Keluasaan Fiqh Dalam Menangani Permasalahan Umat

Keluasaan Fiqh Dalam Menangani Permasalahan Umat

PERLIS, Suara Muhammadiyah-Diskusi Peradaban Umat Serumpun Siri 1 mengusung tema “Keluasaan Fiqh Dalam Menangani Permasalahan Umat” dengan menghadirkan Mufti Perlis Malaysia, Dato’ Arif Perkasa Prof Madya Dr Mohd Asri bin Zainul Abidin dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir yang didampingi Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar MA (27/9/2021).

Haedar Nashir menekankan pentingnya memperluas fikih dalam rangka untuk memecahkan masalah-masalah umat kontemporer yang sangat kompleks. “Dalam fenomena fikih yang menyempit, kita perlu meluaskannya kembali,” katanya. Fikih perlu dilihat dalam bangunan utuh risalah Islam yang rahmatan lil alamin untuk mewujudkan kebaikan.

Allah menurunkan risalah Islam ditandai dengan turunnya ayat pertama kepada Nabi Muhammad, berisi perintah iqra (Qs. Al-Alaq: 1-5). Tuhan memberi manusia hati dan akal pikiran. “Manusia diberi tugas sebagai abdullah (mengabdi kepada Allah) dan sekaligus sebagai khalifahtullah fil ardh (memakmurkan bumi),” ulas Haedar. Keseluruhan tujuan hidup manusia adalah meraih keridhaan Allah.

Sisi lain, kata Haedar, risalah Islam yang dibawa Nabi itu juga untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam konteks global, Islam diturunkan untuk menjadi pembangun peradaban dan tidak membuat kerusakan di bumi. Islam turun sebagai agama yang bergumul dengan berbagai permasalahan manusia. Islam diharapkan menjadi agama yang membumi, meskipun muasalnya dari langit.

“Muhammadiyah dalam mengkonstruksi risalah Islam yang dibawa para Nabi itu sebagai din al-hadlarah, agama yang membangun peradaban dalam semua bidang kehidupan,” katanya. Setelah Nabi, perjuangan membawa Islam menjadi agama peradaban diteruskan oleh para khalifah. Dengan merujuk pada peran manusia dan umat Islam yang disebut Al-Qur’an, Muhammadiyah berupaya menjalankan peran sebagai saksi sejarah (syuhada alannas).

Dalam membangun peradaban semesta, ungkap Haedar, fikih yang relevan harus didasarkan pada prinsip yang sangat luas. Haedar menyebut ada banyak tokoh yang telah berupaya melakukan pembaruan pemikiran hukum Islam untuk menjadikan fikih Islam relevan. Misalnya dilakukan oleh Jamal Al-Banna dalam karyanya, Nahwa Fiqhin Jadid.

Haedar Nashir merinci beberapa permasalahan kontemporer yang membutuhkan perhatian para fuqaha dan pengaki fikih. Pertama, perpecahan dan konflik di kalangan internal umat Islam. Pertikaian antar mazhab masih terus terjadi dan membutuhkan cara pandang baru untuk mendamaikannya.

Kedua, ketertinggalan dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Kondisi umat Islam masih dalam situasi tangan di bawah, menjadi santapan kekuatan lain karena kita lemah. Ketiga, permasalahan multikulturalisme komtemporer yang dicirikan dengan demokrasi, pluralisme, HAM, bercorak liberal-sekular ala Barat yang masuk ke negeri-negeri muslim. Keempat, globalisasi dan teknologi media telah mengubah cara hidup manusia, termasuk dalam menjalankan agama.

Haedar Nashir menawarkan dua solusi. Pertama, memperbarui pemahaman Al-Qur’an dan Hadis dengan pemahaman yang menyeluruh, misalnya dengan mempertimbangkan pendekatan yang ditawarkan Abid Al-Jabiri: bayani, burhani, irfani. Kedua, mengembalikan fikih dan ushul fikih ke posisi aslinya sebagai metode mewujudkan ajaran Islam yang multi aspek dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, diperlukan tajdid untuk menjadikan Islam shalih likulli zaman wa makan.

***

Dato’ Arif Perkasa Prof. Madya Dr. Mohd Asri Zainul Abidin menyebut bahwa fikih merupakan bahagian penting dalam agama Islam. Fikih itu dipahami dengan akal Islami. Fikih merupakan ilmu tentang hukum praktikal syarak yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili. Oleh karena itu, kemajuan zaman tidak berarti harus meninggalkan fikih. Menurutnya, umat Islam mempunyai khazanah fikih yang begitu kaya. Tidak terbatas pada empat mazhab fikih populer.

Mufti Perlis menekankan bahwa yang terlibat dalam persoalan ini harus orang yang punya keahlian. “Dalam rangka meluaskan fikih, memang diperlukan tajdid, tetapi siapa yang akan melakukan tajdid, siapa yang mengendalikan dan tangan siapa yang dapat membuat tajdid,” kata Dato’ Maza. Jika yang melakukan tajdid bukan ahlinya, maka akan menimbulkan kerusakan dalam agama.

***

Prof Dr Syamsul Anwar MA menyebut tentang perlunya mengadopsi pendekatan pemeringkatan jenjang norma dalam memecahkan persoalan umat kontemporer, supaya tidak terjebak pada fikih halal-haram.  Pertingkatan norma dalam hukum Islam dirumuskan menjadi: nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah), dan peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyah).

Syamsul Anwar mengatakan bahwa dalam konteks kekinian, perluasan fikih dapat dilakukan dengan menerapkan ijtihad kolektif. Persyaratan untuk menjadi mujtahid yang memiliki semua kompetensi untuk melakukan ijtihad itu sangat berat, maka dalam Muhammadiyah ijtihad dilakukan dengan ijtihad jama’i. Di dalamnya menghimpun para ahli di bidangnya masing-masing untuk saling memberi pandangan.

Dalam menyusun fatwa dan berbagai keputusan, Majelis Tarjih dan Tajdid telah terbiasa menerapkan praktik tajdid kolektif. “Kalau ada suatu persoalan, kita pelajari secara bersama apa persoalan itu, salah satu orang ahli menyusun jawabannya, lalu hasilnya dipelajari lagi bersama untuk diperbaiki dan diberi masukan oleh ahli lainnya,” tukas Syamsul Anwar. (ribas)

Exit mobile version