Oleh : Yunahar Ilyas
Seandainya Kaum Muslimin berhasil mencegat kafilah dagang Abu Sufyan, para pengawalnya dapat ditangkap, onta dan barang dagangannya dapat dikuasai, tentu pasukan Quraisy juga akan mengejar mereka untuk merebut kembali harta mereka. Seandainya Nabi Muhammad SAW memilih untuk kembali saja ke Madinah setelah tahu pasukan Makkah begitu besar dengan persenjataan lengkap tentu mereka akan dipandang rendah oleh orang-orang Yahudi di Madinah dan akibatnya kaum Muslimin akan dapat gangguan dari Yahudi di Madinah sebagaimana dulu dapat gangguan dari kafir Qurais di Makkah. Dan juga kaum kafir Quraisy pun merasa berada di atas angin. Jika menyerah pada situasi macam ini, mustahil kebenaran bisa ditegakkan. Jika berjuang untuk menegakkan agama tentu Tuhan akan memberikan pertolongan. (Sejarah Hidup Muhammad, hal. 245)
Nabi Muhammad SAW mengumpulkan semua anggota pasukan beliau di Wadi Dhafran. Nabi ingin meminta pendapat mereka. Dengan keadaan seperti ini apakah kita akan terus. Pertama Nabi bertanya kepada Abu Bakar, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab “Terus saja ya Rasulullah. Walaupun nanti yang ketemu pasukan besar kita terus.” Kepada Umar, “Bagaimana pendapatmu wahai Umar?” Umar hanya menjawab “Terus.” Nabi memang sering bertanya kepada dua orang sahabat ini. Sejak awal sudah menjadi tangan kanan Nabi, apalagi Abu Bakar. Abu Bakar sejak awal menjadi sahabat Nabi, sering bersama-sama, dan kalau perlu musyawarah Nabi akan bermusyawarah dengan Abu Bakar. Kemudian setelah Umar masuk Islam Nabi juga sering bermusyawarah dengan Umar bin Khatab.
Tapi Nabi bertanya terus, “Wahai kalian berikanlah pikiran kalian kepada saya”, artinya berikan pendapat. Kemudian Mikdad bin Amir memberikan jawaban juga. Yang kalau kita baca terjemahan jawabannya itu oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (IX: 255) “Ya Rasulullah jalan terus! Jalankan apa yang diperintahkan oleh Allah kami akan tetap bersama engkau. Kami tidak akan berkata kepada engkau sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa “Pergilah engkau dengan Tuhan engkau dan kami tetap akan duduk saja disini”, tapi kami akan berkata “Pergilah engkau bersama dengan Tuhan engkau kami akan turut berperang dengan engkau. Demi Allah walaupun engkau bawa kami ke Barul Amad (suatu negeri di Ethiopia) kami akan turut sampai kita tiba disana.”
Ini pernyataan dari Mikdad bin Amir lebih panjang. Soalnya dulu waktu Nabi Musa AS diperintahkan oleh Allah membawa Bani Israil ke Palestina untuk menaklukan tanah yang dijanjikan itu mereka mengatakan idzhab anta wa rabbuka faqatila wanahnu huna qa’idun Musa pergilah berdua dengan Tuhanmu berperang kesana, kami duduk disini menunggu, nanti kalau sudah menang jemput kami. Jadi kisah itu sudah diketahui oleh sahabat hingga Mikdad bin Amir mengatakan tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa, tapi kami akan berkata idzhab anta wa rabbuka faqatila nahnu maaka muqatilun pergilah engkau dengan Tuhanmu berperang kami juga akan ikut berperang, bahkan ditegaskan lagi walaupun diajak berperang sampai ke Ethiopia nyebrang laut.
Tentu saja Rasulullah SAW gembira mendengar kebulatan tekad dari Abu Bakar, Umar dan Mikdad ini. Tapi beliau masih bertanya terus, “Berikan pendapat kalian kepada saya.” Kenapa Nabi masih bertanya terus?, karena yang berbicara baru Muhajirin, Anshar belum. Abu Bakar, Umar, Mikdad dari Makkah tapi Anshar belum ada yang bicara sehingga orang-orang Anshar paham lalu salah seorang antara mereka mengatakan “Ya Rasulullah sebelum engkau pindah ke negeri kami, kita belum terikat namun setelah engkau pindah ke negeri kami maka engkau adalah bahagian dari tanggung jawab kami. Kami bela sebagaimana membela anak istri kami”. Tapi Rasulullah masih belum puas, kenapa? Karena pernyataan itu belum menyatakan tegas siap berperang cuma membela. Berbeda dengan membela karena Nabi dan kaum muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah ke negeri mereka, sebagai tuan rumah mereka menerima dan membelanya sebagaimana membela anak dan istrinya. Tapi masalahnyakan sekarang bukan di Madinah, ke luar. Kalau datang musuh ke Madinah menyerang, Nabi yakin mereka pasti akan membela. Tapi sekarang kan bukan di Madinah lagi, malah keluar mencari musuh, menghadang musuh. Oleh sebab itu Nabi masih belum puas, masih ragu. Lalu beliau nyatakan saja terus terang apa yang menjadi keraguan Nabi itu.
