Mengurai Masa Depan Papua

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah berkerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Sorong menyelenggarakan Webinar Nasional bertema “Masa Depan Papua: Perspektif Orang Papua” (18/9/2021). Webinar yang dimoderatori Ir Irman Amri ST MT IPM ini menghadirkan narsumber: Dr Ade Yamin, dosen IAIN Fattahul Muluk Jayapura; Prof Dr Yohana Susana Yembise MSc, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2014 – 2019; dan Arie Ruhyanto PhD, dari Gugus Papua Universitas Gadjah Mada.

Yohana Susana Yembise mengajak para perempuan Papua untuk berani bersuara dan menyampaikan aspirasinya. “Jangan tutup mulut, bahwa perempuan punya potensi sebagaimana halnya laki-laki,” katanya. Pelibatan perempuan secara lebih luas dianggap menjadi pintu masuk bagi pemajuan masa depan Papua.

Menurutnya, hakikat pembangunan adalah meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki maupun perempuan. SDGs telah memberi penekanan pada pelibatan perempuan. Target pencapaian SDGs di 2030 di antaranya adalah perempuan dapat menyelamatkan bumi dengan menghasilkan anak-anak yang berkualitas. “Perempuan dan anak itu jangan dianggap remeh,” ujarnya.

Sesuai dengan target SDGs, Yohana berharap di tahun 2030, sudah tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak. Kenyataan di Papua hari ini menunjukkan bahwa semua pihak perlu bekerja lebih keras lagi. Misalnya ditunjukkan oleh Indeks Development Gender, posisi paling rendah itu Papua dan Papua Barat.

Yohana Yembise mengajak semua pihak untuk saling merangkul. Tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah harus saling bekerjasama jika ingin pembangunan Papua berjalan lancar. Menurutnya, pemerintah yang sering tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat, perlu menggandeng tokoh adat dan tokoh agama yang mereka itu punya umat dan didengar oleh komunitasnya.

***

Arie Ruhyanto melihat bahwa saat ini, ada semangat dari kelompok-kelompok elite Papua yang menginginkan pemekaran provinsi Papua. Bahkan, ada yang meminta lima provinsi di Papua. Padahal sebelumnya, mereka tidak mau dimekarkan.

“Pemekaran bisa memperkuat atau semakin melemahkan legitimasi negara di Papua. Kuncinya terletak pada implementasi, terkait sejauhmana pemekaran mampu meningkatkan kapasitas institusi negara dalam menyediakan layanan publik, serta sejauhmana pemekaran dapat mendorong kohesivitas sosial dan memulihkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap negara. Penguatan SDM birokrat dan masyarakat menjadi faktor kunci.”

Implementasi pemekaran ini, ungkap Arie, semestinya tidak hanya menghasilkan gedung-gedung pemerintahan dan posisi-posisi jabatan baru yang hanya mengakomodir kepentingan elite saja. Namun juga harus memastikan substansi penyelenggaraan pemerintahan itu berjalan, bagaimana pelayanan publik menjadi lebih baik, bagaimana pembangunan berjalan.

“Ini memerlukan kesiapan sumber daya manusia dalam menjalankan proses itu,” ulasnya. Bahkan perlu secara khusus dilakukan penyiapan sumber daya manusia yang mampu untuk menyelenggarakan tata pemerintahan, pelayanan publik, meningkatkan proses demokratisasi, mendorong kohesivitas sosial, dan lain-lain. Kesiapan itu akan memuluskan proses pembangunan dan kemandirian di Papua.

“Sehingga kehadiran negara tidak menciptakan ketergantungan, tetapi menghasilkan keberdayaan,” kata Arie. Tanpa penyiapan SDM, maka kehadiran atau gelontoran dana hanya menghasilkan ketergantungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa produktivitas masyarakat pedalaman Papua menurun setelah hadirnya donasi-donasi dari negara.

***

Ade Yamin, menyebut ada dua cara melihat Papua: perspektif masa lalu dan realitas saat ini. Persoalan dari masa lalu itu, masih banyak warga Papua yang terus mempertanyakan persoalan integrasi Papua melalui peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Ini menghasilkan pergolakan bersenjata dan bahkan Papua sempat ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer. Kesemua proses itu telah menimbulkan banyak penderitaan yang panjang (memoria pasionis).

Proses politik yang belum selesai ini, kata Yamin, terus dipertanyaan dan bahkan diteruskan oleh generasi muda. Sisi lain, pemerintah sering mengulang kesalahan yang sama, penderitaan dan korban nyawa berulang. Papua hanya dipaksa pada dua pilihan: NKRI harga mati (otonomi khusus) atau Papua Merdeka (referendum). “Masyarakat hari ini dibelah oleh pemerintah antara orang asli dan orang pendatang. Tapi pemerintah tidak pernah mendengarkan apa kebutuhan mereka,” tuturnya. Akibatnya, banyak orang asli Papua merasa tidak menjadi bagian dari Indonesia.

Ade Yamin menawarkan dua langkah untuk solusi Papua. Pertama, semua kebijakan pemerintah harus berspektif keberpihakan yang demokratis, dengan memahami sejarah Papua secara menyeluruh. Perlu juga dilakukan pelibatan orang-orang Papua. Kedua, menjalankan langkah akomodasi, integrasi, dan aspirasi. Perlu diberi kesempatan yang luas bagi anak asli Papua untuk menempuh pendidikan di berbagai perguruan tinggi terbaik, dengan tidak distereotipe atau distigma negatif.

Menurutnya, ada tiga situasi saat ini dalam merespons isu Papua. Pertama, ada perbedaan perspektif dalam melihat dan menyelesaikan masalah Papua. Kedua, banyak pihak gagal memahami sejarah, kultur, dan struktur masyarakat Papua, yang berdampak pada ambiguitas. Ketiga, ada kemungkinan keengganan kita semua untuk menyelesaikan masalah Papua secara lebih bermartabat dan berperikemanusiaan atau memang dibiarkan sebagai wilayah konflik.

Chairil Anwar, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah berharap hasil diskusi ini dapat disumbangkan kepada Pemerintah Pusat untuk dipertimbangkan dalam proses pengambilan kebijakan. Sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dapat memberi solusi atas masalah-masalah Papua dan dapat memperkuat proses integrasi nasional.

Menurutnya, Muhammadiyah terpanggil untuk mencari solusi atas situasi di Papua, salah satunya karena Muhammadiyah di Papua diterima dengan sangat baik. “Kita memiliki empat perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat. Ada Universitas Muhammadiyah Papua, Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, dan STKIP Muhammadiyah Manokwari,” tukas Chairil.

Muhammad Ali, Rektor Universitas Muhammadiyah Sorong menyatakan bahwa webinar ini penting untuk mendengarkan apa sebenarnya yang diinginkan oleh masyarakat di Papua dan Papua Barat. Masukan-masukan dari diskusi ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah pusat dan pemerintah lokal dalam melakukan pembangunan di Papua, termasuk mengevaluasi kebijakan Otonomi Khusus yang telah berjalan. (ribas)

Baca juga: Sang Surya di Suku Warmon Kokoda Papua

Exit mobile version