Setelah menjelaskan kebutuhan yang diperlukan untuk bangunan yang sedang digarap, Pur dengan gemetar menerima sejumlah uang dari Pak Sayuti. Oleh Pur, uang itu nantinya akan dibelanjakan beberapa sag semen, beserta keperluan lain yang sekiranya diperlukan. Seketika ingatannya langsung tertuju pada rumah. Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah, anaknya—Wegig—bilang bahwa besok adalah hari terakhir membayar buku sekolah. Nominalnya adalah lima puluh ribu rupiah. Sedangkan uangnya hari ini tinggal dua puluh ribu saja. Sementara istrinya punya utang di warung Bulik Inah yang juga harus dibayar besok sebesar dua puluh ribu rupiah—istrinya sudah berjanji dengan Bulik Inah akan membayar besok.
“Ya sudah kalau begitu, Pak. Saya mau pergi dulu, nanti kalau ada apa-apa bilang saja pada Pak Basri. Biar dia nanti menghubungi saya,” kata Pak Sayuti. Pak Basri adalah saudara Pak Sayuti. Kehidupan keduanya sangat berbeda jauh—maksudnya dalam hal perekonomian. Kehidupan Pak Basri bisa dibilang hanya pas-pasan. Sedangkan Pak Sayuti berkebalikan dari Pak Basri. Pak Sayuti memberikan sebidang tanah, dan membangunkan rumah untuk Pak Basri—selama ini Pak Basri hidup berpindah-pindah. Dan rumah itu, adalah yang sedang digarap oleh Pur—pembangunan rumah itu baru sampai pada tahap kerangkanya saja.
Pur merasa sudah tidak ada solusi lagi untuk masalah yang sedang menimpanya. Kali ini ia tidak ingin menyuruh istrinya berutang kepada tetangga. Ia ingin menjaga perasaan istrinya. Pur agak lega, Wegig tidak bercerita kepada istrinya soal bayaran buku sekolah yang harus dibayar besok. Jadi, istrinya tidak ikut memikirkan jalan keluar akan masalah ini.
Perlahan mulut Pur bergerak. Gerakan itu membentuk garis lengkung. Wajahnya memancarkan sinar bahagia. Kegelisahan yang menghuni hatinya karena masalah yang menguasainya hilang.
“Selagi tidak ada yang tahu akan nominal yang kuterima dari Pak Sayuti, keadaan akan aman-aman saja,” batinnya. “Dan toh, dari awal membangun rumah Pak Basri sampai sekarang, selalu aku yang disuruh membeli barang-barang yang dibutuhkan. Jadi jika aku menyuruh mereka, malah mencemari nama baikku. Aku akan dituduh tidak bertanggungjawab dan mereka akan melaporkan kepada Pak Sayuti, sebab mereka merasa tidak disuruh Pak Sayuti.”
Dalam membangun rumah yang diperuntukkan untuk Pak Basri, Pak Sayuti tentu tidak bekerja sendiri. Ia bersama dua orang lainnya. Salah satu dari mereka sama seperti Pur, sebagai tukang bangunan. Sedangkan satu yang lainnya hanya bertugas mengaduk semen, dan membantu dua orang itu jika mereka memerlukan bantuan—dalam istilah jawanya disebut laden tukang.
“Tapi bagaimana jika istriku nanti menanyakan asal-usulnya?” Selama ini padahal Pur getol menanamkan paham untuk tidak mengambil sesuatu milik orang lain tanpa izin atau seizin pemiliknya, sepahit apapun keadaan yang sedang menguasai.
Tiba-tiba saja Pur tersenyum. Rupanya ia telah menemukan solusi atas kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan istrinya.
“Aku akan mengatakan, bahwa aku sebenarnya mempunyai sedikit tabungan, yang digunakan untuk jaga-jaga jika ada keperluan mendesak.”
Maka dengan mantap, Pur mendekati sepeda motor bututnya. Sebelum ia pergi, ia berkata terlebih dulu kepada dua orang temannya bahwa ia akan ke toko besi membeli barang yang dibutuhkan untuk bangunan rumah. Di sepanjang perjalanan, raut muka Pur tampak serius.
Pur sama sekali tidak kepikiran mengenai dosa. Keinginannya untuk mengambil sebagian uang dari uang yang diberi oleh Pak Sayuti untuk membeli keperluan yang dibutuhkan sudah tidak lagi dapat dibendung. Ia pisahkan selembar uang lima puluh ribu, dari lembaran-lembaran lima puluh ribu lainnya. Dengan begitu, harus ada barang yang tidak dibeli atau tetap beli hanya saja dikurangi.