Kemudian tampillah Sa’ad bin Muadz, salah seorang pemimpin Anshar, “Ya Rasulullah agaknya yang engkau maksudkan adalah kami” Rasulullah menjawab “Benar, kalian yang aku tuju” artinya bagaimana orang-orang Anshar apakah siap kita jalan terus ketemu dengan pasukan dari Makkah dan berperang, maka Sa’ad memberikan pernyataannya “Sesungguhnya kami menyatakan beriman kepada engkau dan kami telah mengakui kebenaran engkau dan kami telah bersaksi bahwa engkau adalah benar dan untuk itu kami telah memberikan janji segala sumpah setia kami. Kami akan mendengar dan mematuhi itu. Oleh sebab itu ya Rasulullah jalan terus laksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada engkau, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, walaupun engkau bawa kami merenangi lautan kamipun akan turut berenang bersama engkau dan tidak akan seorangpun ketinggalan dan tidaklah kami takut jika engkau pertemukan dengan musuh kita, kami ini adalah orang-orang yang tabah jika bertemu dengan musuh. Percayalah bahwa engkau akan mendapatkan hal yang menyenangkan hati dari kami. Bawalah kami dengan lindungan berkat dari Allah.”
Mantap sudah pernyataan tegas mewakili Anshar dari Sa’ad bin Muadz. Rasulullah senang sekali dan dengan penuh semangat mengatakan “Kalau begitu mari berangkat dengan berkat dari Allah dan gembirakanlah hati kalian semua karena Allah telah menjanjikan kita akan bertemu dengan salah satu dari dua golongan. Demi Allah laksana sudah terbayang di hadapanku disaat ini juga bahwa kaum itu akan bergelimpangan.” (Tafsir Al-Azhar IX: 255-256)
Rasulullah sudah semangat dan optimis. Memang kalau pergi perang harus ada kebulatan tekad itu.
Sebenarnya di samping yang punya tekad kuat seperti beberapa sahabat yang sudah disebutkan di atas, ada juga yang ragu-ragu, karena yang dihadapi sudah berbeda. Sekarang yang dihadapi bukan lagi kafilah dagang Abu Sufyan yang hanya dikawal oleh 40 orang, tetapi pasukan besar 1000 orang. Allah SWT berfirman:
كَمَآ أَخۡرَجَكَ رَبُّكَ مِنۢ بَيۡتِكَ بِٱلۡحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقٗا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لَكَٰرِهُونَ(5) يُجَٰدِلُونَكَ فِي ٱلۡحَقِّ بَعۡدَ مَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى ٱلۡمَوۡتِ وَهُمۡ وَهُمۡ يَنظُرُونَ (6)
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.
Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (Q.S. Al-Anfal 8: 5-6)
Sebenarnya masuk akal saja ada yang ragu-ragu, bukankah niat semula dari Madinah hanya menghadapi kafilah dagang Abu Sofyan yang cuma dikawal oleh puluhan pasukan. Padahal Nabi membawa 313 orang. Jadi kalau tiga ratusan menghadapi empat puluh orang adalah ringan. Tapi berita yang datang Makkah mengirim pasukan besar jadi sebagian takut. Yujadilunaka fil–haqqi mereka membantah engkau, apa kita bisa menang? Disamping orang yang semangat seperti tadi ada yang ragu. Allah mengkritik mereka mengatakan kaannama yusakuna ila mauti mereka langsung takut seolah-olah sudah digiring menuju kematian, wahum yanzurun sepertinya mereka sudah melihat kematian di depan. Jadi kalau disitu ada tiang gantungan, terus orang dibawa menuju tiang gantungan ya takut. Ini belum apa-apa, belum tentu kalah. (bersambung)
Sumber : Majalah SM Edisi 20 Tahun 2019