut saya itu cermin dari banyaknya waktu yang dibuang untuk hal yang tidak manfaat. Apalagi kalau kita kemudian membuang waktu kita untuk menanggapinya.

Lebih baik, lihat diri sekarang. Adi ada dimana? Di kampung bukan? Anda perlu uang kan? Carilah dimana Anda bisa tegak. Mau menulis skenario untuk hidup? Oke, kan bisa dilakukan di kampung. Jadi menulis adalah mewujudan cita-cita, sedangkan keharusan bekerja adalah kemandirian untuk melangsungkan hidup. Fokuslah untuk mencari penghasilan di tempat dimana Anda berada.

Punya cita-cita itu baik. Mau mewujudkannya itu lebih baik. Tapi, tetap harus punya batas di benak kita, mana realita dan mana mimpi. Untu bertahan hidup kita harus ada di realitas. Maka berhentilah galau, lihat sekeliling mulai pikirkan apa yang bisa dilakukan dan akan jadi uang. Lakukan saja. bila ada uang, bisa ditabung untuk ongkos ke Jakarta buat mewujudkan cita-cita. Buat pikiran sederhana, supaya tidak mudah kecewa lalu merasa hidup itu pahit. Ayo, realistis menjalani hidup, tetapi maknai dengan tetap positif, bukan sebagai kegagalan. Jangan galau lagi ya, hidup ini banyak sekali sisi indahnya. Semoga Allah memberi kekuatan dan jalan yang mudah untuk mewujudkan cita-cita. Aamiin.

Sumber : Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya

Exit mobile version