Dinamika Politik di Afghanistan Pasca Taliban Berkuasa

Afghanistan

Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan sebelum dilengserkan oleh Taliban Foto Dok Internasional

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dinamika politik yang belakangan terjadi di Afghanistan menarik perhatian publik di Indonesia. Di mana Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan dari pemerintah resmi Afghanistan setelah lebih dari 20 tahun menunggu. Yang tak kalah penting untuk disoroti adalah adanya eforia di Tanah Air atas kemenangan yang diperoleh Taliban. Kemenangan ini dirasakan begitu nyata di Indonesia. Persoalan ini bukan persoalan sederhana karena akan memiliki dampak yang sangat luas. Bukan hanya dalam konteks hubungan antar kelompok di Afghanistan, namun juga berimbas pada hubungan bilateral Indonesia dengan Afghanistan. Tentu akan ada perubahan konstelasi dalam hal keamanan, ekonomi dan politik di negara beribukotakan Kabul tersebut.

Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpesan kepada warga persyarikatan untuk tidak bereaksi secara berlebihan dalam menanggapi kondisi yang terjadi di Afghanistan. Ia meminta masyarakat untuk senantiasa mengikuti perkembangan informasi resmi dari pemerintah Indonesia. Karena menurutnya, informasi atau berita yang beredar di media sosial sebagian besar masih diragukan kebenarannya.

Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah tersebut mengajak masyarakat untuk fokus kepada persoalan yang ada di dalam negeri sembari mendoakan agar situasi di Afghanistan segera membaik. “Saya berharap, siapa pun yang akan memimpin Afghanistan dan apa yang akan terjadi disana, tidak menimbulkan persoalan yang lebih parah bagi stabilitas kawasan dan kemanusiaan,” tuturnya.

Arief Rachman, Duta Besar Indonesia untuk Afghanistan menyampaikan bahwa kondisi dan situasi sosial di Afghanistan berlangsung stabil pasca Kabul diduduki Taliban. Namun secara ekonomi, pemerintahan dan politik negara tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya karena Taliban belum mengumumkan pemerintahan barunya. Taliban tidak bisa serta merta menentukan pemerintahan barunya. Mereka mesti menjalin komunikasi dengan berbagai pihak atau partai untuk mendapatkan hasil terbaik.

“Secara umum, Kabul dan beberapa provinsi di Afghanistan mulai kondusif. Diharapkan dalam waktu yang cukup, Afghanistan akan normal kembali,” ujar Arief dalam wawancara bersama TVMu (22/8).

Walaupun tampaknya pengambilalihan kekuasana oleh Taliban berlangsung sangat singkat, sejatinya proses tersebut telah berjalan sejak pemerintah Amerika memutuskan untuk menarik militernya keluar dari Afghanistan pada tanggal 1 Mei 2021, namun kemudian berubah menjadi 11 September 2021. Di situ terjadi tekan menekan hingga perang yang tak lagi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sementara negosiasi yang dilakukan tak kunjung membuahkan hasil. “Inilah yang sebenarnya memunculkan kekhawatiran bagi kita semua, baik bagi masyarakat Afghanistan maupun publik internasional,” tegasnya.

Sampai pada akhirnya pemerintah Afghanistan meminta gencatan senjata diberlakukan. Namun muncul desakan dari Taliban agar Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengundurkan diri dari jabatannya. Ghani memilih tetap bertahan. Serangan pun terus digencarkan pihak Taliban. Satu persatu distrik pun jatuh ke tangan militer Taliban tanpa perlawanan berarti. Setelah Taliban berhasil mengepung Kota Kabul, negosiasi kembali terjadi. Dan pada hari itu Presiden Afghanistan resmi mengundurkan, menyerahkan kekuasaannya kepada Taliban.

“Hingga saat ini terus terjadi negosiasi antara Taliban dengan berbagai partai yang ada di Afghanistan. Hal ini dilakukan dengan harapan kabinet yang akan dibentuk merupakan kabinet yang inklusif. Semua elemen bisa masuk untuk menuju kepada Afghanistan yang baru,” ungkapnya.

