YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) pada tahun 2000-an sejatinya masih bernama Lembaga Buruh Tani dan Nelayan, yang telah melakukan usaha-usaha pemberdayaan pada dua sektor tersebut. Bahkan ikut terjun ke masyarakat secara langsung untuk mengatasi problem dan sekaligus memberikan solusi. Bukan hanya pada petani dan nelayan, namun juga pada kelompok-kelompok rentan, marginal dan tertinggal.
Oleh karena itu, bertepatan dengan Hari Tani yang diperingati setiap tanggal 24 September itu Majelis Pemberdayaan Mayarakat PP Muhammadiyah menyelenggarakan dialog bersama dengan Jamaah Tani Muhammadiyah, pada Jumat (24/09) secara virtual dengan tema “Nasib Petani: Jalan Panjang Kedaulatan Pangan”.
Melalui acara ini membuktikan bahwa Muhammadiyah tidak hanya berbicara mengenai gagasan besar, tetapi juga bertindak dan berbuat untuk melakukan usaha-usaha advokasi serta pemberdayaan kepada masyarakat petani. Berpegang pada semangat Al-Ma’un untuk memberdayakan para petani kecil yang tergolong dalam dhuafa dan mustadhafin, baik karna kultur mau pun faktor alam.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam sambutannya mengatakan bahwa selama 15 tahun sejak namanya berubah, MPM telah mendampingi petani melalui pengorganisasian, advokasi, hingga melakukan usaha-usaha langsung dari hulu ke hilir dalam upaya menyejahterakan hidup petani. Salah satu produk yang telah dihasilkan adalah “jatam” yang dirintiis di berbagai daerah dan terus di lakukan secara luas dan secara masif. Akan tetapi, memang tidak cukup memadai karena dalam skala yang lebih besar dunia pertanian harus terintergrasi dengan proses perubahan, bukan hanya perubahan dalam aspek kebijakan tetapi juga perkembangan dunia yang memang tidak sederhana. Dalam konteks global dan makro, perubahan-perubahan yang bersifat progesif selalu berpola sama, hampir setiap negara pilihan bertumpu pada industri yang kemudian bergerak pada jasa dan pengunaan teknologi komunikasi.
Dalam proses adaptasinya negara-negara maju telah bergerak sejak lama, yang semula pertanian menggunakan sistem model model lama beralih menjadi pertanian modern yang memanfaatkan teknologi industri.
“Dalam skala global, pertanian model lama selalu ditempatkan sebagai satu fase masa lampau yang harus ditinggalkan menuju kepada fase pertanian yang baru. Pandangan semacam ini dapat menciptakan alam pikiran bahwa dunia pertanian masa lampau mulai tidak diminati orang. Oleh karenanya fakultas-fakultas Pertanian itu di beberapa perguruan tinggi termasuk di Muhammadiyah terus berbenah mengikuti perkembangan zaman. Ini menjadi fenomena alamiah agar fakultas pertanian menjadi diminati,” jelas Haedar.
Kebijakan di bidang pertanian hanya bagian komplementer saja artinya tidak ada kebijakan-kebijakan afirmatif yang radikal untuk menjadikan pertanian sebagai soko guru dari pembangunan Indonesia masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Kepentingan rakyat di bidang pertanian masih dihambat oleh kepentingan para pemodal besar sehingga kita masih kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain. (izn/diko)