Pur sama sekali tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Hati nuraninya menggelap. Ia tidak berpikir, bahwa apa yang telah dilakukan membuat rumah yang berdiri nantinya tidak akan sempurna. Misalnya, ia mengurangi semen yang dibeli, tentu tembok akan mudah ditembus oleh sebuah paku. Artinya tembok itu tidak keras sebagaimana mestinya.
Saat sore tiba, Pur pulang dengan penuh semangat. Rasa-rasanya saat pulang dari bergelut dengan alat-alat bangunan, ia tidak pernah sesemangat kali ini. Sesampainya di rumah, orang yang pertama kali menyambut kepulangannya justru anaknya.
“Di mana ibumu?” tanya Pur. Salah satu tangannya masuk ke dalam saku, tempat di mana lima puluh ribu rupiah terdiam nyaman.
“Ibu tadi keluar, tapi tidak tahu ke mana, Pak.”
“Kebetulan sekali,” ucap Pur dalam hati.
Pur mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya. Pur sengaja meletakkan upahnya dengan uang lima puluh ribu itu di saku yang berbeda—sistem upah bekerja Pur ialah harian, yaitu sebesar tujuh puluh ribu per hari—agar bisa langsung diberikan kepada anaknya tanpa harus memisahkan terlebih dulu dengan uang lain.
“Ini uang untuk membeli buku,” ujar Pur, sembari mengulurkan uang yang digenggamnya. Wegig girang. Ia meloncat-loncat riang.“Tapi kamu harus menuruti kata-kata bapak, jangan bilang-bilang ke ibumu kalau kamu diberi uang lima puluh untuk membeli buku. Biar bapak sendiri nanti yang menjelaskan.”
Sebagai seorang anak yang baru menginjak usia dua belas tahun, ia hanya menurut saja, tanpa timbul penasaran kenapa ibunya tidak boleh tahu perihal uang yang diberikan padanya. Permasalahan pun telah teratasi. Pur tersenyum. Ia akan dengan nyenyak menikmati mimpi, tanpa diusik oleh laporan anaknya tentang nominal untuk membayar buku sekolah.
Namun yang terjadi, tidak seperti yang dibayangkan oleh Pur. Ketika malam tiba, setelah melihat tayangan tentang pejabat yang tertangkap dikarenakan telah terbukti korupsi, hati Pur tidak tenang. Ada batu penyesalan yang mengganjal hatinya. Matanya tidak dapat terpejam hingga pukul dua dini hari.
“Bagaimana jika Tuhan menjadikan anakku seorang koruptor karena caraku yang tidak benar dalam mencerdaskannya?”
Ia membayangkan, berpuluh tahun kemudian anaknya telah menjadi orang sukses, dan berhasil mengubah kehidupannya—di lubuk hati yang paling dalam Pur menginginkan akan hal ini. Hanya saja, bayangan itu tidak sebatas kesuksesan. Ia membayangkan anaknya menjadi seorang koruptor. Tentu bila itu benar terjadi, ia akan malu, semalu-malunya.
Pur kembali teringat uang lima puluh ribu yang diberikan kepada Wegig. Dengan uang lima puluh ribu, buku sekolah bisa terbeli. Dengan buku itu anaknya menjadi pintar. Dengan pintar peluang anaknya menjadi sukses membesar.
“Bagaimana jika Tuhan menjadikan anakku seorang koruptor karena caraku yang tidak benar dalam mencerdaskannya?”
Pur teringat dengan kata-kata seorang ustaz di sebuah pengajian di masjid kampungnya. “Sesuatu yang didapat dengan cara yang dibenci Tuhan, tidak akan barokah.”
Keesokan harinya, Pur menemui anaknya. Setelah lama gelisah, ia memutuskan untuk meminta uang lima puluh ribu itu. Uang itu rencananya akan ia belanjakan barang untuk keperluan bangunan rumah yang seharusnya dibeli. Pur tidak mau dikekang oleh ketidak-barokahan. Namun melihat wajah yang mengenakan seragam merah putih dan ceria membuatnya tidak tega bila harus meminta uang itu.
Kala anaknya berjalan menjauh dari rumah, Pur tiba-tiba teringat dengan mimpinya, setelah berjam-jam ia tidak bisa tidur—Pur baru bisa memejamkan penglihatannya sekitar pukul tiga. Di mimpinya itu, anaknya digambarkan sebagai seorang koruptor!
Jejak Imaji, 7-20 Desember 2019
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.