Menyesal Keluar dari Pekerjaan

Assalamu’alaikum wr wb.

Ibu Emmy yth., saya gadis (24 tahun) lulusan dari salah satu universitas negri ternama di Indonesia. Saya berasal dari keluarga pas-pasan. Alhamdulillah sejak SD saya diberi kemudahan dalam hal studi. Saya berprestasi sejak SD hingga SMA dan diterima tanpa tes di PT Negri. Saya bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan indeks prestasi yang baik, sehingga sebelum wisuda, saya sudah diterima di perusahaan swasta ternama.

Setelah 1 tahun lebih bekerja, saya memutuskan untuk resign dari tempat saya bekerja. Saya ingin cari beasiswa untuk ambil S2. Alhamdulillah orang tua saya baik, tidak pernah menuntut saya berlebihan. Ibu juga setuju saya sekolah lagi. Selama 3 bulan saya mempersiapkan diri untuk mengikuti tes bahasa inggris, tapi belum berhasil. Saya mencoba tes bahasa inggris lagi sembari mencari pekerjaan lagi. Saya diterima bekerja di pemerintahan, gajinya tida seberapa dengan gaji di tempat bekerja sebelumnya. Hanya sebulan saya bekerja di tempat itu, dan memutuskan berhenti karena tidak sesuai dengan bidang kerjanya. Ibu juga mendukung, karena tidak tega melihat saya sering pulang terlalu malam dengan penghasilan yang tidak seberapa.

Atas masukan dari ibu, saya ikut tes lagi. Hingga sekarang sudah bulan ke 9 saya belum dapat pekerjaan. Saya bingung bu, sudah terlalu lama saya menganggur dan merasa membebani orang tua. Saya takut, ibu merasa malu dengan keadaan saya. Saya juga khawatir, keadaan saya akan memperburuk kondisi ibu yang sedang dalam masa penyembuhan. Saya jadi berpikir dulu saya selalu diberi kemudahan dan sekarang inilah saya menemui kesulitan. Salahkah bila saya berpikiran seperti itu, yaitu ketika saya mengikuti kata hati, dampaknya demikian besar? Jazakumullah atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Gadis, somewhere

Wa’alaikumsalam wr wb.

Gadis yang baik, saya menduga, sepertinya ibunda adalah tokoh sentral yang sangat mempengaruhi hidup Anda. Ibunda mempunyai peran yang besar dalam hidup Anda, sehingga Anda amat peduli, bahkan khawatir akan pendapatnya, reaksinya, dan penilaian ibunda atas kehidupan yang Anda jalani.  Ini terlihat saat pertama kalinya membuat keputusan cukup penting bagi hidup Anda, tanpa melibatkan beliau dengan segera meningkatkan kecemasan. Bahwa tanpa campur tangan ibunda pasti salah. Padahal telah kita ketahui bersama, apa pun yang terjadi pada diri kita lebih sering dimulai pada apa pun yang ada di benak kita. Biasanya, ketika pikiran atau ide itu timbul dan kita lalu mengingat-ingat itu, membayangkan bagaimana kalau itu terjadi, biasanya hal itu akan mewujud dalam kehidupan nyata  kita.

Pemikiran yang kita bangun atas dasar keinginan, harapan bahkan juga ketakutan bahwa itu akan jadi kenyataan sehingga harus dihindari, malah membuat kita menempuh jalur pemikiran dan tindak nyata yang menjauh dari pencapaian-pencapaian positif yang seharusnya bisa diraih. Bila di kota Anda ada psikolog, bisa dicoba untuk menggali dahulu penyebab kecemasan tinggi yang dialami saat ini. Kenyataan kedua yang terjadi pada Anda adalah minimnya pengalaman kegagalan. Sehingga menyebabkan Anda mempersepsi melesetnya perhitungan Anda terkait keputusan yang diambil keluar dari pekerjaan benar-benar berat, besar dan meruntuhkan banyak rasa percaya diri Anda.

Menurut saya, hanya Anda yang bisa mengubah cara pandang diri yang fatalistis seperti ini. Belajarlah meyakini bahwa kegagalan memang lekat dengan eksistensi kita sebagai manusia. Yang normal dan lazim adanya. Itu adalah mekanisme yang Allah ciptakan untuk membuat manusia mau berpikir ulang, menganalisa dan kemudian mengubah lagi aspek-aspek penting dalam hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang menuju ke peningkatan kualitas kepribadian kita. Dari pengalaman gagal, kita belajar bahwa setelah berusaha maksimal serahkan hasilnya pada Allah Yang Mahatahu yang terbaik untuk kita. Sukses dan gagal adalah bagian kehidupan yang harus dilalui.

Jangan kehilangan semangat dan keberanian untuk mencoba lagi, maupun mengambil keputusan untuk memilih alternatif-alternatif pengembangan diri yang tersedia. Termasuk mencoba bekerja lagi. Tentunya, putuskan dulu, mau sekolah atau bekerja. Baru susun rencana aksi untuk mewujudkannya. Tetaplah sayang pada ibunda sambil belajar menyapih diri dalam mengambil keputusan dalam hidup Anda. Dan berani mengambil resikonya. Semoga Allah selalu melindungi kita. Aamiin.

Sumber : Majalah SM Edisi 01 Tahun 2020

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya.

Exit mobile version