Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth., saya (28 tahun) ibu dari 2 anak. Saya punya masalah yang berkaitan dengan perilaku suami. Kami sama-sama bekerja dan tinggal di kota S. Sebelum ada anak ke dua saya berhenti dari pekerjaan. Dua bulan setelah resign saya hamil. Ternyata, kehamilan saya agak bermasalah, karena itu saya minta ijin suami untuk tinggal bersama ibu di kota L. Suami menjenguk kami sebulan sekali. Qodarullah, anak edua saya mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan harus terapi.
Kembali pada masalah saya, bu. Akhir-akhir ini saya merasa suami makin cuek dan pelit dalam hal keuangan. Kami memang punya banya cicilan dan biaya terapi. Saya tahu suami punya tabungan cukup banyak karena gajinya lumayan. Ketika saya mau melahirkan anak kedua, saya sampaikan perkiraan biaya bila harus operasi, suami malah menyuruh saya kembali ke kota S, Karena biaya di kota S lebih murah. Sakitnya hati ini, sedang hamil besar, uang tabungan saya menipis karena tidak ada pemasukan. Suami juga menyampaikan uang tabungan tinggal sekian juta dan pinjam bank untuk membayar pembelian rumah. Saya kaget, karena saya tahu uangnya cukup untuk pembelian rumah dan biaya melahirkan. Ternyata ia pinjamkan uangnya kepada kakaknya lewat ibunya. Begitulah kalau untuk keluarganya dia cepat keluarkan uang, sementara untuk anak dan istrinya penuh perhitungan. Bahkan bilang anak kita tidak apa-apa tidak perlu terapi. Ilustrasi lain tentang kepelitan suami, pernah waktu saya menghidupkan AC. Suami datang dan langsung mematikan AC sambil berkata, “Kalau kamu bayar listrik, baru boleh nyalakan AC.” Duh, menyakitkan.
Ta berapa lama ipar menghubungi untuk minta transfer 5 juta untuk patungan acara keluarga. Ia langsung transfer. Giliran saya minta uang untuk biaya sekolah yang sudah nunggak 2 bulan suami diam saja.. ini untuk anak kandungnya yang menjadi tanggung jawabnya. Saya tidak mengert jalan pikirannya, Bu. Oh ya, sejak kelahiran anak kedua saya sampai sekarang kami tidak pernah berubungan intim. Saya sudah berusaha untuk menggoda dan mengajaknya, tapi dia menolak. Saya sudah tidak tahan hidup dengannya. Saya ingin cerai. Bagaimana menurut ibu? jazakumullah atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Dy, di kota S.
Wa’alaikumsalam wr wb
Bu Dy yang baik, saya sepikiran dengan Anda bahwa ada yang salah dengan cara pandang suami terhadap perkawinan, terutama bagaimana dia menghayati seberapa penting laki-laki itu memiliki kompetensi untuk jadi suami, ayah, menantu dan peran-peran di masyaraat. Indikasi selanjutnya adalah keengganannya berhubungan intim dengan istrinya. Cobalah untuk melihat ke belakang. Hal-hal positif apa yang Anda lihat pada suami sehingga yang menyebabkan Anda mau menghabiskan umur bersama dengannya? Menjadi istrinya? Lalu, sampai saat ini masihkah hal-hal positif tadi? Kalau masih ada, masih bisakah hal positif itu menutup kekurangan suami yang sekarang terasa mengganggu?
Kalau tak ada, ganti Anda menjawab pertanyaan kok mau anda dikawini? Ini penting karena manusia itu bisa berubah. Bila ada perubahan. Coba lihat, apakah Anda punya andil pada perubahannya? Bila kebutuhannya besar untuk mendominasi Anda, lalu ia menggunakan kuasa uang untuk mempertahankannya, kalau tidak nurut tinggal serumah lagi. Tidak ku kasih uang kalau tidak nurut. Ya penuhi dulu keinginannya, bahwa suamilah yang dominan di rumah. Selain itu, perbaiki hubungan Anda dengan ipar, meski menyebalkan usahakan tulus. Ini akan bisa mengubah sikap suami menjadi nyaman saat melihat istrinya akur dengan ibu dan kakak adiknya.
Saya setuju, Anda harus terus menyuarakan kepentingan keuangan keluarga, agar suami tidak terlena. Kalau dia tidak memberi, paling tidak dia tahu, Anda kesulitan memenuhinya. Pikirkan, Anda bersama anak bisa tinggal bersama lagi. Coba pikir, betapa melelahkan harus meluangkan waktu uang dan tenaga untuk menjumpai anak istrinya. Penting kiranya untuk terus mengupayakan solusi, jangan hanya berhenti dan menumpuk kemarahan dan benci pada suami. Ini menumpuk energi negatif, Bu.
Selain itu, coba tanya dengan jujur pada diri, apakah dengan apa yang selama inidilakukan suami, masih ada cinta di hati Anda? Kalau tidak ada berarti Anda hanya bertahan dalam sebuah hubungan demi kewajiban saja, tanpa memperoleh hak Anda. Ini tidak adil, Anda muda, punya kebutuhan biologis, kalau tidak didapat dari suami, untuk apa kawin? Tapi berjuanglah dulu. Anak-anak butuh sekali rasa nyaman dari sebuah keutuhan keluarga. Bila hubungan membaik, insyaa Allah ia mau berhubungan intim dengan Anda. Tapi, bila makin memburuk teguhkan hati Anda untuk memulai hidup baru. Sedih saya harus bilang ini. Maka, ini pilihan terakhir ya. Upayakan dulu untuk memperbaiki kualitas hubungan dengan suami dan juga keluarga besarnya. Perbanyak istighfar. Semoga Anda selalu dalam lindungan Allah. Aamiin.
Sumber : Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019
Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya.