Kemajemukan: Impian Luhur Bangsa yang Dikoyak Media Sosial
Indonesia dapat disebut lahir dari sebuah keterpaksaan sejarah. Keterpaksaan di sini bukan bersifat negatif. Namun, keterpaksaan yang harus disyukuri, karena telah memberikan satu kesadaran baru. Kesadaran baru yang belum pernah ada terjadi pada bangsa mana pun di dunia. Bangsa kain batik. Bangsa Indonesia seperti kain batik. Terdiri dari aneka warna dan bentuk lukisan. Tapi di kekayaan warna dan corak itulah letak kekuatan kain batik berada. Dan bangsa Indonesia pun sadar bahwa dirinya bukanlah bangsa tunggal namun bangsa majemuk yang menyatu dalam keindahan kain batik.
Dalam acara “Sukidi Meet & dialogue SM-TV”, episode 2 yang ditayangkan 25 Agustus 2021 Sukidi menyebut tumbuhnya kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan ini bukanlah kesadaran yang tanpa akar. Manuksrip tinggalan Majapahit pada abad ke-12 telah mencatat kesadaran kemejemukan ini. “Bhineka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” demikianlah tulis Empu Tantular dalam Kitab kakawin Sutasoma. Berbeda tetapi satu, tak ada pengabdian yang mendua.
Doktor Harvard University ini menerangkan kalau pada masa itu, warga negara Majapahit yang besar tersebut terdiri dari berbagai penganut agama dan sekte yang berbeda. Tuhan dan kebudayaan mereka juga tidak tunggal, namun semua mempunyai tujuan pengabdian yang sama. Ini semua bisa terwujud karena seluruh anak bangsa Majapahit telah selesai dalam upaya mereka untuk saling mengenali antar sesamanya. Sehingga semua dapat saling paham dan dapat menempatkan diri secara tepat.
Kesadaran lama yang kemudian ditemukan kembali oleh para pendiri bangsa Indonesia ini kemudian diperkenalkan kembali oleh Soekarno di sidang PBB tahun 1960. Sebagai kepala negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Soekarno saat itu mengutip Al-Qur’an Al-Hujurat ayat 13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menurut Sukidi, Soekarno mengutip ayat itu dengan satu tujuan. Agar ada upaya saling memahami antar bangsa di dunia ini sehingga dapat menjalin kerjasama yang equal. Bukan malah saling merasa dirinya lebih unggul sehingga merasa mendapat hak untuk menjajah dan memaksakan kehendaknya kepada bangsa yang lain.
Namun, bangunan kesadaran akan kebhinekaan bangsa Indonesia dalam era sekarang terasa mulai merapuh. Media sosial yang seharusnya lebih mendekatkan antar individu malah mengoyak pintalan kemajemukan ini.
Sebagai anak dari seorang petani yang sadar kalau industri pertanian tidak bisa hidup sendiri, Sukidi mengajak semua anak bangsa untuk terus merawat kebhinekaan ini. Menurut Sukidi, tidak ada budaya dalam semua suku yang ada di Indonesia ini untuk mencurigai lian (the oher). Tidak ada pula agama yang dianut bangsa ini yang mengajari untuk membenci orang lain.
Oleh karena itu, bagi Sukidi tidak ada jalan lain untuk melawan pengoyakan kebhinekaan bangsa ini selain untuk lebih saling memahami antar sesama. Atau dalam bahasa Al-Qur’an yang dikutip Soekarno, li-ta’arafu untuk lebih saling mengenal dan memahami. Sukidi percaya bangsa Indonesia pasti akan dapat mewujudkan mimpi tentang kebhinekaan ini. Bukan saja karena akar kesadaran itu lebih dalam dari akar kesadaran kemajemukan bangsa Amerika yang baru dirumuskan abad ke-17, Namun akar kemajemukan itu juga mempunyai landasan spiritual, yaitu perintah Tuhan dalam Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. (mjr8)