Dokter Soetomo; Tokoh Nasionalis yang Bangga Menjadi Bagian Muhammadiyah

dokter soetomo

Dr Soetomo; Tokoh Nasionalis yang Bangga Menjadi Bagian Muhammadiyah

Selama ini Nama Dr Soetomo mungkin masing agak asing di kalangan ummat Islam. Di sebagian masyarakat muslim Indonesia, Nama pendiri Budi Utomo juga sangat jarang disebut sebagai pahlawan dari kalangan Muslim. Berbeda halnya dengan Saman Hudi, Tjokro Aminoto, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Fachrudin, Nyai Walidah, Tjut Nyakdien, Kyai Mojo, Imam Bonjol, dan lain sebagainya.

Di kalangan Muslim tertentu, nama Dr Soetomo  bahkan lebih dikenang sebagai “penista Islam” karena adanya kasus tulisan Sitti Soemandari berjudul “Huwelijks Ordonantie en Vrouwen Emancipatie” di koran Bangoen Nomor 8 dan 9 tahun 1937. Walau Soetomo kemudian memberhentikan RM Soetopo Wonobojo dan R Soeroto, dua tokoh yang dianggap paling bertangangjawab atas lolosnya tulisan itu, “dosa” Dr Soetomo masih sering diungkit dalam peristiwa itu. Seakan ada semangat untuk terus memosisikan Soetomo sebagai musuh Islam. Bahkan banyak pula orang Islam yang mempertanyakan agama yang dianut dari tokoh partai Perindra ini dan tidak menganggap Dr Soetomo sebagai seorang Muslim, atau meragukan keislaman Dokter Soetomo.

Namun, tidak demikian hanya dengan Muhammadiyah. Saat menulis berita kematian Dr Soetomo, Majalah Adil (Majalah milik Muhammadiyah) sebagaimana dinukil oleh Abd Wahid Rata dalam buku “Riwayat Penghidupan Dr Soetomo dan Perjuangannya”, hlm  263-264 menulis sebagai berikut:

“Dengan ini, atas sekalian kerabat Adil dan kaum Muhammadiyin, turut menyatakan duka cita,,. Sebab sekalipun dalam kalangan kita bukan dianggap sebagai pemimpin Islam, tetapi belakangan ini sudah banyak sekali beliau menyondongkan arahnya pada kemajuan agama Islam di Indonesia. Kita berobah menyebut Dr Soetomo, bukan Soetomo yang menyamakan Mekkah dengan Diggul yang menyamakan kaum Muhammadiyah dengan “bulldog” yang memberi kesempatan pada Soeroto Somendari menghina KN Muhammad dalam “Bangun”, tetapi  Dr Soetomo, oprichter dari Wa’af Islam dan Kuliah Islam di Surabaya.”

Bagi Muhammadiyah, Dr Soetomo memang bukan orang lain, apalagi sosok yang layak dimusuhi. Dr Soetomo adalah sahabat bahkan telah menjadi bagian dari Persyarikatan Muhammadiyah dan telah memberi jasa yang besar kepada Muhammadiyah. Hal ini diakui sendiri oleh Mas Mansur (Ketua PP Muhammadiyah tahun 1937-1941).

Mas Mansur menyatakan kenal dengan Dr Soetomo sejak tahun 1923 saat Dr Soetomo bertempat tinggal di Palmelaan, Surabaya. Di pertemuan pertama itu keduanya sama-sama mempunyai kesan yang mendalam. Setelah pertemuan itu, mereka sering bertemu untuk berdiskusi hingga larut malam. Sampai jam 2 atau kadang 3 dinihari. Soetomo mengagumi Mas Mansur sebagai sahabat yang dapat diajak berdiskusi berbagai hal secara mendalam, termasuk filsafat dan konsep Ketuhanan.Sedangkan Mas Mansur terkesan dengan pandangan dan cara Soetomo memperlakukan sesama manusia yang oleh Mas Mansur penuh kemuliaan.

