Meja Makan Kayu
Oleh : Bagus Kastolani
Aku mempunyai seorang ayah yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sudah hampir 6 bulan, ibuku telah mendahului ayah menghadap Illahi. Karena kondisi ayah yang lemah maka beliau pun aku boyong ke rumah kami. Di rumah kami ini, ayah tinggal bersama aku dan anak istriku. Begitu senang ayahku tinggal di rumah kami karena ia sangat kesepian sejak ditinggal oleh ibu yang biasanya merawat beliau. Sekarang tugas merawat beliau ada di tanganku sebagai putra semata wayangnya. Meski aku tahu tidak mungkin seorang anak dapat membayar semua kebaikan orang tuanya. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan ayahku.
Hari berganti hari, waktu berlalu. Ayah semakin sakit keras, hingga dokter memvonis beliau terkena stroke ringan. Beliau masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari namun untuk fungsi fisiknya ada beberapa hal yang tidak bisa ia lakukan dengan sempurna, seperti makan. Beliau bisa mengangkat tangannya untuk memegang makanan tetapi tidak sampai ke mulutnya karena fungsi motoriknya yang lemah. Suatu hari, sebagaimana kebiasaan kami untuk makan bersama di meja makan.
Ayah pun bergabung dengan kami untuk makan. Namun karena kondisi beliau yang lemah maka nasi banyak berceceran di lantai dekat meja makan kami. Tangannya sudah tak sanggup untuk mengangkat makanan hingga menuju ke mulutnya…. tangan sudah mulai bergemetaran… lemah. Beliau pun tak bersedia aku suapin, ingin makan sendiri dengan sisa kekuatannya. Akhirnya, semua makanan berantakan di meja makan dan banyak nasi atau lauk yang tercecer di lantai. Begitu terus… hingga aku yang membereskan dan menyapu semua makanan yang tercecer itu.
Tak kuat melihat kondisi rumah yang berantakan, isteriku protes kepadaku tentang kelakuan ayah yang mencecerkan semua makanan. Untuk mengakomodasi keinginan isteriku dan keadaan ayahku, akhirnya aku membuatkan meja makan sendiri untuk ayahku dari kayu-kayu di belakang rumah. Aku tempatkan meja makan ayahku di pojok ruang makan sehingga berantakannya ketika ayahku sedang makan dapat aku isolir. Setiap kami makan, ayah kami letakkan di pojok sendirian dengan meja makan kayunya. Begitu terus setiap harinya…. hingga 3 bulan kemudian ayah meninggal dunia karena stroke yang semakin berat.
Sepeninggalan ayah, pada suatu pagi, aku melihat anakku membersihkan meja makan kayu dan membungkusnya dengan kardus. Aku bertanya, untuk apa meja makan kayu itu disimpan? Bukankah kakek telah meninggal. “Ayah… aku simpan meja makan ini untuk ayah kelak kalau sudah tua dan tinggal di rumahku. Sama dengan kakek dulu, ayah juga akan kutempatkan di pojok ruang makan sendiri menikmati makanan ayah. Agar ayah tidak mengotori rumahku juga….” Jawaban anakku seperti menampar diriku sendiri. Tak terasa peluh air mata membasahi pipiku, teringat ketika aku masih kecil dulu belepotan nasi dan dibersihkan oleh ayahku. Rupanya apa yang kita lakukan akan kembali kepada kita.
Sumber : Majalah Edisi 13 tahun 2021