Desas-desus hilangnya anak semata wayang Karaeng Labolong sudah bukan lagi rahasia. Seorang pesuruh tidak sengaja membocorkan informasi terkait Makkawaru yang meninggalkan rumah. Tidak kurang dari empat puluh harmal Makkawaru bertolak dengan sebuah sampan menuju entah. Karaeng nampak sudah tidak bisa lagi bertenang hati. Bukan apa, sudah tua diri, begitu setiap hari ia memandang laut jauh berharap sekelebat kecil sampan anaknya berlabuh.
Tidak juga menepi si anak hilang. Beberapa nelayan mengabarkan sampan itu bertolak jauh ke selatan. Menantang gelombang pasang menuju sebuah pulau hitam, kecil, dan barangkali juga tak bertuan. Nelayan lain mengabarkan cerita sama, tapi ia bersaksi bahwasanya pulau itu bukanlah pulau mati, pulau hitam itu hidup belaka. Beberapa nelayannya nampak membangun rumah-rumah laut di pesisir jernih.
Di kedalaman pulau orang-orang mendirikan rumah pada tanahnya yang kering kerontang. Di hutan-hutan hijau pohonan selebar dua lengan lelaki dewasa menjunjung langit menahan runtuh bintang-bintang. Pohonan itu sudah jadi rumah bagi ribuan hantu yang menyembunyikan Makkawaru. Sorang nelayan menambahkan.
Tapi cerita-cerita nelayan cuma tinggal jadi angin lalu. Bisa benar, bisa juga jadi salah. Tahulah nelayan tidak bisa dipercaya. Berpuluh malam yang mereka dengar cuma bunyi gelombang, berpuluh hari mereka mengambang melihat luas biru lautan dan rembang langit malam, ratusan rasa yang dikecap cuma asin saja. Karaeng Labolong mafhum dan semakin mencemaskan kepergian anak yang sebentar nanti akan mewarisi garis hidupnya.
“Bertolaklah kau ke itu pulau hitam. Cari anakku, kabarkan semua ada pada pulau itu juga dan cepat kau kembali menepi. Sudah tua diri”.
***
Di bawah pohon paling lebat-rimbun sorang lelaki dewasa dengan setelan hitam nampak dikerumuni anak kecil telanjang, sebagian anak-anak itu menggunakan kain menutupi bagian paling rahasia pada tubuhnya, dan beberapa sisanya benar-benar tanpa busana. Lelaki itu baru beberapa waktu tiba di tengah-tengah mereka setelah seorang penduduk pulau menemukan tubuhnya tertambat di akar bakau.
Tubuhnya tergeletak tanpa daya di pesisir setelah beberapa hari diamuk ombak dilamun angin, sepelemparan batu dari tubuhnya nampak sebuah sampan yang begitu buruk rupa. Barangkali sampan itu sudah habis dikoyak angin paling ganas dan diseret arus paling jahat. Lelaki itu mudah saja diterima penduduk pulau. Wajahnya tampan, gerak-lakunya sopan beradab, ia sungguh pandai membalas kebaikan penduduk pulau yang sudah menyelamatkan hidupnya dari akar bakau sialan itu.
Ia pandai bertanam, tanah pulau yang kering kerontang dibuatnya jadi subur dan mengenyangkan, warga pulau belum lagi mengenal irigasi pertanian, semua ia kerjakan semata-mata untuk memudahkan penduduk berkegiatan. Belum lagi kepandaiannya membuat perahu, ia memilih batang-batang kayu liat biar tak bergeming perahu jika dihantam gelombang kuat ketika datang angin barat.
Di hadapan anak-anak ia begitu pandai mendongeng dan menyanyi, ia berkisah tentang sebuah negeri antah-berantah, negeri yang sontak jadi negeri idaman bagi anak-anak pulau yang belum lagi sadar begitu luas dunia. Sangkil namaku, aku berlayar dari Gowa dengan sampanku sendiri. Begitu ia memperkenalkan diri di muka para tetua dan anak-anak pulau tempat ia tak sengaja menepi.
Pulau itu sungguh benar hitam dengan rimbun pohonan. Tanahnya kering, sebagian pesisirnya dirambati batu-batu tajam. Tanahnya berbukit panjang. Hutan-hutannya dihuni ribuan rusa, ayam hutan, dan burung-burung kecil berwarna cerah. Pada jantung hutan itu pula hantu-hantu membangun rumah. Batang-batang kelapa panjang meliuk setiap kali angin bertiup kencang. Pasir pantainya seputih gadis-gadis Bugis, lautnya jernih seperti mata bayi yang merindukan susu ibunya.
***
Genap satu minggu Sangkil menetap di itu pulau hitam, seorang lelaki dari Gowa cukup saja membuat pulau itu sedikit bergairah. Sebelum tiba, seorang nelayan yang baru saja menepi dengan seikat ikan tergopoh berlarian ke tengah kampung membawa kabar tentang lima kapal besar yang hendak mendekat ke pulau, kapal itu lebih besar dari rumah-rumah kita, nelayan itu menambahkan.
Pada tiangnya yang banyak nampak layar-layar putih menantang angin. Di haluannya sebilah kayu panjang dan tajam menusuk ke depan. Barangkali, tidak kurang dari dua hari, kapal-kapal itu akan menepi. Sangkil tahu belaka, kapal-kapal itu memang benar utusan Karaeng Labolong untuk mencari dirinya. Tapi ia benar sudah tidak akan kembali pulang ke rumah.
Diajaknya penduduk berkumpul bersama para tetua. Paling tidak, dalam tiga hari ke depan pulau yang semula hitam, akan segera jadi merah oleh darah-darah manusia. Pulau yang hari-harinya diselimuti angin barat dan ceracau burung hutan mendadak dalam kungkungan ketakutan, ibu-ibu berharap cemas, anak kecil menangis di ketiak ibunya, dan para lelaki bersiap dengan parang terasah. Dalam sebentar hari, Kangean, pulau hitam berdinding lautan akan menentukan nenek moyangnya dengan sebilah parang.
*Syauqi Khaikal Zulkarnain, Ketua Umum PK IMM FSBK UAD