Apa Kabar Dakwah Kultural

Judul               : Dakwah Kultural Muhammadiyah

Penyusun         : Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Cetakan           : II, 2016

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

ISBN               : 979-98156-5-7

 

Sampai saat ini, Muhammadiyah tidak pernah kekurangan konsep atau gagasan yang terumuskan dalam dokumen organisasi. Tetapi, pembumian konsep terkadang berjalan tidak secepat proses penyusunannya di tingkat pimpinan pusat. Sebagai organisasi besar, mungkin ketidaksesuaian antara normativitas nilai dalam dokumen organisasi dengan situasi di lapangan dianggap wajar. Bukankah semua organisasi besar juga mengalami hal yang sama?

Meskipun begitu, sosialisasi gagasan organisasi tidak boleh berhenti guna mengembalikan Muhammadiyah ke kondisi “murni” yang sesuai dokumen resmi. Sebagai kalangan modernis, Muhammadiyah menyadari pentingnya kemurnian dan cita-cita untuk kembali kepada yang asli. Ketika Islam “diselewengkan” dengan Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, penganut “Islam murni” biasanya segera bereaksi untuk melakukan purifikasi atau mengembalikannya ke asal.

Dengan karakternya yang seperti itu, beberapa kalangan menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi yang antibudaya. Kritik pada sikap Muhammadiyah ini bahkan muncul dari kalangan internal. Guna menjawab kritik yang menyatakan bahwa karakter Islam murni telah menyebabkan pemiskinan budaya, Muhammadiyah salah satunya menyusun konsep dakwah kultural.

“Dakwah kultural lebih dimaksudkan untuk menjawab tantangan zaman, dengan seluruh wewenangnya untuk memberikan apresiasi terhadap budaya yang berkembang, serta menerima dan menciptakan budaya yang baru dan lebih baik sesuai dengan pesan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” (hlm 18). Konsep dakwah kultural dimaksudkan untuk mengubah strategi dakwah menjadi lebih dinamis dan relevan di setiap ruang dan waktu.

Dakwah kultural merupakan kelanjutan dari mata rantai program gerakan jamaah dan dakwah jamaah, keluarga sakinah, dan qaryah thayyibah yang digulirkan sejak muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang (1971) hingga muktamar ke-41 di Surakarta (1985).

Ciri dakwah kultural adalah: dinamis, kreatif, dan inovatif. Karakter dakwah seperti ini telah dipraktekkan oleh Nabi dalam membawa risalah Islam. Dakwah yang dilakukan Nabi di Mekkah dan Madinah selama 23 tahun dilakukan dengan memperhatikan dimensi kerisalahan, dimensi kerahmatan, dan dimensi kesejarahan. Hasilnya, orang menaruh simpati.

Belakangan, kontestasi sering terjadi di ranah budaya populer. Budaya dalam makna luas merupakan segala hal yang diproduksi oleh manusia dalam bentuk gagasan, gerakan, dan benda. Budaya terbagi menjadi: (1) budaya permukaan (surface culture) seperti makanan, gaya hidup, upacara, bahasa, pakaian; dan (2) budaya tidak terlihat (deep culture) seperti nilai-nilai, sikap, emosi, ideologi.

Muhammadiyah memahami dakwah dalam pengetian yang cukup luas dan luwes, berupa segenap aktivitas yang menunjang kemaslahatan bersama demi kebaikan semesta. Aktivitas pendidikan, kesehatan, ekonomi, layanan sosial yang menjadi bidang garapan Muhammadiyah dipahami sebagai aktivitas dakwah (hlm 2-4). Muhammadiyah memahami bahwa beragama Islam tidak berarti harus bersikap anti-kesenian dan anti-kebudayaan. Jika beragama Islam merupakan fitrah manusia, maka berkesenian pun adalah naluri manusia. Keduanya dapat berjalan beriringan (hlm 55).  (Muhammad Ridha Basri)

 

Exit mobile version