JAKARTA, Suara Muhammadiyah. “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional; Mulai dari Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban” pada Jum’at (22/10) telah memasuki pekan ke-9. Gerakan ini dimotori oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB AD Jakarta dengan berbagai mitranya.
Tajuk yang diangkat pada edisi ke-9 ini adalah “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak; Perspektif Ulama Muhammadiyah-‘Aisyiyah”. Acara ini terselenggara berkat kerja sama PSIPP ITBAD Jakarta dengan LazisMu dan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB). Adapun yang menjadi narasumber, yakni Sudarnoto Abdul Hakim (Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI), Siti Syamsiyatun (LPP PP ‘Aisyiyah), Ahsan J. Hamidi (Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pisangan Legoso), dan Rohimi Zamzam (Sekretari PP ‘Aisyiyah) serta Brilliant Dwi (JIB) sebagai moderator.
Dalam pengamatan Ketua PSIPP ITBAD Jakarta yang juga penulis buku “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”, Yulianti Muthmainnah isu zakat bagi korban menjadi penting dikarenakan selain potensi zakat Indonesia yang sangat banyak, juga karena korban kekerasan belum menjadi prioritas sebagai kelompok yang berhak menerima zakat. Di samping itu, ia juga menyoroti adanya kekosongan pandangan dari para ulama atau lazim dikenal dengan fatwa yang berkaitan dengan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempaun dan anak, lebih-lebih di masa pandemi.
“Jadi, organisasi-organisasi yang punya otoritas mengeluarkan fatwa ternyata tidak memberikan fatwa untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di masa pandemi,” beber Yuli saat memberikan sambutannya.
Dalam paparannya, Siti Syamsiyatun mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan oleh penulis buku beserta agenda-agenda PSIPP lainnya. Menurutnya, upaya tersebut bukan hanya ijtihad belaka, tetapi juga—meminjam istilah seorang pemikir wanita Muslim tersohor, Amina Wadud—“gender jihad”.
“Jadi, ini sekaligus ijtihad untuk isu gender, tetapi juga ‘gender jihad’ yang mana jihad ini kita maknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu yang bermakna. Karena penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak ini adalah hal yang sangat memprihatinkan, maka upaya dari berbagai sudut itu dapat kita sebut sebagai ‘gender jihad’,” terangnya.
“Saya sangat senang dengan upaya mbak Yuli, dkk untuk melakukan ijtihad ulang terhadap asnaf itu. Bagaimana kita memaknai riqab, bagaimana memaknai fakir, miskin pada era sekarang ini,” tambahnya.
Tak berhenti sampai di situ, Siti Syamsiyatun lantas menyoroti kasus-kasus pemerkosaan yang bahkan pelakunya adalah orang-orang terdekat (keluarga) dan juga soal nasehat-nasehat perkawinan yang dalam kesaksiannya masih patriarkis.
“Banyak ulama-ulama ketika memberikan nasehat perkawinan, nasehatnya itu sangat patriarkis dan undercentris. Jadi, berpusat pada pelayanan atas laki-laki. Jadi, kok nasehatnya itu berpusat untuk kenikmatan laki-laki dan tidak memikirkan kenikmatan perempuan dan kesulitan perempuan,” kritiknya.
Adapun masukan yang disampaikan oleh Siti, yakni mencari solusi bagi permasalahan yang berada di hulu secara kolektif. “Selain solusi hilir dengan membantu para korban saat ini, untuk membuat keadaan lebih baik kita perlu membongkar mindset tentang seksualitas ini, mindset tentang perkawinan, dan seterusnya.”
Sementara itu, Sudarnoto Abdul Hakim secara apresiatif menyampaikan buah pemikiran yang dituangkan Yuli dalam bukunya sangat inspiratif dan provoking. Ia juga mendorong agar sang penulis tetap konsisten pada isu perempuan yang memang jarang digeluti oleh berbagai kalangan.