Menurut  Mas Mansur, Soetomo memperlakukan semua orang dengan ramah dan penuh hormat. Tidak peduli pembantu atau pelayan semua dipanggil adik, kakak, bapak, ataupun Ibu tergantung usianya. Satu-satunya kekurangan (hal kurang baik) dari Soetomo yang disesali Mas Mansur adalah Soetomo tidak pernah memikirkan dan tidak mengindahkan pengkhianatan orang lain kepada diri Soetomo, terutama tentang keuangan.

Mas Mansur juga menyebut kalau Soetomo hanya mau berdebat dan berpolemik kalau polemik itu akan mencerahkan pemikiran masyarakat atau membawa masyarakat untuk lebih memperdalam hal itu. Lepas dari siapa  yang benar atau menang di polemik itu. Namun, kalau polemik itu tidak mencerahkan pemikiran rakyat, Soetomo tidak akan melayani polemik itu, meski dia benar dan akan pasti akan menang dalam perdebatanya. Oleh karena itu kadang Soetomo hanya melontarkan suatu masalah dan kemudian menyimak berbagai pembahasan terhadap gagasan yang dilontarkanya itu.

Ketika Dr Soetomo menyamakan Digul dan Mekkah. Bahkan ketika Soetomo menganggap Digul lebih baik dari Makkah, Mas Mansur dapat memahami jalan pikiran Soetomo. Karena untuk sampai ke Digul (Pulau tempat pembuangan) seseorang harus berjuang dengan mengorbankan semua harapannya, dengan duka dan segala rasa putus asanya. Sedangkan Makkah dapat didatangi dengan  uang dan perbekalan yang cukup dan dengan hati yang gembira.

Dengan kata lain, penggagas 12 Langkah Muhammadiyah ini hendak menyatakan bahwa jangan memaksakan logika diri sendiri untuk menimbang semua hal. Tapi pahami semua konteksnya terlebih dahulu. Pahami filsafat (dasar) pemikirannya.

Meski lebih dikenal sebagai pemimpin kaum Nasionalis,  Dr Soetomo adalah bagian dari Muhammadiyah. Sejak tahun 1925 hingga akhir hayatnya Dr Soetomo adalah medisch adviseur (penasehat urusan kesehatan) Muhammadiyah. Dalam buku Riwayat Penghidupan Dr Soetomo dan Perjuangannya halaman 220, Mas Mansur menyebut kalau berdirinya rumah obat, klinik dan poliklinik serta adanya dokter-dokter Muhammadiyah, semuanya itu adalah buah advis Dr Soetomo.

Tidak salah kalau kita menyebut Muhamadiyah adalah organisasi yang dicintai Dr Soetomo. Pidato Dr Soetomo tanggal  14 September 1924 saat Pembukaan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya, memperlihatkan rasa cinta dan bangganya Dr Soetomo pada Muhammadiyah. Di sini Dr Soetomo menyatakan, “Perserikatan kami ini ada bersifat Islam. Tetapi pada hakikatnya Persyarikatan kami itu tiada lain hanya satu dari beberapa pertunjuk lahirnya pikiran baru yang menggetarkan bahagian antero dunia yang berfikir…. Kita mendirikan sekolahan. Kita ada mendirikan Hizbul–Wathan untuk memajukan badan kita. Anak yatim pun dapat pemeliharaan dari kita. Banyaklah jalan yang hendak kita jalani.”

Di sini tersirat kebanggaan Dr Soetomo saat menjadi bagian dari Persarikatan Muhammadiyah yang menawarkan nilai baru yang menentang arus pemikiran dunia saat itu. Pemikiran yang serba materialistis yang bersumber pada filsafat seleksi alam a-la kaum darwinisme.

Oleh: Isngadi, Anggota tim penulis buku “Muhammadiyah Membangun Kesehatan Bangsa”

Exit mobile version