Kicau burung dari luar jendela menelusup di antara musik reggae dari speaker komputer yang kacau.
“Ayu…,” desisnya lemas. Separuh wajahnya muram.
Satrio, mahasiswa tingkat akhir yang skripsinya tak kunjung usai dikerjakan ini sedang gelisah memikirkan kedatangan keluarga kekasihnya, Ayu. Satrio belum siap untuk bertemu keluarga kekasihnya itu. Sedangkan Ayu memaksa untuk mempertemukan mereka. Sehingga cekcok di antara keduanya sering terjadi, juga kemarin malam.
Pintu kamar terbuka. Yanto datang dari kampus. Seperti biasa, Yanto selalu numpang mengerjakan tugas menggunakan komputer Satrio. Maklum, Yanto hanyalah anak seorang tukang kebun sekolah dasar di pelosok Gunung Kidul. Bisa kuliah saja sudah beruntung rasanya.
“Sat, bangun…! Sudah sore.” Yanto berusaha membangunkan Satrio.
“Kalau sudah waktunya aku pasti akan temui kakaknya” jawab Satrio mengigau.
Tampaknya persoalan Satrio dengan sang kekasih begitu berat ditanggungnya. Kasarnya, Satrio mengalami tekanan batin. Tak jarang Satrio pergi malam-malam tanpa tujuan. Kalau ditanya, pasti dijawab mau cari angin. Biasanya bersama Teddy, lelaki bertubuh gempal dan berdompet tebal yang hampir setiap malam kluyuran menghambur-hamburkan uang bapaknya yang jadi anggota DPR di Palembang.
Satrio tetap terlelap ketika Yanto mulai mengerjakan tugas kuliahnya. Namun, tidak begitu lama waktu berselang, datang dua orang laki-laki mencari Satrio.
“Bangun, Sat…, bangun, kakaknya Ayu datang…!” Dengan sigap Yanto membangunkan Satrio.
Dua orang laki-laki itu berdiri di depan pintu. Lama mereka diam dan mata mereka berpencar mengarah ke dinding, langit-langit, rak buku, almari, dan komputer di kamar sempit Satrio.
“Rasta,” salah seorang dari mereka mengomentari gambar di pintu serta poster yang menempel di dinding kamar.
Satrio terbangun. Kaget mendengar suara yang berat dari salah seorang di antara dua orang yang datang itu. Pandangannya jatuh melihat kaki yang sudah berdiri di dekatnya. Ia tergagap. Lalu bangun dengan napas sedikit tersengal.
Burung di jendela kamar terbang mengikuti kepak sayapnya.
***
“Satrio?”
“Iya”
“Kemarin malam pukul 22.30 Anda bersama dua teman Anda di mana?”
Satrio berusaha keras mengingat apa yang dilakukannya waktu itu.
“Kemarin malam pukul 22.30 Anda bersama dua teman Anda di mana?” Kembali pertanyaan itu dilontarkan.
“Ti…tidak ke mana-mana. Saya di kost,” jawab Satrio sambil mengingat dan bertanya-tanya apakah dua orang yang ada di hadapannya ini adalah kakaknya Ayu.
“Apakah benar, Anda bersama dua teman Anda kemarin malam pukul 22.30 pergi naik sepeda motor dan berhenti di dekat halte bus depan Rumah Sakit Wirosaban mengambil sesuatu?” Tanya kedua orang itu sedikit menekan.
“Sa.. saya tidak ke mana-mana. Kemarin saya di kost pada jam itu. Sebelumnya saya bersama Ayu pergi makan malam,” jawab Satrio gemetar.
“Apakah benar, Anda bersama dua teman Anda kemarin malam pukul 22.30 pergi naik sepeda motor dan berhenti di dekat halte bus depan Rumah Sakit Wirosaban mengambil sesuatu?”
“Tidak. Saya kemarin pada jam itu ada di kost setelah mengantarkan kekasih saya pulang. Sebelumnya saya makan malam bersamanya.”
Pertanyaan dan jawaban yang sama berulang-kali dilontarkan dan ditimpali selama lebih-kurang satu jam. Satrio semakin garuh, peluhnya bercucuran, degub jantungnya tak beraturan! Entah mimpi apa barusan, sehingga ketika terbangun ia langsung disidang oleh dua malaikat maut itu.
Braakkk…kkk…! Buku-buku di rak diobrak-abrik oleh salah seorang, dan yang seorang lagi terus mengulang pertanyaan yang sama. Satrio terdiam.
