YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah kembali dengan program Pengajian Tarjih Muhammadiyah pada episode 145 dengan tema “Kapita Selekta Putusan dan Fatwa Tarjih: Selawat Nabi Muhammad dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah” dengan narasumber Dr. H. Homaidi Hamid, M.Ag. selaku Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sekaligus Kaprodi Ekonomi Syariah UMY, secara virtual, Rabu (20/10/2021).
Dengan diawali surah al-Ahzab ayat 56 Allah SWT berfirman yang artinya Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.
Ia menyampaikan bahwa ayat tersebut memiliki tiga makna, yakni selawat dari Allah bermakna memberikan rahmat dan barokah, selawat dari malaikat bermakna doa dan pengagungan dalam konteks ini Rasulullah, dan selawt yang diucapkan oleh manusia bermakna doa dan istighfar.
Dalam pandangan Muhammadiyah selawat kepada para Nabi khususnya Nabi Muhammad, dan selawat dari Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beriman dijelaskan juga pada surah al-Ahzab ayat 41 dan 43. Anjuran berselawat juga dalam beberapa hadist Nabi Muhammad. “Karena anjuran berselawat terdapat pada Al-Quran dan hadis Nabi, sebagai ormas Islam yang memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah maka Muhammadiyah tidak mungkin menolak selawat,” jelasnya.
Sedangkan untuk hukum membaca selawat menurut putusan Tarjih Muhammadiyah dibedakan menjadi dua, yakni wajib ketika sedang salat, dan diluar salat itu sunnah. Ia menjelaskan bacaan selawat dalam salat, menurut perspektif Muhammadiyah yaitu setelah ‘tasyahud’ dan memilih bacaan sholawat sesuai dengan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Karena selawat yang diajarkan bermacam-macam “Dalam hal ini Muhammadiyah memegang prinsip variasi dalam urusan beribadah, jadi macam-macam ibadah, atau macam-macam bacaan ibadah selamat itu dituntunkan oleh Rasulullah dan dalam hadis yang kualitasnya sahih atau hasan maka selawat itu boleh dibacanya,” kata Hamid.
Selain itu Ia menyampaikan catatan dalam urusan membaca selawat dalam salat yaitu tidak ada penambahan kata “sayyidina”, sesuai dengan putusan Tarjih Muhammadiyah, alasan tidak diperbolehkan adanya penambahan kata tersebut karena tidak ditemukan bacaan selawat dengan penambahan nabi “sayyidina” dalam hadis yang sahih.
Dan lafal bacaan salawat di luar salat dalam putusan Tarjih Muhammadiyah yang baik dibaca yakni sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat sebagaimana pada hadist-hadist. “Jadi kalau di luar shalat tetap yang utama adalah salawat yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, karena salawat itu kan doa, dan doa yang lebih utama yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah,” tutur Hamid.
“Muhammadiyah itu tidak anti terhadap selawat di luar yang dicontohkan oleh Rasulullah selama isinya tidak berlebihan dalam memperlakukan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, “tambahnya. (guf)