YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pidato Kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua” merupakan diksi atau narasi khas tagar media sosial. Harapan utamanya agar seluruh elit dan warga bangsa dapat menjadikan isu penting tersebut sebagai masalah serta rujukan bersama. Dalam momentum 76 tahun kemerdekaan Indonesia, masih terdapat sejumlah masalah besar yang membelit diantaranya suasana keterbelahan sesama anak bangsa, radikalisme dan ekstrimisme, korupsi serta penanganannya yang cenderung terlihat memanjakan, politik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, hadirnya media sosial yang memproduksi masalah-masalah baru, masalah hutang luar negeri dan investasi asing, kehidupan kebangsaan yang cenderung semakin bebas, dan secara khusus masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya yang mengakibatkan segala permasalahan di atas semakin berat.
Haedar Nashir mengungkapkan, banyak opini yang berkembang dalam menilai masalah-masalah besar atau capaian kemajuan bangsa, serta muncul beragam orientasi sikap dari bermacam pandangan. Menurutnya, narasi kritik atas masalah-masalah bangsa tersebut tidak dimaksudkan mengurangi apresiasi Muhammadiyah terhadap kemajuan yang telah dicapai Bangsa Indonesia.
“Pada situasi yang krusial inilah diperlukan refleksi dari semua pihak untuk bagaimana mengelola perbedaan pandangan serta sikap, sehingga ditemukan titik temu. Tetap dalam spirit persatuan Indonesia. Demi keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia,” tuturnya (30/8).
Kemerdekaan yang melahirkan NKRI, berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Ir. Soekarno memposisikan Pancasila sebagai filosofi grondslag. Di mana Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa yang memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam perjalanannya, Pancasila telah mengalami berbagai fase yang dinamis sejak Pidato 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan Rumusan final 18 Agustus 1945. Hal ini merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan atau kelompok di bumi Nusantara.
Menurut Sejarawan Purnaifal, bangsa yang majemuk diibaratkan seperti air dan minyak. Tapi kenyataan berbeda pada bangsa Indonesia yang majemuk. Ia justru bisa bersatu karena ada nilai yang disepakati bersama yaitu Pancasila. Konsensus bagi seluruh warga negara untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara.
Peran krusial Ki Bagus Hadikusuma selaku Ketua PP Muhammadiyah dalam konsensus juga sangatlah besar. Dengan kesediaannya menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta, yang kemudian dikonversi menjadi sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia.
Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia sebagai darul ahdi wa syahadah. Pancasila juga dapat dimaknai sebagai titik temu dari kemajemukan. Melalui proses musyawarah yang secara subtansial terkandung ideologi tengahan (moderat). Ketika Ir. Soekarno menawarkan lima sila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat dari dasar negara tersebut.
Walaupun Bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang dianggap sebagai dasar negara terbaik di dunia, Haedar berpesan untuk tidak menganggap bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbaik dan mulia, sehingga meremehkan bangsa lain. Ia mengajak warga bangsa untuk menjalin solidaritas dan kerjasama dengan bangsa lain di seluruh dunia. Mewujudkan suasana kekeluargaan antar warga dunia.
Pada pidato kebangsaannya ia juga mengungkapkan bahwa pikiran loyalis maupun kritis yang ada di tubuh bangsa Indonesia, seyogyanya disampaikan dengan cara-cara yang moderat serta tidak berparadigma radikal ekstrem. “Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila,” jelas Haedar. (diko)