Ganti pakaian Anda. Dua teman yang kemarin malam bersama Anda sudah menunggu!”
Seluruh teman kost berkumpul di kamar Yanto. Pertanyaan demi pertanyaan juga kecemasan bermunculan. Tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan. Teddy dan Riyan yang baru pulang dari minimarket kaget berpapasan dengan Satrio serta kedua orang misterius itu di pintu gerbang kost. Mereka berdua langsung nimbrung di kamar Yanto.
“Apa yang dilakukan dua orang tadi?” tanya Teddy penuh selidik kepada Yanto.
“Aku yakin itu kakaknya Ayu!” tukas Aji.
Yanto, Teddy, Riyan, Aji, Roci, dan Wawan merupakan teman Satrio satu kost. Persoalan pelik hubungan antara Ayu dan Satrio sudah bukan rahasia lagi bagi mereka. Yanto mengirim pesan singkat kepada Ayu, tapi tidak ada jawaban.
***
Ternyata dua orang yang bersama Satrio itu adalah anggota intelijen Poltabes Yogyakarta. Satrio dibawa ke markas Poltabes. Jumad dan Yono sudah berada di sana. Sebelumnya mereka pun mengalami hal yang sama. Mendadak dijemput di kost masing-masing, dan mereka pun dilontari pertanyaan yang sama persis dengan pertanyaan yang dihantamkan kepada Satrio. Dari celah pintu sebuah ruangan Satrio melihat Ayu duduk terpekur dan menangis. Kemudian pintu menggeretap tertutup rapat.
“Tahu hukuman bagi pengguna narkoba? Tahu bahwa narkoba itu adalah barang haram? Tahu kalau ganja itu adalah narkoba? Tahu kalau ganja itu haram?” Satrio, Jumad, dan Yono terdiam.
Jelas duduk perkaranya sekarang. Tapi Satrio, Jumad, dan Yono masih bingung tentang pertanyaan di awal mengenai apa yang mereka lakukan kemarin malam, karena mereka kemarin benar-benar berada di kost masing-masing dan tidak sedang bersama. Tampaknya pertanyaan itu semacam jebakan untuk memancing jawaban-jawaban kasus penggunaan ganja itu. Lantas siapa sesungguhnya yang dicari? Siapa yang melaporkan semua ini? Ada dua sosok dengan wajah bersungut-sungut berkelindan di benak Satrio.
Usut punya usut, Satrio dan teman-teman kostnya sebenarnya sudah diintai petugas intelijen sepekan terakhir karena ada salah seorang penghuni yang mengedarkan ganja. Satrio bersama beberapa teman kost yang lain pada suatu malam yang jahanam, diiming-imingi untuk menjajal lintingan ganja itu. Selain mereka tak ada teman kost lainnya yang tahu. Satrio menceritakan semuanya. Sebenarnya semua itu tidak ada hubungannya dengan Ayu serta kakak-kakaknya, apalagi Jumad dan Yono. Namun bukan tidak mungkin bahwa semua itu akan saling terhubung.
Menjelang malam, polisi sudah mengantongi nama yang akan dijemput. Tepat tengah malam polisi-polisi dengan jumlah personil lebih banyak kembali ke kost. Roci, Riyan, dan Aji diringkus. Tetapi Teddy terlepas. Padahal sasaran utamanya adalah Teddy. Dialah bandar yang diburu Polisi. Diduga Teddy membawa barang itu dari kampung halamannya ke Yogya. Teddy terlampau licin. Sejak mengetahui Satrio dibawa oleh dua orang tidak dikenal, Teddy menghilang entah ke mana.
Di balkon, Polisi menemukan lima puntung lintingan ganja. Yanto dan Wawan kaget dan kebingungan, tidak tahu-menahu, dan bingung mesti berbuat apa. Dada mereka sesak seperti dihimpit beban. Semuanya akan jelas di markas. Dua orang intelijen tinggal di kost. Sementara yang lain membawa serta Roci, Riyan, dan Aji.
Malam hilang entah ke mana. Masa depan hilang dicuri kawan sendiri –mungkin juga disisihkan oleh kekasih sendiri. Sementara itu, seperti halnya malam dan sehamparan gambaran masa depan mereka, jejak langkah Teddy hilang entah ke rimba mana.
LATIEF S. NUGRAHA, lahir di Kulon Progo, 6 September 1989. Alumnus Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Ahmad Dahlan dan Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada.