JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Focus Group Discussion Series bertema “Menyongsong Revisi Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 untuk Generasi 2045” pada tanggal 3, 7, 11, dan 14 September 2021. Di sesi kedua, FGD dengan subtema “Pendidikan Karakter dan Keluarga” menghadirkan narasumber: Dr Siti Noordjanah Djohantini MM MSi, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd, Prof Ir Indra Djati Sidi MScPhD.
Siti Noordjannah Djohantini menyampaikan bahwa nilai-nilai agama penting sebagai basis pendidikan karakter. “Pendidikan karakter bagi masyarakat Indonesia menjadi sangat penting karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat religius, Islam sebagai agama mayoritas, sehingga nilai-nilai Islam penting sebagai basis pendidikan karakter,” tuturnya.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, telah menetapkan tujuan pendidikan nasional yang ideal, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Noordjannah menyebut bahwa kedudukan keluarga dalam sistem pendidikan nasional juga sudah bagus. Misalnya di pasal 1 disebutkan bahwa keluarga berkedudukan sebagai lembaga pendidikan informal. Di pasal 7 disebut bahwa orang tua siswa berkewajiban memberikan pendidikan dasar bagi anaknya. “Orang tua memiliki posisi sebagai penanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak,” ujarnya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, kata Noordjannah, semestinya menjadi momentum untuk memperkuat peran pendidikan karakter melalui keluarga atau oleh orang tua. Tetapi praktiknya, ternyata banyak kendala yang dihadapi. “Masalah-masalah di masyarakat menjadi sangat tidak sederhana,” ungkap Noordjannah.
Keluarga sebagai institusi pendidikan pertama dan utama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan dengan nilai-nilai utama yang akan membentuk kepribadian dan karakter anak. Oleh karena itu, keluarga yang mampu melakukan peran itu harus diwujudkan sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. “Aisyiyah memiliki program menjadikan keluarga sebagai keluarga sakinah,” katanya.
“Keluarga dalam perspektif Islam bahkan dapat dijadikan sebagai pusat persemaian generasi qurrata a’yun atau generasi permata hati (QS Al-Furqan: 74), menanamkan nilai dasar tauhid (QS Luqman: 13), yang kelak akan melahirkan generasi warga bangsa yang berkarakter utama,” ulas Noordjannah. Sebab itu, orang tua harus memberikan pendidikan dan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya.
Menurut Noordjannah, pendidikan karakter di keluarga dilakukan dengan: (1) menanamkan nilai-nilai dasar keagamaan sebagai sumber nilai beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia; (2) menanamkan nilai Pancasila sebagai sumber nilai berbangsa dan bernegara; (3) menanamkan nilai kebudayaan sebagai sumber nilai bermasyarakat; (4) menanamkan pembiasaan (habituasi) hidup yang benar, baik, dan pantas.
***
Abdul Mu’ti menyebut bahwa Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 ini termasuk UU yang sudah cukup lama dibanding banyak UU lainnya yang sudah banyak berubah. “UU Pendidikan disusun karena kita ingin menjadi lebih baik dan menyadari bahwa UU yang ada perlu dilakukan penyempurnaan,” ujarnya.
Dalam menyikapi perubahan Undang-Undang ini, kata Mu’ti, dapat dipakai kaidah ushul fikih, “al-muhafazatu ala qadim al-shalih, wa al-akhzu b i al-jadid al-ashlah.” Mempertahankan hal-hal baik yang sudah ada, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik yang belum ada.
Menurutnya, UU itu sebagai social engineering atau bahkan political engineering, rekayasa sosial-politik sebagai upaya yang konstitusional untuk mencapai cita-cita luhur dan tujuan negara. Dalam UUD 1945, di antara tujuan itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Dalam pandangan Mu’ti, fungsi rekayasa dalam UU itu mengandung tiga aspek. Pertama, aspek tujuan pendidikan. Kedua, aspek praksis penyelenggaraan pendidikan, terkait dengan kurikulum, materi pengajaran, hingga pembiayaan pendidikan. Ketiga, aspek progresif menyiapkan generasi bangsa yang sesuai dengan kecenderungan perubahan zaman. Menjadi warga dunia yang tidak tercerabut dari akar budaya dan nilai-nilai karakter dasar bangsa.
Membangun bangsa melalui pendidikan tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan. Menurutnya, frase yang perlu dipertahankan dalam tujuan dan fungsi pendidikan adalah untuk membangun karakter, budaya, dan peradaban bangsa. Pendidikan karakter di negara-negara maju sangat ditekankan, seperti tentang nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kreativitas.
Dalam aspek praksis pendidikan, kata Mu’ti, ada tren kecenderungan pendidikan ke depan yang serba terdigitalisasi dan serba terkoneksi dengan dunia global. Ada juga kecenderungan homeschooling yang semakin diminati. Misalnya, ada wisudawan terbaik di ITB itu merupakan anak lulusan homeschooling. Oleh karena itu, jenis pendidikan ke depan perlu diperluas, tetapi tetap membutuhkan standarisasi.
***
Indra Djati Sidi mengingatkan tentang kecenderungan pendidikan di era revolusi industri 4.0. “Setiap revolusi ditandai dengan penemuan dalam bidang sains, teknologi, dan eginering, dengan dasar logika matematika yang kuat. Ini adalah drivernya,” ulasnya. Setiap revolusi memanfaatkan penemuan-penemuan pada revolusi sebelumnya.Kontributor revolusi industri pertama dan kedua adalah ilmuwan Barat. Namun pada revolusi ketiga dan keempat, kontributornya adalah ilmuwan dunia.
Menurut Indra Djati Sidi, sejarah revolusi industri menunjukkan bahwa jarak antarrevolusi semakin pendek. Artinya, dunia semakin sarat dengan perubahan-perubahan. Banyak peran manusia yang akan digantikan mesin, namun di saat yang sama juga memunculkan banyak pekerjaan baru yang membutuhkan manusia. (ribas)