PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) mengadakan Talk Show dengan mengusung tema “Kaum Muda dan Masa Depan Indonesia: Belajar dari Pemberontakan G30S PKI” di selenggarakan secra virtul pada Kamis (30/9/21).
Pada kegiatan tersebut BEM UMP menghadirkan dua narasumber yakni Deni Asy’ari, Tokoh Muda Muhammadiyah dan Elly Hasan Sadeli, Akdemisi UMP.
Deni Asy’ari, Direktur Suara Muhammadiyah menceritakan bagaimana awal mula datangnya paham komunis dan fase-fase pemberontakan yang dilakukan oleh PKI “Sejarah PKI. Sejarah pemberontakan tidak hanya terjadi pada tahun 1965 akan tetapi sejarah pemberontakan ini sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1926 di berbagai daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatra.
“Belajar sejarah merupakan aspek yang penting apalagi dalam kalangan akademisi, karena hampir semua momentum pemberontakan itu selalu dilakukan dengan cara-cara pertumpahan darah, pembunuhan yang sadis terhadap para ulama, santri, dan para pimpinan ormas,” tutur Deni Asy’ari
Walaupun tidak nampak wujudnya, paham komunis itu tidak akan menghilang. “Secara ideologi, secara paham komunisme itu tidak akan hilang atau mati. Satu hal bahwa komunis itu anti Tuhan, sesuai dengan fatwa forum ulama,” tandas Deni Asy’ari
Elly Hasan Sadeli memaparkan materi perihal pancasila sebagai benteng melawan komunis, menurutnya Pancasila ini tidak hanya simbolis. Ia menjelaskan mengenai konsep dasar dari komunis dan tantangan idelogi pancasila di masa sekarang.
Ia mengamini apa yang sudah disampaikan oleh pemateri pertama bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Idonesia memililiki fase-fase dalam melangsungkan pergerakannya. Dan menurutnya paham komunis tidak cocok berada di Indonesia yang berlandaskan asas ketuhan, ini bertolak belakang dengan ideologi komunis termasuk dalam hal berpolitik.
Jebul Suroso, Rektor UMP pada sambutanya menegaskan bahwa sebagai manusia yang beradap, kejahatan terhadap manusia, terhadap sesama insan, terhadap sesama makhluk itu merupakan sesuatu yang tidak termaafkan apalagi dengan pembunuhn terhadap manusia, adanya pengekangan dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh partai komunis. “Bagaimana mungkin bangsa ini bisa bersahabat dengan sekelompok umat yang di dalamnya tidak mengakui keberadaan tuhan dan negara ini perlu dibangun diatas sendi-sendi kemanusiaan,” tambahnya
Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Jebul menjelaskan bahwa kita tidak akan terlalu lama bernostalgia dengan sejarah, akan tetapi yang perlu di ingat bahwa sejarah harus menjadi pembelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Momentum refleksi dari peristiwa ini diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif, kesatuan kognitif sehingga mahasiswa semakin sadar, samakin kuat dan kedepanya bisa membangun bangsa ini.
Ilyas Rosyid Firdaus selaku Presiden Mahasiswa BEM UMP berkaca dari sejarah mengenai para pemuda masjid, para santri di pondok yang megalami pembantaian secara besar-besaran yang dilakukan oleh PKI, dalam sambutan mengatakan “Ketika petunjuk itu dari Allah adalah petunjuk perlawanan, oleh karenanya Partai Komunis Indonesia (PKI) gentar sehingga mereka mengincar pemuda-pemuda yang dekat dengan masjid dan pondok, oleh karenanya kita sebagai pemuda jangan sampai jauh dari masjid sehinga rohani membawa kita pada petunjuk-petunjuk kebenaran,” ujarnya. (gufron/diko)