Menurut Sudarnoto, kelahiran buku ini didorong oleh kemarahan intelektual-moral penulis akan minimnya perhatian serta kajian terhadap korban kekerasan terutama bagi perempuan dan anak. Di samping itu, Sudarnoto menyarankan agar proposal sebagaimana yang tertuang dalam buku tersebut diajukan kepada MUI, Muhammadiyah, NU, dan pemerintah untuk dibahas agar dtindaklanjuti serta tidak berhenti pada tataran wacana belaka.
Dengan tegas ia menyatakan, “Jangan sampai negara itu tutup telinga, tutup hati, tutup mata terhadap persoalan perempuan dan anak-anak yang sudah sedemikian rupa diperlakukan secara tidak sepatutnya. Menurut saya ini violence, ini kejahatan!”.
Pesan-pesan optimisme lainnya juga diutarakan oleh Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pisangan Legoso, Ahsan J. Hamidi. Hati saya, ujar Ahsan, tercabik-cabik membaca buku ini karena data dan fakta soal kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah sedemikian rupa, sementara itu kita tidak bisa berbuat apa-apa.
“Perbuatan kekerasan dalam rumah tangga itu adalah sesuatu yang nista, sesuatu yang menyebabkan perempuan ada dalam kelompok mustadh’afin ‘orang-orang yang lemah dan dilemahkan’. Ini harus terus digelorakan. Semangat untuk memberikan argumen yang baik bahwa perbuatan KDRT yang dilakukan oleh siapa pun, itu adalah perbuatan yang pengecut, perbuatan nista yang harus kita hentikan apa pun alasannya,” paparnya.
Ia mengkritisi sebagian kalangan yang masih saja mencari pembenaran agama untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal, misi agama itu ada tiga, yakni untuk menyelamatkan, untuk memperbaiki, dan menyatukan.
“Yuli memaknai menyatukan itu dengan lebih kongkrit. Menyatukan antara muzakki dan orang-orang yang berhak menerima zakat. Dan menurut Yuli, korban KDRT adalah termasuk salah satu kelompok yang berhak menerima zakat,” jelas Ahsan.
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pisangan Legoso itu mendorong agar PSIPP turun ke akar rumput dalam rangka mendata korban, melakukan pendampingan, dan lain sebagainya.
“Memberikan zakat kepada korban KDRT hanya salah satu pilihan, tetapi implikasi dari pemberian zakat kepada korban KDRT itu akan banyak sekali. Di situ akan ada edukasi, di situ akan ada keberpihakan, di situ akan ada advokasi, di situ akan ada keprihatinan, dan seterusnya.”
“Kebajikan yang sudah Yuli wujudkan dalam buku tidak hanya berhenti di ruang diskusi, ruang seminar, tetapi juga asas manfaatnya harus bisa dirasakan oleh perempuan-perempuan di Indonesia terutama pada korban KDRT,” pungkasnya.
Sebelumnya, Rohimi Zamzam merupakan salah satu narasumber yang diundang dalam agenda ini. Namun, ia berhalangan hadir dikarenakan kondisi kesehatan yang kurang memadai.
Penting juga untuk diketahui bahwasannya PSIPP ITBAD Jakarta merupakan lembaga yang bergerak dan concern pada isu-isu keislaman, perempuan, dan pembangunan. Tujuan didirikannya pusat studi ini bukan hanya untuk mengkaji, kemudian melakukan pelatihan dan peneltian, tetapi pada saat yang sama juga memiliki dua misi.
Pertama, memastikan putusan tarjih Muhammadiyah—tidak menutup kemungkinan juga diperuntukkan bagi lembaga lainnya—yang berperspektif perempuan itu bisa disebarluaskan semakin luas kepada masyarakat. Kedua, kalau tarjih Muhammadiyah belum mempunyai fatwa yang berkeadilan bagi perempuan dan dukungan kepada korban, maka apa yang dilakukan oleh PSIPP bagian dari mendorong, memberikan masukan, memberikan usulan kepada tarjih dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah supaya memiliki fatwa yang berkeadilan bagi perempuan. (PSIPP ITB AD)