Marno beruntung. Punya isteri yang baik bernama Marni. Juga punya mertua yang baik bernama Pak Dulah dan Bu Dulah. Setelah banyak perusahaan tutup karena pandemi Marno bersama Marni dan dua anaknya memilih pulang kampung. Dengan bekal uang pesangon dan menjual semua perabot rumah di tempat kontrakan di Jakarta, dia bertahan hidup di kampung. Ditampung di rumah besar mertua. Gagal merantau bukan air, sebab bukan karena malas, tetapi karena ada bencana. Bencana kesehatan berimbas pada bencana ekonomi.
Ketika jalan-jalan mulai ramai dan pasar juga ramai, Marno membeli gerobak angkringan milik tetangga yang memilih pulang ke desa. Dengan gerobak angkringan ini dia berjualan minuman, nasi, penganan mulai sore hari. Ibu mertua yang sehari-hari sibuk memasak karena menjadi pemasok nasi bungkus, mendoan, ayam bacem dan pisang rebus ke lima warung angkringan, kini memasok warung angkringan Marno. Tetangga lain memasok tahu bacem, kerupuk, kacang, bakwan, sate usus, bakpia dan bakmi bungkus kecil-kecil.
Bangku panjang tempat pembeli duduk ada empat. Ditambah tikar untuk lesehan. Jadi pembeli datang bisa menjaga jarak. Begitu sore mulai buka, Marno memotret tiga ceret, dan dagangan siap jual itu dengan hape. Lalu menawarkan pelayanan warung angkringan online di grup kampung. Jika ada tetangga yang memesan makanan atau minuman, maka isteri dan dua anak Marno mengantar ke tetangga.
Sambutan tetangga cukup baik. Warung angkringan lumayan laris. Pada jam sepuluh malam, ketika jalan sepi, dagangan habis. Marni dan dua anak mengemasi dagangan. Membawa peralatan yang perlu dibawa pulang. Anak dan isteri Marno tidak kembali ke warung, siap-siap tidur. Marno setelah menghitung uang minum kopi jahe terakhir di gelas lalu siap-siap membawa tiga ceret dan makan tersisa. Bangku panjang dia susun di belakang gerobak. Biasanya begitu.
Malam itu dia mendapat tamu tidak diundang. Dia tidak tahu kalau ada orang datang, sebab sedang sibuk menghitung uang sambik membayangkan jumlah laba.
“Serahkan uang itu mas!” hardik seseorang sambil menjulurkan pedang.
Orang itu memakai masker. Marno tidak bisa mengenali wajahnya. Marno menyerahkan laci meja berisi uang itu.
“Masukkan uang di dalam plastik!”
Marno mencari plastik untuk tempat uang itu. Ia sengaja berlam-lama mencari plastik.
“Cepat”
Marno menyerahkan uang dalam plastik.
“Juga masukkan sisa gorengan dan tiga nasi bungkus itu. Masukkan ke tas plastik!”
Dalam hati Marno marah campur heran. Perampok ini serakah atau kelaparan? Ia mencari tas plastik lagi untuk tempat gorengan dan nasi bungkus sisa itu.
“Cepat lepaskan pedangmu!”
“Kalau tidak, kutembak kepalamu!”
“Juga punggungmu kujebol dengan senapan ini!”
Perampok itu merasa ada benda dingin menempel di kepala dan punggung. Ia melepaskan pedang. Lalu mengangkat tangan. Marno cepat menelepon seseorang.
“Syukur sampeyan ada di dekaf sini. Cepat Mas, angkringan saya disampok.”
Perampok itu diikat tangannyan dengan tali rafia. Pak Dulah dan Taufan anak bungsu Pak Dulah yang tadi menodong pakai senapan angin baru akan menanyai perampok itu ketika Dirjo teman sekolah Marno datang. Dia serse dari kepolisian kota,
“Buka maskrmu!” perintah Dirjo pada perampok sambal menodongkan pistol resmi polisi.
“Saya tidak bisa Pak, dua tangan saya diiikat di belakang nih.”
“Wo , hiya ding. Marno, tolong dibuka masker kepunyaan mas perampok ini.”
Masker dibuka. Pak Dirjo, Marno kaget. Marni yang diam-diam muncul juga kaget.
“Kau?” tanya Dirjo.
“Parman?” tanya Marno.
“Teman sekelas kita?” tanya Marni.
“Lho, benarkah ini nak Parman?” tanya Pak Dulah.
“Betul, saya Parman, Maafkan saya.”
“Kenapa kau merampok?”
“Saya diberhentikan dari perusahaan kemarin. Saya nganggur. Seharian cari uang tidak dapat. Lha tadi kok lihat Marno sedang menghitung uang. Saya langsung ingat anak isteri yang kelaparan.”
“Tapi kenapa kau membawa pedang?”
“Ini barang titipan. Mau saya kembalikan ke yang punya.”
“Ketika kau tergoda melihat Marno menghitung uang kau jadi ingin menggunakan pedang ini?”
“Ya, Mas Dirjo. Saya sebenarna sungguh tidak berniat merampok. Maafkan saya.”
Dirjo memandang Marno, Pak Dulah dan Marni.
“Bagaimana baiknya ini? Diurus ke kantor polisi atau damai disini saja.”
“Damai saja mas Dirjo, soalnya kalau saya dibawa ke kantor polisi, anak isteri saya bisa pingsan kelaparan malam ini.”
“Sebentar Man. Jadi kau belum pernah merampok sebelum malam ini.”
“Belum. Lha wong tadi saya sebenarnya gemetar kok ketika memegang pedang ini.
Semua orang yang ada di tempat itu tertawa. Ada perampok kok gemetar memegang pedang.
Atas saran Dirjo, Parman dimaafkan. Marno, Pak Dulah dan Marni setuju. Ikatan tangan Parman dilepas. Dia langsung mencium tangan Dirjo, Marno, Pak Dulah dan menghaturkan hormat kepada Marni.
“Terima kasih Mbak Marni dan semuanya. Telah mengampuni saya.”
Dirjo memberi isyarat kepada Marno agar Parman diberi uang. Juga bungkusn makanan itu.
“Sudah pulang sana. Bilang sama isterimu, masih Mbak Tatik kan? Bilang kalau kau baru saja pulang dari reuni teman sekelas dan diberi hadiah uang dan makan malam. Oke?”
“Ya, isteri saya masih Tatik, teman dekat Mbak Marni. Terima kasih sekali. Ini sungguh reuni yang tidak bisa saya lupakan,” kata Parman terharu.
“Salam saya untuk Tatik. Katakan kalau malam ini ada reuni yang amat indah. Begitu ya.”
“Ya, Mbak.”
Yogyakarta, 2020
Purwati, penulis cerpen tinggal di Yogyakarta.