Sementara itu Direktur Jendral Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani mengungkapkan, pada detik ini masih terlampau awal bagi Indonesia untuk menentukan sikapnya kepada pemerintahan Taliban. Karena sampai saat ini pemerintahan tersebut belum terbentuk. Bahkan dari berbagai komunikasi yang diperoleh, proses perundingan antar tokoh Taliban dengan tokoh masyarakat Afghanistan masih terus berlangsung.

Meski situasi di lapangan masih dipenuhi dengan ketidakpastian, terutama tentang masa depan Afghanistan. Negosiasi masih tetap terus berjalan. Ketidakpastian ini juga menyebabkan negara-negara lain belum bisa menetapkan keputusannya secara bulat terkait peralihan kekuasaan di Afghanistan. Pakistan yang selama ini terkenal memiliki hubungan tradisional dengan Taliban memilih untuk tidak tergesa-gesa memberikan pengakuannya. Sikap yang tak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara lainnya. Oleh karenanya tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia menilai masih terlampau dini untuk menentukan sikap kepada Taliban.

Di sisi lain ia juga mendengar adanya negara yang menyatakan siap bekerjasama dengan prinsip menghormati perkembangan kondisi dalam negeri di masing-masing negara. Tapi pada saat yang sama, sejauh ini belum ada negara yang secara bulat memberikan dukungannya kepada Taliban.

‘’Yang pasti, menurut hemat saya Taliban telah memberikan beberapa statemen positif. Kita harus akui itu. Tentu kita semua berharap terwujudnya pemerintahan yang bersifat inklusif sebagaimana yang dijanjikan oleh Taliban. Yaitu pemerintahan yang melibatkan semua elemen masyarakat Afghanistan, termasuk juga peran wanita. Karena peran wanita seyogyanya menjadi salah satu pilar perdamaian,” ungkapnya.

Pada saat yang sama kita melihat Taliban terus berusaha menampilkan dirinya lebih baik dari sebelumnya. Seiring dengan hal tersebut, masyarakat internasional juga mengharapkan komitmen tersebut dapat menjadi kenyataan. Dengan demikian, sebaiknya kita melihat dan sekaligus mengamati perkembangan yang terjadi di Afghanistan sebelum menentukan sikap terbaik.

Salah satu anak di Afghanistan yang tertangkap kamera tengah melihat situasi di luar rumahnya.

Peran Indonesia untuk Afghanistan

Menurut Jaelani, secara aktif Indonesia akan terus berusaha mendorong terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan di Afghanistan sesuai dengan prinsip Afghan-led, Afghan-owned (Perdamaian yang diwujudkan sendiri oleh rakyat Afghanistan dan untuk seluruh rakyat Afghanistan). Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk memainkan peran tersebut. Dalam pembukaan UUD 1945 sangat jelas mengamanatkan kita untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi. Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki kepentingan atas terwujudnya stabilitas keamanan di Afghanistan. Tercapainya Afghanistan yang damai, aman, dan stabil tentu akan berdampak positif terhadap stabilitas keamanan kawasan dan dunia internasional, termasuk Indonesia.

Ada pun hal konkrit yang telah Indonesia lakukan. Pertama, aktif dalam proses perundingan perdamaian yang telah berlangsung beberapakali sebelumnya. Di mana Indonesia tergabung dalam host country support group yang terdiri dari Indonesia, Jerman, Nurwegia, Qatar, Uzbekistan, serta perwakilan PBB di Afghanistan.

Strategi Indonesia dalam mendorong perdamaian di Afghanistan menggunakan pendekatan dua blok, yang mana keduanya mengedepankan soft power sebagaimana potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dengan sistem demokratis.

Kedua, menginisiasi terselenggaranya konferensi ulama dunia pada tahun 2018 yang melibatkan perwakilan ulama Indonesia, Pakistan, dan Afghanistan. Ketiga, mengarusutamakan peran perempuan dalam upaya menciptakan Afghanistan yang damai dan makmur. Dalam hal ini Menlu Retno Marsudi seringkali menekankan kita agar memiliki perhatian khusus terhadap program pemberdayaan perempuan. Dengan makna bahwa memberdayakan perempuan berarti memberdayakan sebuah bangsa, guna memastikan partisipasi perempuan dalam proses perdamaian di Afghanistan. (diko)

Exit mobile version