Kentongan Bersejarah dari Banjarnegara Siap Lengkapi Koleksi Museum Muhammadiyah

BANJARNEGARA, Suara Muhammadiyah – Peninggalan sejarah harus dijaga dan dirawat. Itulah pentingnya artefak dan dokumen sejarah. Nilai dan cerita yang dikandungnya mampu membawa penikmatnya (pembelajar) menyusuri jalan sunyi masa lalu. Di luar itu, menempatkan manusia di titik terendah atau tertinggi. Bagi mereka yang mempelajarinya serta mau mengambil hikmah darinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung dalam hidupnya.

Tiap kali orang berbicara tentang sejarah, saya bayangkan sebuah perjalanan panjang. Seperti perjalanan yang kami (Majelis Pustaka dan Informasi dan Tim Museum Muhammadiyah) lakukan. Dimulai dari Yogyakarta menuju Banjarnegara, ditempuh dengan perjalanan darat, memakan waktu empat sampai lima jam. Rombongan yang dipimpin Wiwid Widyastuti selaku Wakil Ketua MPI Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu sampai dikediaman KH Busyro Syuhada (tempat salah satu artefak bersejarah Muhammadiyah) tepat pukul 11.00 siang.

Kedatangan kami disambut meriah oleh tuan rumah. Perjalanan ini sejatinya bertujuan untuk menerima penyerahan artefak sejarah berupa “kentongan” yang diserahkan secara langsung oleh keluarga bani Nurudin kepada Museum Muhammadiyah (11/9). Nantinya kentongan tersebut akan melengkapi koleksi dari Museum Muhammadiyah yang bertempat di Universitas Ahmad Dahlan kampus IV.

Keluarga Bani Nurudin berfoto dibelakang kentongan KH. Busyro sebelum penyerahan kepada Museum Muhammadiyah.

Berbicara tentang fungsi “kentongan” ternyata memiliki cerita sejarah yang cukup menarik. Bagi masyarakat Islam terdahulu, kentongan biasa digunakan untuk mengisyaratkan datangnya waktu shalat, dibunyikan untuk menandai waktu berbuka puasa atau kegiatan keagamaan lainnya. Bagi KH Ahmad Dahlan, kentongan memiliki kisahnya sendiri. Beliau biasa menggunakannya untuk mengumpulkan warga di rumahnya, entah untuk melelang barang-barangnya atau sekedar memberikan pengumuman kepada masyarakat.

Menurut pengakuan KH. M Fuad, cucu dari KH. Busyro Syuhada, kentongan bersejarah tersebut merupakan hadiah dari Raja Mangkunegara atas keberhasilan kakeknya mengobati istri sang raja yang sakit. Sebagai imbalannya, KH. Busyro Syuhada meminta kentongan milik sang raja yang pada saat itu dijadikan sebagai sesembahan bagi keluarga kraton dan rakyat sekitar. Masyarakat pada waktu itu menyakini adanya sesuatu di dalam kentongan tersebut. Konon kentongan tersebut jika diangkat terasa sangat berat. Sehingga tidak heran jika banyak masyarakat yang mengkultuskan dan menyembah kentongan tersebut.

Melihat pemandangan yang menyeleweng dari ajaran Islam tersebut, akhirnya KH. Busyro Syuhada meminta kentongan tersebut dan membawanya ke Pesantren Binorong agar tidak lagi dijadikan sebagai sesembahan. Tujuan utamanya untuk memberantas kesyirikan yang ada di masyarakat. Dan kemudian kentongan tersebut difungsikan kembali sebagaimana mestinya, seperti budaya masyarakat Islam di Jawa. KH. Busyro menggunakan kentongan tersebut untuk memanggil masyrakat desa agar pergi ke Masjid Binorong.

“Itulah sedikit kisah Sang Pendekar Silat yang turut andil mendirikan perguruan silat Tapak Suci dan sekaligus sebagai mubaligh Muhammadiyah yang berjuang menghilangkan Takhayyul, Bid’ah, dan Churofat di sebagian masyarakat Islam Kesultanan Surakarta,” ujarnya.

Wiwid Widyastuti menegaskan bahwa penyerahan artefak dari keluarga Bani Nurudin kepada Museum Muhammadiyah dapat menambah serta memperluas khazanah sejarah persyarikatan Muhammadiyah. Dengan adanya artefak sejarah “kentongan” ini setidaknya sudah bisa membuka puzzle-puzzle sejarah yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Wiwid menambahkan, sebagai seorang guru spiritual dari Jenderal Besar Sudirman dan sekaligus tokoh pendiri Tapak Suci, KH. Busyro memiliki kedekatan dengan KH. Ahmad Dahlan. Kedekatan yang selama ini masih belum banyak diketahui orang, khususnya warga persyarikatan sendiri. “Setidaknya ada tiga relasi yang dapat dinarasikan dari artefak bersejarah “kentongan” ini.

Pertama, relasi antara KH. Busyro Syuhada dengan Jenderal Besar Sudirman. Kedua, relasi antara Jenderal Besar Sudirman dengan KH. Ahmad Dahlan. Dan yang terakhir relasi antara KH. Busyro Syuhada dengan KH. Ahmad Dahlan,” ungkap lulusan Arkiologi UGM tersebut dalam sambutannya mewakili Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. (diko)

Exit mobile version